Sementara Undang-undang Dasar 1945 mengharuskan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah dengan kepala batu justru menyerahkan sektor pendidikan pada mekanisme pasar. Akibatnya, ada banyak sekali rakyat Indonesia yang dikeluarkan dari dunia pendidikan, salah satunya, adalah anak jalanan.
Anak jalanan, yang telah tersingkirkan secara sosial, hampir tidak pernah mendapat perhatian sedikitpun dari pemerintah. Mereka ibarat perkataan yang mengatakan; “antara ada dan tiada”. Ya, pada kenyataannya mereka eksis dalam kehidupan nyata, hadir di tengah-tengah kita, namun seolah-olah perhatian pemerintah menganggap mereka tidak ada.
Anak-anak itu sering menjadi “buruan” satpol PP untuk ditangkap dan diperlakukan seperti binatang. Oleh kekuasaan resmi, mereka sering diberikan label “sampah masyarakat”, “biang kriminalitas”, dan lain sebagainya.
Situasi itulah yang mendorong dua orang aktivis di Pekanbaru, yaitu Ady Adith Kuswanto dan Ratno Budi, untuk mendirikan Akademi Rakyat, sebuah sekolah yang diperuntukkan khusus untuk anak jalanan dan anak-anak keluarga miskin. “Ini adalah sekolah yang diperuntukkan bagi kaum yang terpinggirkan,” tegas Adith, yang juga merupakan pengurus Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Pekanbaru.
Untuk merealisasikan tugas sangat mulia ini, keduanya lalu menghubungi seorang pengajar di Akademi Melayu Riau (AKMR).
“Sasaran pertama kami adalah anak-anak jalanan yang berada di persimpangan lampu merah.”
Namun usaha itu tidak berjalan dengan mudah, sebab ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja mengatur dan mengeksploitasi anak-anak ini. Disamping itu, anak-anak itu sangat sulit untuk dikumpulkan, apalagi untuk diarahkan untuk belajar. “mereka terkesan enggan dengan sekolah. Sebab, di kepala mereka itu, sekolah adalah pemenjaraan bakat dan kreatifitas.”
Mereka itu juga terbentur dengan persoalan ekonomi juga. Mereka harus bekerja sepanjang hari untuk mengumpulkan “receh”, supaya bisa menyambung hidup untuk esok hari. Jadinya, mereka hampir tak punya waktu untuk ikut sekolah gratis ini.
Namun, Adith dan kawan-kawannya tidak cepat patah arang, apalagi berfikir untuk menghentikan perjuangannya ini. Mereka pun mendirikan Kelompok Pengamen Jalanan (KPJ), yang menghimpun anak-anak jalanan dari berbagai sudut lampu merah di Pekanbaru.
Dari tangan-tangan aktivis gerakan rakyat inilah berdiri “Akademi Rakyat”. Penggunaan kata “akademi” akan segera mengingatkan kita kepada filsuf Yunani paling terkemuka, Plato, yang mengutip nama pahlawan Yunani—Academus. Di akademi rakyat, seperti juga di akademi Plato, anak-anak peserta didik menjalankan proses pendidikan melalui dialog dan dilakukan pada “waktu senggang”
Menurut Adith, anak-anak diberi kesempatan untuk menentukan waktu dan tempat belajar. Nanti pengajar akan mengunjungi sesuai jadwal yang sudah diputuskan.
“jadinya, akademi rakyat ini dilakukan secara nomaden (berpindah-pindah). Tergantung di mana anak-anak paling mudah untuk berkumpul,” ungkapnya.
Namun, berbeda dengan sekolah-sekolah umum atau sekolah alternatif lainnya, akademi rakyat ini lebih focus pada pemberian skill kepada anak-anak jalanan, seperti melukis, mematung, menari, dan bermain teater.
Ada juga pengetahuan sosial, seperti mengenai sejarah masyarakat, sejarah perjuangan bangsa, dan dasar-dasar filsafat. “Intinya kami memberikan mereka pengetahuan yang membebaskan fikiran mereka dari kapitalisme,” ujar Adith.
Dengan memberikan pelajaran seperti ini, Adith dan kawan-kawan menyakini bahwa anak-anak ini akan berguna secara sosial, lebih peka terhadap persoalan rakyat, dan karya-karyanya pun mencerminkan perjuangan rakyat.
Disamping itu, anak-anak diharapkan punya skill dan bisa ditampilkan di jalanan, dan dengan begitu tidak lagi dianggap “gembel”.
Untuk sekarang ini, Adith mengaku sudah berhasil mendirikan dua kelompok belajar (KPJ), yaitu KPJ MTQ (basis pengorganisiran SRMI) dan KPJ harapan raya. Untuk KPJ di kawasan MTQ, ada sekitar 40 anak jalanan yang sudah terkumpul dan rutin mengikuti akademi rakyat ini. Sementara KPJ harapan raya belum melaporkan jumlah anak-anak yang berpartisipasi.
Adith mengakui, apa yang dicetuskan bersama kawan-kawannya ini masih bersifat awal sekali, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk terus melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan kebutuhan praktis di lapangan. (Ulfa)
Sri Lanka: Reading the General Election 2024 (plus: The Sri Lankan left’s
long road to power)
-
[image: Sri Lanka election results] Pasan Jayasinghe & Amali Wedagedara —
The National People’s Power (NPP) has made history. How can the NPP’s
victory and...
2 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar