Jika Irak, yang dulunya masuk wilayah Persia, dijuluki negeri “seribu satu malam”, maka Indonesia sekarang ini bisa disebut;
negeri seribu satu bencana. Rentetan bencana, seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan Tsunami, terus mengambil nyawa banyak rakyat kita dan meninggalkan kerusakan yang tidak sedikit. Belum kering air mata kesedihan rakyat Indonesia di Wasior, Papua, tiba-tiba bencana gempa bumi dan Tsunami terjadi lagi di Mentawai, Sumatera Barat, dan letusan gunung Merapi di Jogjakarta.
Sebagai negeri yang sering menerima dampak langsung dari gejolak iklim
el nino, pemerintah mestinya sudah bisa memperkirakan bahaya banjir atau kekeringan. Demikian pula, Indonesia berada di jalur gempa dan gunung api. Berada di antara empat lempeng aktif (Lempeng Pasifik, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Filipina), Indonesia sangat rentan dengan gempa tektonik dan Tsunami. Kemudian, terletak di lingkaran ‘cincin api’ atau
ring of fire, menjadikan Indonesia sangat terancam oleh letusan gunung berapi dan gempa vulkanik.
Secara historis, berdasarkan catatan yang ada, Indonesia sudah mengalami ratusan kali Tsunami. Tsunami pertama tercatat di Laut Banda, tahun 1674. Demikian pula dengan gempa bumi, dimana ratusan gempa bumi sudah berkali-kali meluluh-lantakkan negeri ini. Indonesia juga diperkirakan memiliki 500 gunung berapi, dimana sekitar 120-an masih aktif.
Pemerintah seharusnya sudah menyadari hal itu, namun pengalaman selalu menunjukan bahwa pemerintah sering bertindak seperti pemadam kebakaran—bertindak setelah terjadi bencana. Alih-alih bisa mendeteksi dan memprediksi secara akurat, pemerintah selalu memiliki reputasi buruk dalam menyelamatkan rakyatnya; membantu pengungsi dan memberikan bantuan darurat.
Bahkan, dengan tidak tahu malu, pemerintah seringkali menyalahkan alam dan korban bencana. Seperti pernyataan Marzuki Ali, ketua DPR asal partai Demokrat, yang malah menyalahkan warga Mentawai karena tinggal di tepi pantai. Pernyataan semacam itu bukan saja tidak bijak, tetapi sangat bodoh dan memalukan untuk kelas pejabat negara.
Bandingkan dengan Jepang, negeri kecil di Asia Timur yang luasnya kira-kira sebanding dengan Sumatera, punya sistim yang dapat diandalkan untuk “sedikit” menyelamatkan rakyatnya dari gempa dan tsunami. Tidak hanya mengubah gedung-gedungnya supaya tahan gempa, Jepang juga memiliki sistem peringatan mutakhir; enam kantor regional menghubungkan 300 sensor di seluruh kepulauan Jepang, termasuk 80 sensor di dalam air yang secara terus menerus memantau getaran bumi.
Di bandingkan dengan Chile, Indonesia pun kalah jauh. Negeri Salvador Allende itu telah membuat Undang-Undang yang mengharuskan setiap bangunan memiliki konstruksi tahan gempa. Alhasil, ketika Chile berhadapan dengan gempa berkekuatan 8,8 SR pada Februari 2010 lalu, negara ini bisa menekan jumlah korban, jumlah kerusakan, dan sangat cepat dalam memulihkan komunikasi.
Berdasarkan peta gempa 2010 yang dibuat para ahli, disebutkan bahwa hampir semua kota di wilayah patahan aktif, sedang terancam. “Hanya Kalimantan yang cukup aman,” kata ahli itu. Dikatakan, potensi gempa pada peta 2010 akan meningkat dua kali.
Dengan berpegang pada data seperti itu, pemerintah seharusnya meningkatkan kewaspadaan dan mempersiapkan segala macam langkah antisipasi untuk mengurangi jumlah korban dan kerusakan. Bukankah ada yang mengatakan, “lebih baik mencegah daripada mengobati.”
Pemerintah harusnya memperkuat sistim peringatan gempa dan Tsunami yang mutakhir. Selain itu, setiap lembaga terkait untuk urusan ini harus bekerja keras dan saling berkoordinasi, supaya tidak terjadi lagi pengabaian atau kesalahan di lapangan.
0 komentar:
Posting Komentar