Memasuki hari kelima pasca gempa bumi dan Tsunami di Mentawai, kondisi rakyat yang menjadi korban di kepulauan itu masih seperti anak ayam yang kehilangan induk. Bahkan, akibat terlambatnya distribusi bantuan makanan dan obat-obatan, para pengungsi terancam kelaparan dan penyakit.
Padahal, dua hari yang lalu, Presiden SBY telah menitikkan air mata di kepulauan yang dikenal sebagai “surga di bagian barat Sumatera itu”. Presiden pun berjanji untuk mempercepat datangnya bantuan dan rekonstruksi.
Kondisi para pengungsi di Mentawai memang sangat memprihatinkan. Menurut laporan Wenri Wanhar, jurnalis dari Bisnis Indonesia, para korban tidur beralaskan tikar dan beratapkan daun. Tidak ada terpal. Sementara, hujan deras turun mengguyur. Untuk bertahan hidup, korban mengkonsumsi umbi-umbian, pisang dan meminum air kelapa.
Entah karena terletak jauh di ujung barat Indonesia, sehingga perhatian pemerintah bisa dikatakan kurang terhadap rakyat di sana. Namun, alasan apapun, kelambananan pemerintah tidak dapat ditolerir. Bahkan, alasan ombak dan kondisi geografis sekalipun tak bisa menjadi alasan.
Negara memiliki kekuasaan. Di tangannya terkonsentrasi sumber daya dan anggaran. Kenapa harus menunggu? Kenapa tidak menggunakan kapal perang, mengerahkan helicopter, mengirimkan ribuan tentara untuk menembus hambatan ombak itu. Dan, kalau memang pemerintah tak sanggup, kenapa tidak meminta bantuan internasional secepatnya. Haruskah menunggu sampai air mata rakyat Mentawai kering karena kehilangan harapan.
Inilah negara tanpa empati. Negeri, yang ketika rakyatnya berduka karena bencana, para anggota parlemen justru menghabiskan milyaran rupiah untuk studi banding di negeri lain. Inilah negara tempat para koruptor sibuk menggemukkan diri, sementara ratusan juta rakyatnya kering-kerontang karena kemiskinan.
Lihatlah bagaimana Tiongkok, negeri yang dulu disebut komunis, begitu sigap ketika terjadi bencana terhadap negerinya. Tiongkok memiliki sistim penanganan bencana yang sangat handal. Pemerintah Tiongkok bukan hanya bisa membuat apparatus negara berfungsi efektif, tetapi juga bisa memobilisasi rakyatnya untuk menolong korban bencana.
Di negara kita, yang katanya berpedoman pada pancasila yang luhur, kata-kata pejabat memang begitu indah dan (seolah-olah) luhur, tetapi kenyataannya begitu pahit dan memuakkan. Janji-janji hanya terucapakan di mulut, namun tidak pernah terealisasi. Bantuan lebih banyak menumpuk ketimbang dibagikan kepada yang berhak. Bahkan, cerita mengenai bantuan salah sasaran alias ditilep, bukan rahasia umum lagi.
Beda halnya ketika mau menggusur pemukiman rakyat miskin, merampas tanah petani, atau mengurusi demonstrasi mahasiswa, pemerintah akan mengerahkan pasukan (satpol PP, polisi, dan militer) secara terkoordinasi dan terencana.
Ini bukan saja mengkonfirmasi buruknya tata-kelola pemerintahan, tetapi sekaligus menjelaskan watak sesungguhnya dari pemerintahan ini; tidak pro-rakyat dan kemanusiaan. Kita tidak bermaksud mencari-cari kesalahan, tetapi kenyataannya memang begitu.
Sri Lanka: Reading the General Election 2024 (plus: The Sri Lankan left’s
long road to power)
-
[image: Sri Lanka election results] Pasan Jayasinghe & Amali Wedagedara —
The National People’s Power (NPP) has made history. How can the NPP’s
victory and...
2 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar