BLOG RESMI MEDIA PENCERAHAN
BERSATU BERJUANG untuk DEMOKRASI dan KESEJAHTERAAN

KAMUS

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kamis, 04 November 2010

Polisi Tembak Tiga Petani Di Treng Wilis, Lombok Timur

0 komentar

Kesatuan Polisi dari Brigade Mobil (Brimob) kembali memuntahkan peluru dan melukai petani tidak berdosa. Kejadian penembakan ini terjadi di Treng Wilis, Desa Perian, Kecamatan Montong Gading, Nusa tenggara Barat (NTB).

Kejadian bermula dari aksi protes warga di lokasi Galian di Desa Jemanggik, Lombok Timur. Warga memperingatkan agar para pekerja segera menghentikan proyek tersebut.

Namun, Pemkab Lombok Timur mengirimkan lima truk pasukan keamanan, gabungan dari pasukan dalmas, brimob, dan Satpol PP, untuk mengamankan proses pengerjaan proyek itu.

Warga yang bermaksud menghentikan proyek tersebut langsung dihadang kepolisian. Sempat terjadi negosiasi, namun Polisi kemudian menyerang dan menembak warga.

Laporan kronologis menyebutkan bahwa Polisi meminta warga untuk mundur sambil mengokang senjata.
Meskipun ditembaki, para petani yang tak kenal rasa takut berhasil memukul mundur pasukan kepolisian. Namun, dipihak warga sudah jatuh korban, yaitu tiga orang yang terkena tembakan.

Ketiga petani yang tertembak adalah Amaq hafli (50), Marwan (27), dan Amaq Jamal (50). Hafli dan Marwan dirawat di RSU Soejono Lombok Timur, sementara Jamal di rawat di rumahnya.
Penolakan Petani
Petani dan warga Treng Wilis menganggap proyek pengaliran air ke Lombok selatan tersebut merugikan petani setempat.
Pasalnya, lahan irigasi seluas 67 hektar milik petani sangat bergantung kepada sumber air Treng Wilis.
Jika air tersebut tetap dialirkan, maka debat air akan menurun dan berdampak pada kegiatan pertanian. Petani mengaku hanya melakukan dua kali penanaman, padahal sebelumnya bisa tiga kali penanaman.
Disamping itu, para petani menduga proyek air itu untuk kepentingan bisnis pariwisata di bagian selatan Lombok.

Para petani sudah berkali-kali menggelar aksi demo. Bahkan pihak DPRD sudah merekomendasikan agar proyek itu dihentikan sementara, hingga terjadi kesepakatan antara warga dan Pemda.


Penembakan Dikecam

Terkait kejadian penembakan itu, sejumlah organisasi pergerakan di NTB sudah menyampaikan kecaman dan protes keras, diantaranya Partai Rakyat Demokratik (PRD), Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Serikat Tani Nasional (STN), dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).

Menurut Ahmad Rifai, yang juga adalah Ketua PRD NTB, penembakan petani ini menjelaskan karakter anti demokrasi dan anti-rakyat Pemkab Lombok Timur saat ini.

Ahmad Rifai juga mengecam institusi kepolisian yang selalu menggunakan metode pendekatan represif saat menghadapi rakyat.

“Pemkab Lombok timur menjanjikan kesejahteraan dan keadilan, tetapi kenyataan hari ini menunjukkan bahwa mereka mengirimkan pasukan pembunuh,” ujar Ahmad Rifai.

Rifai memperingatkan Pemkab agar tidak selalu menggunakan paksaan untuk menghentikan protes warga.
“Mestinya pemkab menggunakan jalur dialog yang demokratis, seperti musyawarah mufakat dengan pihak warga,” katanya.

Sabtu, 30 Oktober 2010

Konsultasi Rakyat

0 komentar
Tuduhan Reaksioner
Harus diakui, bahwa selama ini media-media mainstream tidak utuh dalam memberitakan aksi-aksi demonstrasi gerakan demokratik[1]. Karena ketidak utuhan tersebut, berbagai tuduhan satir para pengamat reaksioner pun bermunculan dan mengarah pada kelompok pejuang demokrasi ini- yang akhirnya menjadi pemahaman umum juga di kalangan masyarakat yang awam politik. Tuduhan-tuduhan itu semisal, bahwa aksi demonstrasi di jalanan adalah  sumber kemacetan lalu lintas di perkotaan, adalah biang anarkisme, adalah kelompok tidak mampu berbuat apapun selain berteriak dan mengkritik, sampai kepada tuduhan yang paling menyakitkan: adalah kelompok yang sebenarnya bergerak tanpa dukungan rakyat!

Menjadi tugas kita lah, sebagai pejuang demokrasi, untuk membantah setiap tuduhan yang reaksioner tersebut. Tuduhan yang pertama, sebagai sumber macet lalu lintas, jelas kurang tepat, karena tanpa ada demonstrasipun kemacetan akan terus terjadi. Kalau diperhatikan, malah konvoi mobil pejabat negara lah yang lebih rutin menyumbang kemacetan[2]. Kemacetan adalah soal volume jalan, banyak kendaraan, dan tertib lalu lintas. Seharusnya jika ada event-event semacam demonstrasi jalanan yang berizin resmi, para aparat pengatur lalu lintas (Polantas dan Dishub) setempat agar lebih cerdas lagi dalam bekerja mengurai kemacetan sebagai akibat terselenggaranya event demonstrasi tersebut.

Lalu demonstrasi gerakan demokratik sebagai biang anarkisme, ini juga tuduhan yang kurang kuat. Apa yang diperjuangkan oleh gerakan demokratik selalu menyangkut kritik terhadap Negara, yang artinya pada dasarnya gerakan demokratik tidaklah anarki (baca: anti Negara). Mereka adalah kaum yang peduli dan resah terhadap nasib Negara. Kalaupun muncul tindakan-tindakan semacam pengrusakan fasilitas publik oleh demonstran, sebagai akibat tingginya tensi di lapangan, kerap didahului oleh provokasi aparat keamanan dan intelejen yang disusupkan.

Berikutnya tuduhan bahwa gerakan demokratik hanyalah kelompok yang tidak mampu berbuat apapun selain mengkritik dan berteriak, ini juga harus diluruskan. Setiap kritik yang dilancarkan oleh para aktivis gerakan demokratik selalu  siap dipertanggungjawabkan, dan “perbuatan” ini pun sebenarnya dilindungi oleh Konstitusi UUD 1945 (Pasal 28). Di saat kritik tidak kunjung didengar dan ditanggapi, menjadi  wajar jika akhirnya mereka yang mengkritik menjadi berteriak. Biasanya mereka yang menuduh seperti ini adalah golongan yang tidak paham perjuangan demokrasi.

Selanjutnya adalah yang paling menyakitkan: gerakan demokratik adalah kelompok yang sebenarnya bergerak tanpa dukungan rakyat, namun tetap akan coba kita rasionalisasikan. Sederhananya mereka menuduh gerakan demokratik hanya mengklaim didukung rakyat saja, tidak benar-benar memperjuangkan rakyat.  Sepintas memang tuduhan ini cukup wajar karena berbasis pada sangat sedikitnya kuantitas mahasiswa atau rakyat yang mendukung dalam umumnya aksi gerakan demokratik[3].  Namun, kita akan membela diri, bahwa kualitas isu yang tinggi tidaklah menjamin meluasnya pemahaman mahasiswa dan rakyat terhadap isu. Semisal tentang isu neoliberalisme. Meski secara kualitas isu neoliberalisme cukup tinggi, karena telah menjadi isu yang mendunia, tetap saja kebanyakan rakyat pastilah belum paham benar tentang neoliberalisme ini “hewan apa gerangan”.  Tetapi, jika akhirnya kebanyakan rakyat akhirnya mendapat pemahaman yang tepat tentang neoliberalisme dan dampaknya bagi kehidupan mereka, kita sangat yakin bahwa ratusan ribu sampai jutaan rakyat di Indonesia akan turun ke jalan menolak setiap kebijakan neoliberalisme. Inilah tantangan setiap gerakan demokratik saat ini: membuktikan bahwa setiap isu mereka mendapat dukungan luas rakyat.


Terobosan

Karena itu sudah saatnya gerakan demokratik  membuat terobosan dalam taktik perjuangannya. Mereka harus membuktikan diri bahwa gerakan mereka benar-benar mengatas-namakan rakyat. Salah satu ide segar yang layak dicoba adalah dengan melakukan konsultasi langsung face to face dengan setiap perseorangan rakyat di seluruh pelosok Republik Indonesia. Bentuk konsultasi termaksud adalah gerakan turun ke bawah (turba): mampir bertamu ke rumah-rumah, gubuk-gubuk, lapak-lapak, atau gerobak rakyat, berdiskusi (berkonsultasi) dan meminta persetujuan mereka atas suatu isu nasional. Dari konsultasi ini akan lahir semacam petisi atau mosi rakyat, yang ditandatangani dan dibubuhi cap jempol oleh perseorangan rakyat. Jika gerakan demokratik serius dan konsisten saja, mungkin dalam 3 bulan sudah dapat dikumpulkan sejuta tanda tangan yang menyikapi suatu isu. Berangkat dari sejuta tanda tangan pada mosi atau petisi tersebut, kemudian isu dapatlah digulirkan maju menjadi suatu referendum rakyat- optimalisasi partisipasi politik rakyat.
Perlu diperhatikan agar isu nasional yang dipilih adalah isu yang strategis dalam ekonomi politik nasional. Semisal, gerakan demokratik ingin mengkonsultasikan dengan rakyat tentang isu “76 Undang-Undang Produk DPR 1999-2009 yang dibuat di bawah dikte asing”[4], dan kemudian meminta dukungan politik rakyat untuk diadakannya suatu referendum “Mencabut 76 Undang-Undang hasil Pendiktean Asing”. Tentu terkait isu ini, yang harus dilakukan gerakan demokratik pertama-tama adalah merapatkan kembali barisan mereka yang seplatform nasionalis progresif, semisal mereka yang sering berslogan: “Pembebasan Nasional”, “Kemandirian Bangsa”, “Trisakti”, “Anti Penjajahan Asing”, “Anti Imperialisme”, “Anti Neoliberal”, “Rebut Kedaulatan Nasional”, dan sebagainya.

Ada beberapa keuntungan jika isu di atas diangkat oleh gerakan demokratik: Satu. Rakyat luas dapat lebih memahami tentang postur penindasan kapitalisme neoliberal di Indonesia berikut konspirasi licik agen-agennya di DPR dan Pemerintahan. Tentu harapannya pada Pemilu 2014 rakyat tidak akan lagi tertipu memilih kekuatan politik yang beraliran neoliberal[5]. Dua. Mayoritas fraksi di DPR saat ini (kecuali Gerindra dan Hanura) akan “terkunci” karena dipastikan tidak ada fraksi yang steril dalam pembuatan ke-76 UU hasil dikte asing tersebut- sehingga kuat kemungkinan isu ini dapat melenggang ke referendum rakyat tanpa halangan berarti dari para politisi busuk di DPR. Jika fraksi-fraksi bermasalah tersebut tidak melakukan otokritik, hampir pasti pada Pemilu 2014 mereka akan ditinggalkan rakyat. Tiga. Membuka topeng citra Yudhoyono dan menunjukkan raut wajah neoliberalisme yang sejati dari pemerintahannya. Di bawah tekanan Amerika Serikat dan sekutunya, sangat kecil kemungkinan Yudhoyono berani mengizinkan terlaksananya Referendum ini. Akhirnya, jika Yudhoyono menolak referendum, barulah gerakan demokratik akan menyerukan sejuta penanda tangan petisi atau mosi untuk turun ke jalan di Jakarta, sama-sama menuntut mundur Presiden mokong yang keukeuh membela neoliberalisme ini.

Itulah sekilas rekomendasi kami tentang terobosan yang mungkin dilakukan gerakan demokratik di Indonesia. Sebagai para pejuang yang terpelajar, tentu tidaklah selayaknya jika kita terjebak pada taktik yang monoton dalam menghadapi situasi yang terus berubah. Pemikiran kita dalam memandang taktik perjuangan harus dialektis, tidak boleh formal. Tanpa adanya konsultasi langsung dengan segenap rakyat yang mereka bela, tak mungkin terjadi percepatan perubahan kualitas menuju kuantitas dalam tubuh gerakan demokratik vice versa.

[1] Kecuali mungkin MetroTV yang layak diapresiasi, karena cukup berusaha jujur terhadap realitas dan sejarah [2] Seperti contohnya di Jalan Alternatif Cibubur-Cileungsi yang selalu macet setiap rombongan mobil Presiden Yudhoyono pulang ke Cikeas.
[3] Semisal kita ambil contoh gerakan memperingati Setahun Pemerintahan Yudhoyono-Boediono pada 20 Oktober lalu. Meski sebelum Hari H telah terjadi gembar-gembor wacana penggulingan Yudhoyono, berbagai persatuan telah digalang di berbagai tempat, ternyata secara kuantitas mungkin hanya sekitar 20 ribuan orang saja yang terlibat turun ke jalan hari itu di seluruh Indonesia. Jika diprosentasekan dari total jumlah penduduk 230 juta jiwa, angka 20.000 ini terlampau kecil (masih kurang dari 0,01%).
[4] Pernah dillontarkan oleh Eva Kusuma Sundari berdasar informasi dari Badan Intelejen Negara (BIN).
[5] Dapat juga mengantisipasi naiknya Sri Mulyani sebagai Capres 2014

Pemimpin Retorika

0 komentar
Memasuki hari kelima pasca gempa bumi dan Tsunami di Mentawai, kondisi rakyat yang menjadi korban di kepulauan itu masih seperti anak ayam yang kehilangan induk. Bahkan, akibat terlambatnya distribusi bantuan makanan dan obat-obatan, para pengungsi terancam kelaparan dan penyakit.

Padahal, dua hari yang lalu, Presiden SBY telah menitikkan air mata di kepulauan yang dikenal sebagai “surga di bagian barat Sumatera itu”. Presiden pun berjanji untuk mempercepat datangnya bantuan dan rekonstruksi.
Kondisi para pengungsi di Mentawai memang sangat memprihatinkan. Menurut laporan Wenri Wanhar, jurnalis dari Bisnis Indonesia, para korban tidur beralaskan tikar dan beratapkan daun. Tidak ada terpal. Sementara, hujan deras turun mengguyur. Untuk bertahan hidup, korban mengkonsumsi umbi-umbian, pisang dan meminum air kelapa.

Entah karena terletak jauh di ujung barat Indonesia, sehingga perhatian pemerintah bisa dikatakan kurang terhadap rakyat di sana. Namun, alasan apapun, kelambananan pemerintah tidak dapat ditolerir. Bahkan, alasan ombak dan kondisi geografis sekalipun tak bisa menjadi alasan.

Negara memiliki kekuasaan. Di tangannya terkonsentrasi sumber daya dan anggaran. Kenapa harus menunggu? Kenapa tidak menggunakan kapal perang, mengerahkan helicopter, mengirimkan ribuan tentara untuk menembus hambatan ombak itu. Dan, kalau memang pemerintah tak sanggup, kenapa tidak meminta bantuan internasional secepatnya. Haruskah menunggu sampai air mata rakyat Mentawai kering karena kehilangan harapan.

Inilah negara tanpa empati. Negeri, yang ketika rakyatnya berduka karena bencana, para anggota parlemen justru menghabiskan milyaran rupiah untuk studi banding di negeri lain. Inilah negara tempat para koruptor sibuk menggemukkan diri, sementara ratusan juta rakyatnya kering-kerontang karena kemiskinan.
Lihatlah bagaimana Tiongkok, negeri yang dulu disebut komunis, begitu sigap ketika terjadi bencana terhadap negerinya. Tiongkok memiliki sistim penanganan bencana yang sangat handal. Pemerintah Tiongkok bukan hanya bisa membuat apparatus negara berfungsi efektif, tetapi juga bisa memobilisasi rakyatnya untuk menolong korban bencana.

Di negara kita, yang katanya berpedoman pada pancasila yang luhur, kata-kata pejabat memang begitu indah dan (seolah-olah) luhur, tetapi kenyataannya begitu pahit dan memuakkan. Janji-janji hanya terucapakan di mulut, namun tidak pernah terealisasi. Bantuan lebih banyak menumpuk ketimbang dibagikan kepada yang berhak. Bahkan, cerita mengenai bantuan salah sasaran alias ditilep, bukan rahasia umum lagi.
Beda halnya ketika mau menggusur pemukiman rakyat miskin, merampas tanah petani, atau mengurusi demonstrasi mahasiswa, pemerintah akan mengerahkan pasukan (satpol PP, polisi, dan militer) secara terkoordinasi dan terencana.

Ini bukan saja mengkonfirmasi buruknya tata-kelola pemerintahan, tetapi sekaligus menjelaskan watak sesungguhnya dari pemerintahan ini; tidak pro-rakyat dan kemanusiaan. Kita tidak bermaksud mencari-cari kesalahan, tetapi kenyataannya memang begitu.

“Negeri Seribu Satu Bencana”

0 komentar


Jika Irak, yang dulunya masuk wilayah Persia, dijuluki negeri “seribu satu malam”, maka Indonesia sekarang ini bisa disebut; negeri seribu satu bencana. Rentetan bencana, seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan Tsunami, terus mengambil nyawa banyak rakyat kita dan meninggalkan kerusakan yang tidak sedikit. Belum kering air mata kesedihan rakyat Indonesia di Wasior, Papua, tiba-tiba bencana gempa bumi dan Tsunami terjadi lagi di Mentawai, Sumatera Barat, dan letusan gunung Merapi di Jogjakarta.

Sebagai negeri yang sering menerima dampak langsung dari gejolak iklim el nino, pemerintah mestinya sudah bisa memperkirakan bahaya banjir atau kekeringan. Demikian pula, Indonesia berada di jalur gempa dan gunung api. Berada di antara empat lempeng aktif (Lempeng Pasifik, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Filipina), Indonesia sangat rentan dengan gempa tektonik dan Tsunami. Kemudian, terletak di lingkaran ‘cincin api’ atau ring of fire, menjadikan Indonesia sangat terancam oleh letusan gunung berapi dan gempa vulkanik.

Secara historis, berdasarkan catatan yang ada, Indonesia sudah mengalami ratusan kali Tsunami. Tsunami pertama tercatat di Laut Banda, tahun 1674. Demikian pula dengan gempa bumi, dimana ratusan gempa bumi sudah berkali-kali meluluh-lantakkan negeri ini. Indonesia juga diperkirakan memiliki 500 gunung berapi, dimana sekitar 120-an masih aktif.

Pemerintah seharusnya sudah menyadari hal itu, namun pengalaman selalu menunjukan bahwa pemerintah sering bertindak seperti pemadam kebakaran—bertindak setelah terjadi bencana. Alih-alih bisa mendeteksi dan memprediksi secara akurat, pemerintah selalu memiliki reputasi buruk dalam menyelamatkan rakyatnya; membantu pengungsi dan memberikan bantuan darurat.

Bahkan, dengan tidak tahu malu, pemerintah seringkali menyalahkan alam dan korban bencana. Seperti pernyataan Marzuki Ali, ketua DPR asal partai Demokrat, yang malah menyalahkan warga Mentawai karena tinggal di tepi pantai. Pernyataan semacam itu bukan saja tidak bijak, tetapi sangat bodoh dan memalukan untuk kelas pejabat negara.

Bandingkan dengan Jepang, negeri kecil di Asia Timur yang luasnya kira-kira sebanding dengan Sumatera, punya sistim yang dapat diandalkan untuk “sedikit” menyelamatkan rakyatnya dari gempa dan tsunami. Tidak hanya mengubah gedung-gedungnya supaya tahan gempa, Jepang juga memiliki sistem peringatan mutakhir; enam kantor regional menghubungkan 300 sensor di seluruh kepulauan Jepang, termasuk 80 sensor di dalam air yang secara terus menerus memantau getaran bumi.

Di bandingkan dengan Chile, Indonesia pun kalah jauh. Negeri Salvador Allende itu telah membuat Undang-Undang yang mengharuskan setiap bangunan memiliki konstruksi tahan gempa. Alhasil, ketika Chile berhadapan dengan gempa berkekuatan 8,8 SR pada Februari 2010 lalu, negara ini bisa menekan jumlah korban, jumlah kerusakan, dan sangat cepat dalam memulihkan komunikasi.

Berdasarkan peta gempa 2010 yang dibuat para ahli, disebutkan bahwa hampir semua kota di wilayah patahan aktif, sedang terancam. “Hanya Kalimantan yang cukup aman,” kata ahli itu. Dikatakan, potensi gempa pada peta 2010 akan meningkat dua kali.

Dengan berpegang pada data seperti itu, pemerintah seharusnya meningkatkan kewaspadaan dan mempersiapkan segala macam langkah antisipasi untuk mengurangi jumlah korban dan kerusakan. Bukankah ada yang mengatakan, “lebih baik mencegah daripada mengobati.”

Pemerintah harusnya memperkuat sistim peringatan gempa dan Tsunami yang mutakhir. Selain itu, setiap lembaga terkait untuk urusan ini harus bekerja keras dan saling berkoordinasi, supaya tidak terjadi lagi pengabaian atau kesalahan di lapangan.

Butet Kartaredjasa Akan Pentaskan Monolog “Kucing”

0 komentar

JAKARTA: Seniman monolog, Butet Kartaredjasa akan mementaskan monolog Kucing, karya Putu Wijaya, di Jakarta dan Yogyakarta.

Di Jakarta, pentas monolog Butet akan diselenggarakan di di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, hari ini (30/10), sekitar pukul 20.00 WIB. Sementara pementasan monolog di Yogyakarta akan berlangsung pada tanggal 3-4 November 2010 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta.

Dibanding monolog-monolog sebelumnya, kali ini Butet ingin memberi atmosfir yang lain dalam pentasnya.
“Selama ini pentas-pentas monolog saya cenderung berformat besar. Seperti Mayat Terhormat, Matinya Toekang Kritik atau Sarimin, yang membutuhkan banyak spektakel pemanggungan. Dalam Kucing, saya ingin sesuatu yang serba simple dan sederhana” kata Butet melalui siaran pers yang disebarkan kepada media.

Pada panggung pertunjukan monolog sebelumnya, penampilan Butet memang cenderung pada format artistik yang besar, yang membutuhkan prasyarat kebutuhan artistik yang tidak murah dan juga cenderung wah.
Itu terlihat dari tiga pentas monolognya, sejak Mayat Terhormat (karya: Indra Tranggono dan Agus Noor), Matinya Toekang Kritik dan Sarimin, keduanya karya Agus Noor.

Tetapi pada pementasan monolog Kucing ini, Butet mengingikan pementasan yang simple dan sederhana. “Ini berkait erat dengan keinginan saya untuk keliling ke kota-kota kecil, mementaskan monolog.” Ujarnya.


Pentas Keliling Jawa Dan Luar Jawa

Butet mengakui bahwa monolog Kucing ini sangat fleksibel untuk dipentaskan dimanapun. Ini dikarenakan kebutuan artistik dan konsep kebutuhan panggungnya juga sederhana dan simple.
Rencananya, Butet akan melakukan pentas keliling ke kota-kota kecil di Jawa sampai luar Jawa, yang akan dimulai pada bulan Januari 2011 mendatang.

Saat pentas keliling itulah, Butet mengaku, akan diadakan pula workshop seni – keaktoran, sastra/naskah lakon, dan musik, dengan melibatkan Djaduk Ferianto, Whani Darmawan dan Agus Noor.
“Kami ingin berbagi pengalaman, setelah selama ini kami seperti mengabaikan mereka. Selama ini, saudara-saudara saya di luar Jawa juga di berbagai pelosok, kan hanya bertemu saya lewat pemberitaan pers, tayangan televisi atau vcd dan dvd dokumentasi pertunjukaan saya saja.”


Tentang Monolog Kucing..

Kucing berkisah tentang hubungan suami istri, yang melibatkan seekor kucing milik tetangganya. Dari kucing yang suatu hari memangsa rica-rica yang disiapkan si istri untuk berbuka puasa itulah, alur cerita mengalir.
Kucing bukan tema yang politis, melainkan tentang manusia dengan segala problem kesehariannya yang juga sederhana.

Dengan alurnya yang lincah dan khas, Putu Wijaya berhasil membangun alur yang menarik, sekaligus bisa membicarakan soal hakikat kemanusiaan dan seluruh persoalannya. Sebuah kisah yang kelihatannya remeh dan sederhana, tetapi langsung menghunjam ke hakekat dan maknanya.
Melalui lakon Kucing ini, Butet ingin mengembalikan monolog sebagai permainan seni peran yang otonom. Sebuah ikhtiar pematangan diri seorang aktor dalam menafsir karakter dan memberi “nyawa” sebuah teks sastra.

“Pendeknya, monolog dikembalikan lagi sebagai sebuah proses keaktoran yang menjunjung tinggi kekuatan seni akting. Monolog dikembalikan ke “khitah”-nya,” ujarnya.

CHAT

Aksi Persatuan Oposisi Nasional setahun SBY-Budiono I

Aksi Persatuan Oposisi Nasional setahun SBY-Budiono II

Persatuan Oposisi Nasional seratus tahun SBY-Budiono 3

histate

BUKU TAMU


ShoutMix chat widget

PENGUNJUNG

PRD(Partai Rakyat Demokratik)

PRD(Partai Rakyat Demokratik)
Logo

Pengunjung

free counters

Natalie Cardone - Hasta siempre

Aksi Bangjaya Memprotes Banjir dan Kamacetan Di Jakarta

TIDUR JANGAN