JAKARTA: Kepolisian RI telah mengeluarkan Prosedur Tetap (Protap) tentang penanggulangan keadaan anarki yang, salah satunya, mengatur soal tembak di tempat bagi pelaku anarki.
Pihak kepolisian berdalih, penggunaan “tembak di tempat” ini untuk mengantisipasi tindak anarkisme massa saat terjadi aksi massa. Namun polri menegaskan pihaknya punya prosedur yang jelas mengenai “tembak di tempat” ini.
“Apabila terjadi ancaman yang mungkin menyebabkan kematian dalam waktu sangat dekat limit,” kata Wakadiv Humas Polri Brigjen Pol Ketut Untung Yoga Ana saat memberi penjelasan kepada wartawan di Jakarta (12/10).
Selain itu, kategori penggunaan protap ini adalah ketika dia berusaha mencegah kejadian itu menjadi serius, mencegah pelaku melarikan diri, tindakan ekstrim atau tindaka tegas tidak mempan.
Dia menambahkan, peluru akan diarahkan kepada bagian tubuh dengan tidak mematikan, melainkan sekedar untuk melumpuhkan.
“Diarahkan ke bagian tubuh tidak mematikan atau istilahnya itu melumpuhkan,” tegasnya.
Seolah Indonesia Di Bawah Darurat Militer
Pemunculan Protap baru kepolisian bertepatan dengan munculnya isu penggulingan terhadap SBY oleh sebagian kelompok oposisi dan gerakan pro-demokrasi.
Ketua umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Agus Jabo menganggap penggunaan “tembak di tempat” menempatkan seolah-olah Indonesia di bawah situasi darurat militer.
“Ini sangat bertentangan dengan situasi demokrasi. Penggunaan tembak di tempat itu biasaya dipergunakan dalam situasi darurat militer, ataupun ketika terjadi kerusuhan yang tidak terkendali,” katanya kepada Berdikari Online, di Jakarta (13/10).
Karena kemunculan protap baru ini berbarengan dengan isu penggulingan SBY oleh sekelompok oposisi, Agus Jabo mensinyalir penggunaan “protap” baru ini sangat melekat pada kepentingan rejim berkuasa untuk menindas oposisi.
“Polisi bertindak terlalu berlebihan untuk mengamankan kekuasaan SBY,” tegasnya.
Agus Jabo menegaskan bahwa Polri seharusnya tunduk kepada negara, bukan kepada pemerintahan tertentu. “Tidak semua pemerintahan itu membela kepentingan negara. Ada rejim yang justru menindas kepentingan nasional,” ungkapnya.
Dia menambahkan, sebelum ini polri sudah dikecam karena berbagai perilaku kekerasan dan kesewenang-wenangan, protap baru ini malah menempatkan polri sebagai institusi kekerasan berstatus resmi.
“Ini tidak sesuai dengan slogan polisi masyarakat. pada kenyataannya, polisi semakin terpisah dan anti terhadap masyarakat, sehingga menolak jalan persuasif,” imbuhnya.
Dalam catatan kami, polisi telah masih mengutamakan penggunaan kekerasan terhadap demonstrasi dan aksi protes rakyat, diantaranya, kasus kerusuhan di Buol (Sulteng), penangkapan puluhan aktivis di Bau-Bau (Sultra), penembakan petani di Kuantan Singingi (riau), penembakan aktivis LMND di Garut (jabar), dan masih banyak lagi. (Rh)
Sri Lanka: Reading the General Election 2024 (plus: The Sri Lankan left’s
long road to power)
-
[image: Sri Lanka election results] Pasan Jayasinghe & Amali Wedagedara —
The National People’s Power (NPP) has made history. How can the NPP’s
victory and...
2 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar