Karena sangat jarang melihat sejarah perjuangan nasional dari sudut
co (coperatie/kerjasama), maka kita kurang mendengar nama seorang tokoh nasional yang sangat piawai berpidato, yang sering disebut sebagai Charlie Chaplin-nya Jawa. Namanya Singgih, salah satu tokoh penting Boedi Utomo (BO).
Namanya kurang dikenal dalam sejarah pergerakan nasional. Setidaknya, dalam pencarian mesin google, sangat sedikit sekali informasi mengenai orator yang sering mendapat sambutan gemuruh ini.
Singgih adalah tokoh nasionalis sangat terkenal saat itu. Meskipun dia bergabung dengan Budi Utomo yang moderat, namun ia dijuluki sebagai “banteng’ di dalam organisasi para
ambtenar dan
priayi itu. Singgih belajar ilmu hukum di negeri Belanda, dan menjadi bagian dari Perhimpunan Indonesia di sana.
Sekembalinya di Indonesia, ia langsung menjadi seorang nasionalis yang cenderung memilih jalan non-koperator, dan menyesalkan tindakan Soetomo yang melirik kedudukan di Volksraad.
Bersama Radjiman, di Solo, dia mendirikan majalah “Timboel”, yang berisikan artikel-artikel moderat mengenai politik, ilmu pengetahuan, dan agama. Dengan menggunakan majalah ini pula, Singgih melancarkan tuduhan bahwa Haji Agus Salim, seorang tokoh pergerakan dari kelompok konservatif, telah menjadi penyusup atau mata-mata untuk kepentingan Belanda. Singgih menuding Haji Agus Salim menerima pembayaran sebesar 1.700 gulden.
Lantas, kenapa Singgih disebut sebagai “Charlie Chaplin”-nya Jawa? Ia adalah seorang ahli pidato yang baik, dan setiap pidatonya mendapat sambutan tepuk tangan yang bergemuruh. Gaya pidatonya adalah humor, yaitu dengan mewarani pidato-pidatonya dengan lelucon. Karena itulah dia mendapatkan gelar “Charlie Chaplin dari kalangan politik”. Pernah suatu hari, tepatnya 30 Agustus 1928, saat menaiki podium kongres PPKI, para hadirian lantas berseru, “Ayo, Charlie!” begitulah akhirnya dia semakin akrab di panggil.
Pada saat itu, dengan sebagian besar rakyat Indonesia masih buta huruf, maka kepiawaian berpidato menjadi modal utama berproganda kepada rakyat. Jaman itu melahirkan banyak sekali ahli pidato, salah satunya, adalah Soekarno, anak didik dari ahli pidato paling ulung dan disegani oleh Belanda, HOS Tjokroaminoto.
Soekarno sendiri pernah melukiskan kepiawaiannya gurunya berpidato, yaitu seperti burung kenari yang bernyanyi. Konon, kemampuan berpidato Tjokroaminoto sanggup menghipnotis para pendengarnya.
Singgih sendiri dimasukkan sebagai tokoh lapis dua diantara tokoh-tokoh politik yang sering memimpin rapat-rapat akbar (vergadering). Selain menjadi anggota Budi Utomo, Singgih terdaftar sebagai anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Yogyakarta.
Sikap kerasnya seringkali membuat gerah para pemimpin Budi Utomo, seperti ketika dia menulis manifesto politik Budi Utomo terkait pidato De Graeff pada pembukaan Volksraad. Manifesto itu dibuatnya dengan sangat berapi-api, layaknya sebagai seorang nasionalis yang sedang marah, sesuatu yang bukan gaya dari pemimpin Budi Utomo pada umumnnya.
Catatan:
*)
Sebagian besar informasi dalam ulasan ini diambil dari Hans Van Miert, “Dengan semangat berkobar: Nasionalisme dan gerakan pemuda di Indonesia (1918-1930).
0 komentar:
Posting Komentar