BLOG RESMI MEDIA PENCERAHAN
BERSATU BERJUANG untuk DEMOKRASI dan KESEJAHTERAAN

KAMUS

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 08 Oktober 2010

Reformasi atau Revolusi Rosa Luxemburg (1900)

0 komentar

Bagian I

1 – Metode Oportunis

Jika benar bahwa teori hanyalah gambaran dari fenomena-fenomena dunia luar dalam kesadaran manusia, maka harus ditambahkan -berkaitan dengan sistem Eduard Bernstein- bahwa teori terkadang merupakan gambaran-gambaran yang diputar-balikkan. Pikirkanlah tentang sebuah teori yang berusaha mewujudkan sosialisme dengan cara reformasi sosial di tengah kemandegan total gerakan reformasi di Jerman. Pikirkanlah sebuah teori tentang kontrol serikat buruh terhadap produksi di tengah kenyataan kekalahan buruh logam di Inggris. Bahaslah teori untuk memenangkan mayoritas di Parlemen, setelah revisi konstitusi Saxony, dan dalam pandangan upaya-upaya terbaru yang menentang hak universal untuk memilih. Bagaimanapun juga, poin sangat penting dari sistem Bernstein bukan terletak pada konsepsinya tentang tugas-tugas praktis sosial-demokrasi. Poin itu terletak pada sikap Bernstein tentang kurun perkembangan obyektif masyarakat kapitalis, yang pada gilirannya terkait erat dengan konsepsinya tentang tugas-tugas praktis sosial-demokrasi.
Menurut Bernstein, kemunduran umum kapitalisme nampaknya menjadi kian mustahil karena, di satu sisi, kapitalisme menunjukkan suatu kapasitas adaptasi yang makin tinggi dan, di sisi lain, produksi kapitalis menjadi makin dan makin bervariasi.
Kapasitas kapitalisme untuk beradaptasi itu, kata Bernstein, termanifestasi pertama-tama dalam sirnanya krisis-krisis umum yang disebabkan oleh berkembangnya sistem kredit, organisasi-organisasi majikan, sarana komunikasi yang lebih luas, dan jasa informasi. Kedua, kapasitas kapitalisme untuk beradaptasi terbukti dalam keuletan kelas menengah yang berasal dari diferensiasi yang meningkat dalam cabang-cabang produksi, dan naiknya lapisan luas proletariat ke level kelas menengah. Dan hal ini lebih lanjut dibuktikan, menurut argumen Bernstein, dengan adanya perbaikan situasi ekonomi dan politik sebagai hasil dari aktivitas serikat buruh proletariat.
Dari sikap teoritis ini, kemudian ditarik kesimpulan umum tentang kerja praktis sosial-demokrasi seperti berikut. Gerakan Sosial-demokrasi hendaknya jangan mengarahkan aktivitasnya sehari-hari pada penaklukan kekuasaan politik, melainkan menuju perbaikan kondisi kelas pekerja di dalam tatanan yang kini ada. Gerakan Sosial-demokrasi jangan berharap untuk membangun sosialisme sebagai hasil dari krisis sosial dan politik, tetapi hendaknya membangun sosialisme melalui perluasan kontrol sosial secara progresif dan penerapan prinsip kerjasama secara bertahap.
Bernstein sendiri tidak melihat adanya hal baru dalam teori-teorinya. Sebaliknya, dia yakin bahwa teori-teorinya itu sesuai dengan pernyataan-pernyataan tertentu dari Marx dan Engels. Namun demikian, sulit bagi kita untuk menyangkal bahwa teori-teori Bernstein itu bertentangan secara formal dengan konsepsi-konsepsi sosialisme ilmiah.
Jika revisionisme Bernstein sekedar hendak menegaskan bahwa perjalanan perkembangan kapitalis lebih lambat daripada yang diperkirakan sebelumnya, maka ia hanya akan menyajikan sebuah argumen untuk menangguhkan penaklukan kekuasaan oleh proletariat, hal mana setiap orang sampai saat ini telah sepakat. Konsekuensinya hanyalah perlambatan langkah perjuangan.
Namun, bukan itu yang terjadi. Yang dipersoalkan Bernstein bukanlah tingkat kecepatan perkembangan masyarakat kapitalis, melainkan perjalanan perkembangan itu sendiri, yang konsekuensinya berarti kemungkinan hakiki untuk sebuah perubahan menuju sosialisme.
Teori sosialis sampai saat ini menyatakan bahwa titik berangkat bagi suatu transformasi menuju sosialisme akan berupa sebuah krisis umum dan katastropis (merupakan bencana besar). Dalam pandangan ini, kita harus membedakan dua hal: ide fundamental dan bentuk luarnya.
Ide fundamentalnya mengandung penegasan bahwa kapitalisme, sebagai akibat dari kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya, bergerak ke arah satu titik ketika ia tidak akan seimbang, ketika kapitalisme akan menjadi sungguh-sungguh tak mungkin. Ada alasan-alasan tepat untuk memahami titik waktu dalam bentuk sebuah krisis komersial umum yang katastropis. Akan tetapi, itu bersifat sekunder ketika ide fundamentalnya dibahas.
Basis sosialisme ilmiah bertumpu pada -sebagaimana yang lazim dikenal- tiga hasil utama dari perkembangan kapitalis. Pertama, pada tumbuhnya anarki dalam ekonomi kapitalis, yang tak terelakkan lagi menuju pada kehancurannya. Kedua, pada sosialisasi proses produksi secara progresif yang menciptakan benih-benih tatanan sosial masa depan. Dan ketiga, pada organisasi dan kesadaran kelas proletar yang meningkat, yang menimbulkan faktor aktif dalam revolusi yang akan datang.
Bernstein meninggalkan poin pertama dari tiga faktor pendukung fundamental sosialisme ilmiah. Dia mengatakan bahwa perkembangan kapitalis tidak menuju pada sebuah keruntuhan ekonomi secara umum.
Bernstein bukan hanya menolak suatu bentuk tertentu dari keruntuhan itu. Dia menolak kemungkinan hakiki dari keruntuhan tersebut. Dalam tulisannya dia mengatakan: “Seseorang bisa saja mengklaim bahwa keruntuhan masyarakat yang sekarang berarti sesuatu yang lain dari sekedar krisis komersial umum, lebih buruk dari semua krisis lainnya, yakni keruntuhan total sistem kapitalis yang terjadi sebagai akibat kontradiksi-kontradiksinya sendiri.” Dan terhadap pernyataan ini, Bernstein menjawab: “Dengan semakin berkembangnya masyarakat, sebuah keruntuhan total dan nyaris umum sistem produksi yang kini ada menjadi makin dan makin mustahil, karena perkembangan kapitalis meningkatkan, di satu sisi, kapasitas adaptasinya, dan -di sisi lain- diferensiasi industri.” (Neue Zeit, 1897-1898, edisi 18, hal. 555).
Tetapi kemudian muncul pertanyaan: kalau begitu, mengapa dan bagaimana kita bisa mencapai tujuan akhir kita? Menurut sosialisme ilmiah, kebutuhan sejarah terutama termanifestasi dalam tumbuhnya anarki kapitalisme yang menggerakkan sistem ini menuju sebuah jalan buntu. Namun, apabila seseorang sepakat dengan Bernstein bahwa perkembangan kapitalis tidak bergerak dalam arah yang menuju pada kehancurannya sendiri, maka sosialisme pun secara obyektif tak lagi diperlukan. Disinilah tetap berlaku dua arus utama lain dari penjelasan ilmiah tentang sosialisme, yang juga dikatakan sebagai konsekuensi dari kapitalisme itu sendiri: sosialisasi proses produksi dan bangkitnya kesadaran proletariat. Dua hal inilah yang ada di pikiran Bernstein ketika ia mengatakan: “Peniadaan teori tentang keruntuhan sama sekali tidak menghalangi doktrin sosialis tentang persuasi. Karena, jika diteliti secara mendalam, apa faktor-faktor yang kita perhitungkan, yang menyebabkan peniadaan atau modifikasi krisis-krisis terdahulu? Tak lain, pada kenyataannya, adalah syarat-syarat -atau bahkan sebagian merupakan benih-benih dari- sosialisasi produksi dan pertukaran.” (Ibid, hal. 554).
Sedikit sekali refleksi yang diperlukan untuk memahami bahwa disinipun kita menghadapi sebuah kesimpulan yang keliru. Dimana letak arti penting dari semua fenomena yang oleh Bernstein dikatakan sebagai sarana adaptasi kapitalis - kartel, sistem kredit, perkembangan alat komunikasi, perbaikan kondisi kelas pekerja, dan lain-lain? Jelas, pada asumsi bahwa kartel, sistem kredit, dan lain-lain itu meniadakan atau setidaknya mengurangi kontradiksi-kontradiksi dalam ekonomi kapitalis, dan menghentikan perkembangan atau penajaman kontradiksi-kontradiksi itu. Dengan demikian, peniadaan krisis hanya bisa berarti peniadaan pertentangan antara produksi dan pertukaran pada basis kapitalis. Perbaikan kondisi kelas pekerja, atau penetrasi fraksi-fraksi kelas tertentu ke dalam lapisan-lapisan menengah, hanya bisa berarti pengurangan pertentangan antara modal dan kerja. Tetapi, bila faktor-faktor yang disebutkan itu meniadakan kontradiksi-kontradiksi kapitalis, sehingga menjaga sistem ini dari kehancuran; apabila faktor-faktor tersebut memungkinkan kapitalisme untuk mempertahankan diri -dan itulah yang disebut Bernstein sebagai “sarana adaptasi”- bagaimana mungkin kartel, sistem kredit, serikat buruh, dan lain-lain itu sekaligus juga merupakan “syarat-syarat -dan bahkan, sebagian merupakan benih-benih”- sosialisme? Jelaslah hanya dalam hal bahwa faktor-faktor itu mengekspresikan secara paling jelas watak sosial dari produksi.
Akan tetapi, kalau disajikan dalam bentuk kapitalisnya, maka faktor-faktor tadii menganggap sebagai sesuatu yang berlebihan -dan berkebalikan dalam ukuran yang sama- transformasi dari produksi yang telah tersosialisasikan ini menjadi produksi sosialis. Itulah sebabnya mengapa faktor-faktor yang disebutkan Bernstein itu hanya bisa menjadi benih atau syarat bagi suatu tatanan sosialis dalam makna teoritis, bukan dalam makna historis. Faktor-faktor tersebut adalah fenomena yang -dari sudut pandang konsepsi kita tentang sosialisme- kita pahami sebagai berkaitan dengan sosialisme, namun pada kenyataannya bukan hanya tidak mengarah pada sebuah revolusi sosialis, melainkan sebaliknya, menganggapnya berlebihan.
Tetap ada satu kekuatan yang memungkinkan realisasi sosialisme, yakni kesadaran-kelas proletariat. Namun inipun, dalam hal tertentu, bukanlah semata-mata refleksi intelektual tentang kontradiksi-kontradiksi yang berkembang dalam kapitalisme serta keruntuhannya yang mendekat. Kesadaran-kelas proletariat itu kini tak lebih sekedar sebuah konsep ideal yang kekuatan persuasinya terletak hanya pada kesempurnaan yang dianggap berasal darinya.
Dalam konsep Bernstein itu, kita mendapati penjelasan singkat tentang program sosialis dengan cara “logika murni”. Yakni, kita dipaksa menggunakan bahasa yang sederhana, sebuah penjelasan idealis tentang sosialisme. Kebutuhan obyektif akan sosialisme, penjelasan tentang sosialisme sebagai hasil dari perkembangan material masyarakat, kemudian gugur ke tanah.
Dengan demikian, teori revisionis menempatkan dirinya sendiri dalam sebuah dilema. Apakah transformasi sosialis merupakan -sebagaimana yang diakui sampai sekarang- konsekuensi dari kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme, yang pada suatu titik tertentu tak terelakkan lagi akan mengakibatkan kehancurannya, (yang dengan begitu berarti “sarana adaptasi” menjadi tidak efektif, dan teori keruntuhan itulah yang benar); ataukah “sarana adaptasi” akan betul-betul menghentikan keruntuhan sistem kapitalis, dan dengan demikian berarti memungkinkan kapitalisme untuk mempertahankan diri dengan meniadakan kontradiksi-kontradiksinya sendiri. Kalau seperti itu halnya, maka sosialisme bukan lagi sebuah kebutuhan sejarah. Sosialisme kemudian menjadi apapun yang ingin anda sebut sebagai sosialisme, tetapi bukan lagi hasil dari perkembangan material masyarakat.
Dilema itu menyebabkan munculnya dilema lain. Apakah revisionisme itu benar dalam posisinya mengenai kurun perkembangan kapitalis, dan karenanya transformasi sosialis masyarakat hanyalah sebuah utopia; ataukah sosialisme itu bukan sebuah utopia, dan teori tentang “sarana adaptasi” itu keliru. Itu adalah persoalan dalam sebuah kulit kacang.

2 – Adaptasi Kapitalisme

Menurut Bernstein, sistem kredit, sarana komunikasi yang disempurnakan dan persekutuan-persekutuan baru kapitalis, adalah faktor-faktor penting yang memajukan adaptasi ekonomi kapitalis.
Kredit memiliki beragam aplikasi dalam kapitalisme. Dua fungsinya yang paling penting adalah untuk memperluas produksi, dan untuk memfasilitasi pertukaran. Ketika kecenderungan-dalam (inner tendency) produksi kapitalis untuk meluas secara tak terhingga membentur dimensi-dimensi terbatas dari kepemilikan pribadi, maka kredit muncul sebagai suatu sarana untuk mengatasi batas-batas ini dengan cara kapitalis yang luarbiasa. Melalui kepemilikan saham, kredit menggabungkan besarnya modal dari sejumlah besar modal-modal individu. Hal ini memungkinkan masing-masing kapitalis untuk menggunakan uang para kapitalis lainnya – dalam bentuk kredit industri. Sebagai kredit komersial, ia mempercepat pertukaran komoditas, sehingga juga mempercepat kembalinya modal ke dalam produksi, dan dengan begitu berarti membantu keseluruhan siklus produksi. Cara bagaimana kedua fungsi utama kredit ini mempengaruhi terbentuknya krisis juga cukup jelas. Jika benar bahwa krisis timbul sebagai akibat dari kontradiksi yang ada di antara kapasitas perluasan, kecenderungan produksi untuk meningkat serta kapasitas konsumsi pasar yang terbatas, maka kredit tepatnya justru merupakan -dalam pandangan seperti dinyatakan di atas- sarana spesifik yang menyebabkan kontradiksi ini meledak sesering mungkin. Sebagai permulaannya, kredit secara tidak sebanding meningkatkan kapasitas perluasan produksi, sehingga menimbulkan suatu kekuatan motif-dalam (inner motive) yang secara konstan mendesak produksi untuk melampaui batas-batas pasar. Akan tetapi, kredit menggempur dari dua sisi. Setelah (sebagai faktor dalam proses produksi) memprovokasi terjadinya produksi berlebihan, kredit (sebagai faktor dalam pertukaran) juga menghancurkan -selama masa krisis- kekuatan-kekuatan sangat produktif yang ia ciptakan sendiri.
Pada gejala pertama krisis, kredit memudar. Kredit meninggalkan pertukaran ketika sesungguhnya ia masih sangat dibutuhkan, sehingga kemudian kredit nampak menjadi tidak efektif dan tak berguna. Dan ketika pertukaran masih berlanjut, kredit mengurangi kapasitas konsumsi pasar sampai ke batas minimal.
Selain menyebabkan dua akibat utama itu, kredit juga mempengaruhi terbentuknya krisis dengan cara-cara berikut. Kredit memunculkan sarana teknis yang memungkinkan tersedianya modal bagi seorang pengusaha, padahal modal itu adalah kepunyaan pemilik lain. Kredit sekaligus merangsang penggunaan kepemilikan orang lain secara berani dan tanpa peduli benar atau salah. Ini berarti bahwa kredit memicu terjadinya spekulasi. Kredit tidak hanya memperparah krisis dalam kapasitasnya sebagai sarana pertukaran yang tersembunyi, melainkan juga membantu membawa dan memperluas krisis dengan mentransformasikan semua pertukaran ke dalam suatu mekanisme yang sangat rumit dan artifisial, yang -karena hanya memiliki tingkat minimal uang logam sebagai basis riil-nya- mudah sekali diobrak-abrik pada peluang paling kecil sekalipun.
Kini kita melihat bahwa kredit bukannya menjadi instrumen untuk meniadakan atau mengurangi krisis, melainkan sebaliknya, adalah suatu instrumen yang luar biasa kuat bagi terbentuknya krisis. Ia tak bisa menjadi sesuatu selain itu. Kredit menghapuskan kakunya hubungan-hubungan kapitalis yang masih ada. Ke mana-mana ia mengintrodusir elastisitas sebesar mungkin. Kredit menyebabkan semua kekuatan kapitalis menjadi bisa diperluas, relatif dan sensitif secara mutual sampai ke tingkat yang paling tinggi. Dengan cara ini, kredit memfasilitasi dan memperparah krisis yang -tak lebih, tak kurang- adalah tabrakan periodik dari kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan dalam ekonomi kapitalis.
Hal ini mengarahkan kita pada sebuah pertanyaan lain. Mengapa kredit umumnya memiliki penampilan sebagai “sarana adaptasi” kapitalisme? Tak menjadi persoalan, apapun bentuk atau relasi di mana “adaptasi“ ini direpresentasikan oleh orang-orang tertentu, namun jelas ia hanya bisa berisikan kekuasaan untuk meniadakan satu dari beberapa relasi yang bertentangan dalam ekonomi kapitalis, yakni kekuasaan untuk menekan atau melemahkan salah satu dari kontradiksi-kontradiksi ini, dan memungkinkan adanya kebebasan bergerak -pada satu titik atau lainnya- bagi kekuatan-kekuatan produktif yang, jika tidak dibebaskan, akan terbelenggu. Kenyataannya, memang kreditlah yang mempertajam kontradiksi-kontradiksi ini sampai ke tingkat yang paling tinggi. Kredit mempertajam pertentangan antara corak produksi dan corak pertukaran dengan merentangkan produksi sampai pada batasnya, dan sekaligus melumpuhkan pertukaran pada dalih yang paling kecil. Kredit mempertajam pertentangan antara corak produksi dan corak apropriasi (pemakaian tanpa ijin) dengan memisahkan produksi dari kepemilikan, yakni dengan mentransformasikan modal yang dipakai dalam produksi menjadi modal “sosial”, dan sekaligus mentransformasikan sebagian keuntungan -dalam bentuk bunga atas modal- menjadi suatu hak kepemilikan yang sederhana. Kredit mempertajam pertentangan yang ada antara relasi-relasi kepemilikan dan relasi-relasi produksi dengan memasukkan tenaga-tenaga produktif yang sangat besar ke dalam sejumlah kecil tangan, dan mengambil alih sejumlah besar dari para kapitalis kecil. Akhirnya, kredit mempertajam pertentangan yang ada antara watak sosial produksi dan kepemilikan kapitalis swasta dengan menganggap perlu intervensi negara ke dalam produksi.
Singkatnya, kredit mereproduksi semua pertentangan fundamental dalam dunia kapitalis. Ia memperkuat pertentangan-pertentangan tersebut. Kredit mempercepat berkembangnya pertentangan itu, sehingga mendesak dunia kapitalis untuk bergerak maju menuju kehancurannya sendiri. Tindakan utama adaptasi kapitalis, sejauh berkaitan dengan kredit, seharusnya betul-betul terwujud dalam penghancuran dan peniadaan kredit. Kenyataannya, kredit jauh dari bisa menjadi sarana adaptasi kapitalis. Sebaliknya, kredit merupakan sarana kehancuran dari signifikansi revolusioner yang paling ekstrem. Apakah watak revolusioner dari kredit ini sebetulnya belum memberi inspirasi bagi rancangan-rancangan reformasi “sosialis”? Demikianlah, kredit telah memiliki beberapa tokoh pendukung yang termahsyur, yang beberapa di antaranya (seperti, Isaac Pereira di Perancis) adalah -sebagaimana disebut oleh Marx- separoh nabi, separoh bajingan.
Yang sama rapuhnya adalah “sarana adaptasi” yang kedua, yakni: organisasi-organisasi para majikan. Menurut Bernstein, organisasi-organisasi seperti itu akan mengakhiri anarki produksi dan menghapuskan krisis melalui pengaturan produksinya. Pengaruh berlipat-ganda dari perkembangan kartel dan trust (gabungan perusahaan) belum dipertimbangkan dengan sangat teliti sampai sekarang. Namun keduanya memprediksikan sebuah permasalahan yang hanya bisa dipecahkan dengan bantuan teori marxis.
Satu hal yang pasti. Kita bisa berbicara tentang pembendungan anarki kapitalis melalui biro persekutuan-persekutuan kapitalis hanya dengan patokan bahwa kartel, trust dan lain-lain lebih-kurang telah menjadi bentuk dominan dari produksi. Tetapi kemungkinan seperti itu menjadi terabaikan dengan adanya sifat hakiki dari kartel-kartel. Tujuan ekonomi dan hasil akhir dari persekutuan-persekutuan itu adalah sebagai berikut. Melalui peniadaan persaingan dalam suatu cabang produksi tertentu, distribusi sebagian besar keuntungan yang direalisasikan di pasar dipengaruhi sedemikian rupa, sehingga terdapat peningkatan saham yang masuk ke cabang industri ini. Organisasi dalam bidang seperti itu dapat menaikkan tingkat keuntungan pada satu cabang industri dengan mengorbankan cabang industri lainnya. Itulah tepatnya mengapa hal tersebut tidak bisa digeneralisir, karena ketika ia diperluas ke semua cabang industri yang penting, maka kecenderungan ini akan meniadakan pengaruhnya sendiri.
Lebih jauh lagi, dalam batas-batas penerapan praktisnya, hasil dari persekutuan-persekutuan tersebut justru adalah kebalikan dari peniadaan anarki industri. Kartel-kartel biasanya berhasil dalam mendapatkan suatu peningkatan keuntungan di pasar dalam negeri, dengan cara memproduksi untuk pasar luar negeri dengan tingkat keuntungan yang lebih rendah, yang dengan begitu berarti menggunakan porsi tambahan dari modal yang tidak bisa mereka gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan dalam negeri. Maksudnya ialah bahwa mereka menjual ke luar negeri dengan harga yang lebih murah daripada harga dalam negeri. Akibatnya adalah menajamnya persaingan di luar negeri – justru sangat berlawanan dengan apa yang ingin didapati oleh orang-orang tertentu. Hal ini ditunjukkan secara sangat jelas oleh sejarah industri gula dunia.
Secara umum, persekutuan-persekutuan yang diperlakukan sebagai suatu manifestasi dari corak produksi kapitalis hanya bisa dipandang sebagai suatu fase tertentu dari perkembangan kapitalis. Kartel secara fundamental tak lain adalah suatu cara yang digunakan oleh corak produksi kapitalis untuk tujuan menahan kejatuhan fatal tingkat keuntungan dalam cabang-cabang produksi tertentu. Metode apa yang digunakan oleh kartel untuk tujuan ini? Yaitu dengan mempertahankan agar sebagian dari modal yang terakumulasi tidak aktif. Maksudnya ialah bahwa mereka menggunakan metode yang sama, yang dalam bentuk lainnya digunakan di saat krisis. Obat dan sakitnya menyerupai satu sama lain laksana dua tetes air. Sesungguhnya, obat itu bisa dianggap tak begitu buruk hanya sampai suatu titik tertentu. Apabila saluran-saluran pembuangan itu mulai menutup, dan pasar dunia telah diperluas sampai pada batasnya, serta menjadi kelelahan dengan adanya persaingan di antara negeri-negeri kapitalis -dan cepat atau lambat pasti tiba- maka sebagian dari modal yang terpaksa menganggur (menjadi tak berguna) itu akan mencapai dimensi-dimensi sedemikian rupa, sehingga obat tersebut akan bertransformasi menjadi suatu penyakit. Dan modal, yang telah cukup banyak “tersosialisasi” melalui regulasi, akan cenderung berbalik kembali kepada bentuk modal individu. Berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang meningkat untuk mencari pasar, maka masing-masing porsi individu dari modal akan memilih untuk mengambil peluang ini sendirian. Ketika itu, organisasi-organisasi pengatur yang besar akan meletus seperti gelembung-gelembung busa sabun, dan membuka jalan bagi persaingan yang menajam.
Oleh karena itu, dalam cara yang umum, kartel, seperti juga kredit, muncul sebagai suatu fase yang pasti dari perkembangan kapitalis, yang dalam analisis terakhirnya memperparah anarki dunia kapitalis dan mengekspresikan serta mematangkan kontradiksi-kontradiksi internalnya. Kartel-kartel mempertajam pertentangan yang ada antara corak produksi dan pertukaran dengan mempertajam perjuangan antara produsen dan konsumen, seperti khususnya kasus Amerika Serikat. Lebih jauh lagi, kartel-kartel mempertajam pertentangan yang ada antara corak produksi dan corak apropriasi dengan mempertentangkan -melalui model yang paling brutal- kepada kelas pekerja, kekuatan superior modal yang terorganisir, yang dengan begitu berarti meningkatkan antagonime antara modal dan kerja.
Akhirnya, kombinasi-kombinasi kapitalis mempertajam kontradiksi yang ada antara watak internasional dari ekonomi dunia kapitalis dengan watak nasional negara – sejauh kombinasi-kombinasi itu selalu disertai dengan perang tarif secara umum, yang mematangkan perbedaan-perbedaan di antara negara-negara kapitalis. Untuk hal ini, kita harus menambahkan adanya pengaruh revolusioner secara tegas oleh kartel-kartel dalam hal konsentrasi produksi, kemajuan teknis, dan lain-lain.
Dengan kata lain, jika dievaluasi dari sudut dampak akhir terhadap ekonomi kapitalis, maka kartel dan kredit gagal sebagai “sarana adaptasi”. Kartel dan trust gagal mengurangi kontradiksi-kontradiksi kapitalisme. Sebaliknya, kartel dan kredit itu muncul menjadi suatu instrumen anarki yang lebih besar. Mereka justru mendorong terjadinya perkembangan lebih lanjut dari kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme. Kartel dan trust mempercepat datangnya kejatuhan umum kapitalisme.
Namun apabila sistem kredit, kartel dan semacamnya tidak meniadakan anarki kapitalisme, maka mengapa kita belum mengalami krisis perdagangan yang besar selama dua dekade, sejak 1873? Apakah ini bukan suatu tanda bahwa -bertentangan dengan analisis Marx – ternyata corak produksi kapitalis telah mengadaptasikan diri, setidaknya dengan suatu cara yang umum, terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat? Begitulah pada tahun 1898 Bernstein menolak keras teori Marx tentang krisis, padahal sebuah krisis besar pecah pada tahun 1900. Dan tujuh tahun kemudian, sebuah krisis baru yang mulai muncul di Amerika Serikat pun memukul pasar dunia. Fakta membuktikan bahwa teori “adaptasi” itu keliru. Fakta itu juga sekaligus menunjukkan bahwa orang-orang yang mengabaikan teori Marx tentang krisis -hanya karena tidak ada krisis yang terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu- kebingungan antara esensi dari teori ini dengan salah satu aspek eksteriornya, yakni siklus sepuluh tahunan. Uraian tentang siklus industri kapitalis moderen sebagai suatu periode sepuluh tahunan bagi Marx dan Engels di tahun 1860 dan 1870 hanyalah suatu pernyataan sederhana tentang fakta-fakta. Pernyataan tersebut tidak didasarkan pada suatu hukum alam, melainkan pada serangkaian situasi historis tertentu yang berhubungan dengan pesatnya persebaran aktivitas kapitalisme muda.
Dahulu pernah terjadi krisis pada tahun 1825 akibat penanaman modal yang luas dalam pembangunan jalan raya, kanal, dan kilang gas yang terjadi selama dekade terdahulu, khususnya di Inggris di mana krisis itu pecah. Krisis berikutnya pada 1836-1839 secara serupa adalah akibat investasi yang sangat besar dalam pembangunan sarana transportasi. Krisis tahun 1847 diprovokasi oleh demam pembangunan jalan kereta api di Inggris (sejak 1844 sampai 1847, selama tiga tahun Parlemen Inggris konsesi untuk jalan kereta api sampai senilai 15 milyar dollar AS). Pada masing-masing dari tiga kasus yang disebutkan tadi, sebuah krisis muncul setelah basis-basis baru bagi perkembangan kapitalis terbangun. Pada tahun 1857, akibat yang sama ditimbulkan oleh pembukaan secara tiba-tiba pasar-pasar baru bagi industri Eropa di Amerika dan Australia setelah ditemukannya tambang emas dan perluasan pembangunan jalan kereta api, terutama di Perancis, di mana contoh Inggris ketika itu sangat ditiru. (Di Perancis sendiri, jalan-jalan kereta api baru sampai senilai 1,25 juta franc dibangun dari 1852 sampai 1856). Dan akhirnya, kita mengalami krisis besar pada tahun 1873 – sebuah konsekuensi langsung dari booming dahsyat industri besar di Jerman dan Austria, yang diikuti dengan kejadian-kejadian politik tahun 1866 dan 1871.
Jadi, sampai sekarang, perluasan tiba-tiba ranah ekonomi kapitalis -dan bukan penciutannya- setiap kali merupakan penyebab terjadinya krisis perdagangan. Bahwa krisis internasional berulang sendiri setiap sepuluh tahun adalah murni suatu fakta eksterior, sebuah persoalan peluang. Rumusan marxis untuk krisis seperti yang disajikan oleh Engels dalam Anti-Duehring, dan oleh Marx dalam jilid pertama serta jilid ketiga Kapital, berlaku bagi semua krisis hanya dalam hal bahwa rumusan tersebut menyingkap mekanisme internasionalnya serta sebab-sebab pokoknya yang umum.
Krisis bisa berulang sendiri setiap lima atau sepuluh tahun, ataupun bahkan setiap delapan atau duapuluh tahun. Tetapi apa yang paling membuktikan kekeliruan teori Bernstein ialah bahwa justru di negeri-negeri yang mengalami perkembangan terbesar dalam “sarana adaptasi” yang terkenal -kredit, sarana komunikasi yang disempurnakan, dan trust- itulah, krisis terbaru (1907-1908) terjadi secara paling ganas.
Keyakinan bahwa produksi kapitalis mampu “mengadaptasikan diri” terhadap pertukaran mengasumsikan satu dari dua hal: apakah pasar dunia bisa menyebar secara tak terbatas, atau sebaliknya, perkembangan tenaga produktif begitu terbelenggu, sehingga tidak bisa melewati batas-batas pasar. Hipotesis pertama menimbulkan suatu kemustahilan material. Sedangkan hipotesis kedua dianggap tidak mungkin dengan adanya kemajuan teknis yang konstan, yang setiap hari menciptakan tenaga-tenaga produktif baru di semua cabang.
Masih ada satu fenomena lain yang, menurut Bernstein, bertentangan dengan perjalanan perkembangan kapitalis sebagaimana ditunjukkan di atas. Dalam barisan mantap perusahaan-perusahaan berskala menengah, Bernstein melihat adanya tanda perkembangan industri besar yang tidak bergerak dalam arah revolusioner, dan tidaklah seefektif -dilihat dari sudut konsentrasi industri- seperti yang diperkirakan oleh “teori” keruntuhan. Namun demikian, di sini Bernstein adalah korban dari kekurang-pahamannya sendiri; karena memandang lenyapnya perusahaan berskala menengah sebagai akibat pasti dari perkembangan industri besar, berarti -sangat menyedihkan- salah memahami sifat dari proses ini.
Menurut teori marxis, dalam kurun umum perkembangan kapitalis, para kapitalis kecil memainkan peran sebagai pelopor perubahan teknis. Mereka memiliki peran itu dalam makna ganda. Mereka memulai metode-metode produksi baru dalam cabang-cabang industri yang telah sangat mapan; mereka adalah instrumen dalam penciptaan cabang-cabang produksi baru yang belum dieksploitasi oleh kapitalis besar.
Adalah keliru bila kita membayangkan sejarah kemapanan-kemapanan kapitalis menengah bergerak dalam garis lurus ke arah melenyapnya mereka secara progresif. Sebaliknya, kurun perkembangan ini murni dialektis dan bergerak secara konstan di antara kontradiksi-kontradiksi. Lapisan-lapisan kapitalis menengah mendapati dirinya -sama seperti pekerja- berada di bawah pengaruh dua kecenderungan yang bertentangan, yang satu ascendant (berpengaruh/berkuasa), yang lainnya descendant (menurun/melemah). Dalam hal ini, kecenderungan descendant adalah terus naiknya skala produksi yang secara periodik membanjiri dimensi-dimensi paket modal berukuran rata-rata, dan melepaskannya secara berulang dari arena persaingan dunia. Kecenderungan ascendant pertama-tama merupakan depresiasi periodik dari modal yang ada, yang untuk suatu waktu tertentu menurunkan kembali skala produksi sebanding dengan nilai dari jumlah minimum yang diperlukan modal. Selain itu, hal ini direpresentasikan oleh penetrasi produksi kapitalis ke dalam ruang-ruang lingkup baru. Perjuangan perusahaan berskala kecil melawan modal besar tidak bisa dianggap suatu pertempuran yang bergerak secara reguler, di mana pasukan dari pihak yang lebih lemah terus memudar secara langsung dan kuantitatif. Perjuangan itu seharusnya lebih dipandang sebagai berondongan periodik perusahaan-perusahaan kecil yang dengan pesat tumbuh kembali, hanya akan diberondong habis sekali lagi oleh industri besar. Kedua kecenderungan itu bermain bola dengan lapisan-lapisan kapitalis menengah. Kecenderungan yang menurun pada akhirnya pasti akan menang.
Padahal, justru kebalikannyalah yang benar mengenai perkembangan kelas pekerja. Kemenangan kecenderungan yang menurun tidak harus menunjukkan kepada dirinya sendiri menyusutnya bilangan perusahaan-perusahaan berskala menengah secara mutlak. Ia haruslah menunjukkan kepada dirinya sendiri, pertama-tama, dalam peningkatan progresif jumlah minimum modal yang diperlukan untuk pemfungsian perusahaan-perusahaan dalam cabang-cabang produksi lama. Kedua, dalam penyusutan konstan selang waktu, yang selama itu para kapitalis kecil melestarikan peluang untuk mengeksploitasi cabang-cabang produksi baru. Sejauh berkenaan dengan kapitalis kecil, maka akibatnya adalah masa tinggalnya yang secara progresif lebih pendek dalam industri baru, dan suatu perubahan yang secara progresif lebih pesat dalam hal metode-metode produksi sebagai suatu bidang investasi. Untuk strata kapitalis rata-rata, jika dihitung secara keseluruhan, terdapat suatu proses asimilasi dan disimilasi yang makin dan makin pesat.
Bernstein sangat memahami hal ini. Dia sendiri berkomentar tentang hal tersebut. Tetapi yang nampaknya dia lupakan, ialah bahwa hal ini memang merupakan hukum gerak dari rata-rata perusahaan kapitalis. Jika seseorang mengakui bahwa para kapitalis kecil adalah pelopor kemajuan teknis, dan apabila benar bahwa kemajuan teknis merupakan urat nadi ekonomi kapitalis, maka, bahwa para kapitalis kecil merupakan bagian integral dari perkembangan kapitalis, adalah sesuatu yang manifes. Dan para kapitalis kecil itu akan hilang hanya dengan adanya perkembangan kapitalis. Melenyapnya perusahaan berskala menengah secara progresif -dalam pengertian mutlak yang dipandang oleh Bernstein- bukanlah berarti, sebagaimana yang dia kira, perjalanan revolusioner dari perkembangan kapitalis, melainkan justru sebaliknya, adalah penghentian, perlambatan perkembangan. “Tingkat keuntungan, yakni kenaikan modal secara relatif,” kata Marx, “adalah penting pertama-tama bagi para penanam modal baru, yang mengelompok sendiri secara independen. Dan segera setelah pembentukan modal jatuh secara eksklusif ke dalam sejumlah kapitalis besar, maka api penyala produksi itu menjadi padam, menjadi sirna.”

3 – Realisasi Sosialisme melalui Reformasi Sosial

Bernstein menolak “teori keruntuhan” sebagai sebuah jalan historis menuju sosialisme. Lantas apa jalan menuju masyarakat sosialis yang diajukan oleh “teorinya tentang adaptasi kapitalisme"? Bernstein menjawab pertanyaan ini hanya dengan kiasan. Namun demikian, Konrad Schmidt berupaya untuk berkutat dalam hal-hal rinci ini menurut cara berpikir Bernstein. Menurut Konrad, “perjuangan serikat buruh demi jam kerja dan upah, dan perjuangan politik untuk reformasi, akan menyebabkan terjadinya kontrol yang secara progresif lebih luas terhadap kondisi-kondisi produksi,” dan “karena hak-hak proprietor (pemilik) kapitalis akan dikurangi melalui legislasi [hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan perundang-undangan – penerj.], maka pada waktunya nanti perannya akan terkurangi hingga hanya menjadi seorang administrator.” “Para kapitalis akan melihat bahwa kepemilikannya akan makin dan makin kehilangan nilai bagi dirinya sendiri,” sampai akhirnya “arah dan administrasi eksploitasi akan direnggut dari dirinya secara keseluruhan,” kemudian terbangunlah “eksploitasi kolektif”.
Oleh karena itu, serikat-serikat buruh, reformasi sosial dan -tambah Bernstein- demokratisasi politik negara, adalah sarana untuk mewujudkan sosialisme secara progresif.
Akan tetapi, kenyataannya ialah bahwa fungsi utama dari serikat buruh (dan ini dengan sangat baik dijelaskan oleh Bernstein sendiri dalam Neue Zeit pada tahun 1891) diwujudkan dengan menyediakan bagi buruh suatu cara untuk menyadari upah yang rendah dari kapitalis, yakni penjualan tenaga kerja mereka dengan harga pasar masa kini. Serikat buruh memungkinkan proletariat untuk menggunakan konjungtur [serentetan kejadian, terutama yang berhubungan dengan kondisi kritis – penerj.] pasar setiap saat. Namun, konjungtur ini – (1) permintaan akan tenaga kerja yang ditentukan oleh kondisi produksi, (2) pasokan tenaga kerja yang diciptakan oleh proletarisasi lapisan menengah di masyarakat serta reproduksi alami dari kelas-kelas pekerja, dan (3) tingkat sementara produktivitas kerja- tetap berada di luar ruang lingkup pengaruh serikat buruh. Serikat buruh tidak bisa menekan hukum tentang upah. Dalam situasi yang paling mendukung, hal paling maksimal yang bisa dilakukan oleh serikat buruh hanyalah mendesakkan kepada eksploitasi kapitalis, batas “normal” pada saat itu. Bagaimanapun juga, serikat buruh tidak memiliki kekuatan untuk menghapuskan eksploitasi itu sendiri, bahkan secara perlahanpun tidak.
Memang benar, Schmidt memandang gerakan serikat buruh sekarang ini berada dalam “tahap awal yang lemah”. Dia berharap bahwa “di masa depan”, “gerakan serikat buruh akan menjalankan pengaruh yang meningkat secara progresif terhadap pengaturan produksi”. Namun dengan pengaturan produksi, kita hanya bisa mengerti dua hal: intervensi dalam ranah teknis dan menetapkan skala produksi itu sendiri. Bagaimana sifat dari pengaruh yang dijalankan oleh serikat buruh dalam dua bagian ini? Jelas bahwa dalam teknik produksi, kepentingan kapitalis berkesesuaian -sampai titik tertentu- dengan kemajuan dan perkembangan ekonomi kapitalis. Kepentingan kapitalis itu sendirilah yang mendorongnya untuk melakukan perbaikan-perbaikan teknis. Akan tetapi, buruh yang terisolasi mendapati dirinya dalam posisi yang jelas berbeda. Setiap transformasi teknis bertentangan dengan kepentingan buruh. Transformasi teknis memperburuk situasi buruh yang tak berdaya dengan menurunkan nilai tenaga kerjanya, dan membuat kerja buruh menjadi lebih serius, lebih monoton, dan lebih sulit.
Sejauh serikat buruh bisa melakukan intervensi ke dalam bagian teknis dari produksi, maka mereka hanya bisa menentang inovasi teknis. Namun dalam hal ini, serikat buruh tidaklah bertindak demi kepentingan seluruh kelas pekerja dan emansipasinya, yang lebih berkesesuaian dengan kemajuan teknis, sehingga sesuai dengan kepentingan kapitalis yang tertutup. Di sini, serikat buruh bertindak dalam arah yang reaksioner. Dan pada kenyataannya, kita memang mendapati upaya-upaya pada sebagian buruh untuk melakukan intervensi ke dalam bagian teknis dari produksi, bukan di masa mendatang seperti yang diharapkan oleh Schmidt, melainkan di masa lalu dari gerakan serikat buruh. Upaya-upaya seperti itu dicirikan oleh fase lama dari trade unionism [serikat buruhisme – penerj.] Inggris (sampai tahun 1860) ketika organisasi-organisasi Inggris masih terikat pada sisa-sisa “korporasi” Abad Pertengahan, dan menemukan inspirasi dalam prinsip usang “upah harian yang adil untuk kerja harian yang adil,” sebagaimana dinyatakan oleh Webb dalam karyanya Sejarah Trade Unionism.
Di sisi lain, upaya serikat buruh untuk menetapkan skala produksi dan harga komoditas merupakan suatu fenomena yang baru muncul. Baru-baru ini saja kita menyaksikan upaya-upaya seperti itu – dan kembali ini terjadi di Inggris. Dalam sifat dan kecenderungan-kecenderungannya, upaya-upaya ini mewakili hal-hal yang disebutkan di atas. Lalu, apa makna dari partisipasi aktif serikat buruh dalam menetapkan skala dan biaya produksi? Maknanya ialah sebuah kartel yang terdiri atas para pekerja dan para pengusaha dalam suatu sikap yang sama menghadapi konsumen, dan terutama menghadapi pengusaha-pengusaha saingannya. Efek dari hal ini sama sekali tidak berbeda dengan efek dari asosiasi-asosiasi majikan yang biasanya. Pada dasarnya, dalam hal ini kita tidak lagi mendapati perjuangan antara modal dan kerja, melainkan solidaritas antara modal dan kerja melawan keseluruhan konsumen. Jika dipandang dari nilai sosialnya, serikat buruh terlihat sebagai sebuah gerak reaksioner yang tidak bisa menjadi sebuah tahap dalam perjuangan untuk emansipasi proletariat, karena ia mengkonotasikan watak yang sangat bertentangan dengan perjuangan kelas. Kalau dilihat dari sudut penerapan praktisnya, maka didapati bahwa serikat buruh merupakan suatu utopia yang -sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian yang berlangsung cepat- tidak bisa diperluas ke cabang-cabang industri besar yang berproduksi untuk pasar dunia.
Jadi, lingkup gerak serikat buruh secara esensial terbatas pada perjuangan untuk kenaikan upah dan pengurangan jam kerja, yakni terbatas pada upaya-upaya pengaturan oleh eksploitasi kapitalis, seiring dengan kenyataan bahwa upaya-upaya tersebut memang diperlukan oleh situasi sementara dari pasar dunia. Namun serikat buruh sama sekali tidak bisa mempengaruhi proses produksi itu sendiri. Terlebih lagi, perkembangan serikat buruh bergerak -bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh Konrad Schmidt- dalam arah keterlepasan total pasar tenaga kerja dari hubungan apapun yang sangat dekat dengan bagian lain dari pasar itu.
Hal tersebut ditunjukkan oleh fakta bahwa, bahkan upaya-upaya untuk menghubungkan kontrak-kontrak kerja dengan situasi umum produksi melalui sebuah sistem penggeseran (naik-turun) skala upah, telah ketinggalan zaman seiring perkembangan sejarah. Serikat-serikat buruh Inggris kini bergerak makin dan makin menjauh dari upaya-upaya seperti itu.
Bahkan dalam batas-batas efektif dari aktivitasnya, gerakan serikat buruh tidak bisa menyebar dengan cara yang tak terbatas, berbeda dengan apa yang di-klaim oleh teori adaptasi. Sebaliknya, apabila kita meneliti faktor-faktor besar dari perkembangan sosial, kita melihat bahwa kita tidak sedang bergerak menuju suatu zaman yang ditandai dengan perkembangan kemenangan serikat buruh, melainkan lebih menuju ke suatu masa ketika kesulitan-kesulitan serikat buruh akan meningkat. Suatu saat ketika perkembangan industri telah mencapai titik tertingginya yang paling mungkin, dan kapitalisme telah memasuki fase menurunnya pada pasar dunia, maka perjuangan serikat buruh akan menjadi dua kali lipat lebih sulit. Pertama, konjungtur obyektif pasar akan jadi kurang mendukung bagi para penjual tenaga kerja, karena permintaan tenaga kerja akan meningkat dengan tingkat yang lebih lambat, dan pasokan tenaga kerja akan lebih pesat daripada saat sekarang. Kedua, para kapitalis sendiri -untuk menutup kerugian-kerugian yang diderita di pasar dunia- akan melakukan upaya yang lebih keras daripada masa sekarang guna mengurangi bagian dari keseluruhan produk yang mengalir ke buruh (dalam bentuk upah). Pengurangan upah itu -sebagaimana dijelaskan oleh Marx- adalah salah satu cara utama untuk menghambat jatuhnya tingkat keuntungan. Situasi di Inggris telah memberikan kepada kita suatu gambaran tentang permulaan tahap kedua dari perkembangan serikat buruh. Aksi serikat buruh berkurang arti pentingnya sampai hanya berupa tindakan mempertahankan hasil-hasil yang telah dicapai, bahkan itu pun kini menjadi makin dan makin sulit. Situasi seperti itu adalah kecenderungan umum dari hal-hal yang terjadi di masyarakat kita. Pengimbang bagi kecenderungan ini seharusnya adalah perkembangan sisi politik dari perjuangan kelas.
Konrad Schmidt melakukan kesalahan yang sama tentang perspektif sejarah ketika dia membahas reformasi sosial. Dia mengharapkan bahwa reformasi sosial -seperti organisasi-organisasi serikat buruh- akan “mendikte para kapitalis dengan syarat-syarat, yang hanya dengan itu mereka akan bisa mempekerjakan tenaga kerja.” Melihat reformasi dari sudut pandang ini, Bernstein menyebut legislasi tentang kerja sebagai sekeping “kontrol sosial”, dan yang demikian itu berarti sekeping sosialisme. Secara serupa, Konrad Schmidt selalu menggunakan istilah “kontrol sosial” ketika dia mengacu pada hukum-hukum perlindungan tenaga kerja. Sehingga ketika dengan senang hati ia mengubah negara menjadi masyarakat, ia pun menambahkan: “Maksudnya adalah kelas pekerja yang bangkit.” Akibat dari trik substitusi ini, Undang-Undang tentang Kerja -bersifat apa adanya- yang diundangkan oleh Dewan Federal Jerman, diubah menjadi langkah-langkah sosialis bersifat peralihan yang dianggap diundangkan oleh proletariat Jerman.
Mistifikasinya terlihat jelas. Kita tahu bahwa negara yang ada sekarang ini bukanlah “masyarakat” yang mewakili “kelas pekerja yang bangkit”. Negara itu sendiri adalah representasi dari masyarakat kapitalis. Ia adalah sebuah negara kapitalis. Karena itu, langkah-langkah reformasi bukanlah suatu penerapan “kontrol sosial”, yaitu kontrol dari masyarakat yang bekerja dengan bebas dalam proses kerjanya sendiri. Langkah-langkah reformasi adalah bentuk-bentuk kontrol yang diterapkan oleh organisasi kelas dari modal terhadap produksi modal. Ya, Bernstein dan Konrad Schmidt sekarang ini hanya melihat “permulaan yang lemah” dari kontrol ini. Mereka berharap untuk melihat suatu suksesi panjang reformasi-reformasi di masa mendatang, yang kesemuanya mendukung kelas pekerja. Akan tetapi, dalam hal ini mereka melakukan kesalahan yang serupa dengan keyakinan mereka akan perkembangan gerakan serikat buruh yang tak terbatas.
Syarat pokok bagi teori pencapaian sosialisme secara perlahan melalui reformasi-reformasi sosial adalah perkembangan obyektif tertentu dari kepemilikan kapitalis dan perkembangan obyektif tertentu dari negara. Konrad Schmidt mengatakan bahwa proprietor kapitalis cenderung untuk kehilangan hak-hak istimewanya seiring dengan perkembangan sejarah, dan akan terkurangi perannya hanya menjadi sekedar administrator. Dia mengira bahwa pengambil-alihan alat produksi tidak mungkin bisa dilaksanakan sebagai suatu tindakan historis tunggal. Karena itu, dia terpaksa menggunakan teori pengambil-alihan secara bertahap. Dengan pemikiran ini, Konrad membagi hak atas kepemilikan menjadi (1) hak “kedaulatan” (kepemilikan) -yang dia lekatkan pada sesuatu yang disebut “masyarakat”, dan yang dia inginkan untuk meluas- dan (2) lawannya, yaitu hanya hak guna yang dipegang oleh kapitalis, namun yang dianggap akan terkurangi di tangan para kapitalis, hingga hanya menjadi semata-mata administrasi atas perusahaan-perusahaan mereka.
Interpretasi ini bisa jadi hanya merupakan permainan kata-kata, dan dalam hal ini berarti teori tentang pengambil-alihan secara perlahan tidak memiliki basis yang riil, atau ia merupakan gambaran sejati dari perkembangan yudisial, di mana kita akan melihat bahwa teori pengambil-alihan secara perlahan itu sama sekali keliru.
Pembagian hak atas kepemilikan menjadi beberapa komponen hak, yakni sebuah konsep yang memberi legitimasi bagi Konrad Schmidt agar bisa menyusun teorinya tentang “pengambil-alihan secara bertahap”, menunjukkan ciri masyarakat feodal yang didirikan berdasarkan ekonomi alami. Dalam feodalisme, keseluruhan produk dibagi di antara kelas-kelas sosial di masa itu berdasarkan hubungan-hubungan pribadi yang ada antara tuan tanah dengan hamba ataupun penyewanya. Penguraian kepemilikan menjadi beberapa hak parsial mencerminkan cara distribusi kekayaan sosial pada periode itu. Dengan berjalannya proses menuju produksi komoditas dan diputuskannya semua ikatan pribadi di antara para peserta dalam proses produksi, maka hubungan antara manusia dan benda (yakni kepemilikan pribadi) secara resiprokal menjadi lebih kuat. Karena pembagian itu tidak lagi dilakukan berdasarkan hubungan-hubungan pribadi, melainkan melalui pertukaran, maka hak-hak berbeda atas suatu bagian dalam kekayaan sosial tidak lagi dihitung sebagai bagian-bagian dari hak-hak properti yang memiliki kepentingan yang sama. Hak-hak yang berbeda itu dihitung berdasarkan nilai yang dibawa oleh masing-masing hak itu di pasar.
Perubahan pertama yang diintrodusir ke dalam hubungan-hubungan yuridis dengan adanya kemajuan produksi komoditas pada komune-komune perkotaan Abad Pertengahan adalah perkembangan dari kepemilikan pribadi yang absolut. Kepemilikan pribadi yang absolut ini muncul di antara hubungan-hubungan yuridis feodal. Perkembangan ini telah bergerak maju dengan langkah pesat dalam produksi kapitalis. Makin proses produksi tersosialisasi, maka proses distribusi (pembagian kekayaan) semakin bertumpu pada pertukaran. Dan makin kepemilikan pribadi menjadi tak bisa dilanggar dan tertutup, maka kepemilikan kapitalis menjadi semakin tertransformasikan dari hak atas hasil kerja seseorang itu sendiri menjadi hak untuk menggunakan (tanpa ijin) kerja dari seseorang yang lain. Selama kapitalis itu sendiri yang mengelola pabriknya, maka distribusi masih -sampai titik tertentu- terikat pada partisipasi pribadinya dalam proses produksi. Namun seiring dengan manajemen pribadi pada bagian kapitalis menjadi berlebihan -yang ini merupakan kasus dalam masyarakat-masyarakat pemegang saham di masa sekarang- maka properti modal, sejauh berkenaan dengan haknya atas bagian dalam distribusi (pembagian kekayaan), menjadi terpisah dari hubungan pribadi apapun dengan produksi. Ia kini muncul dalam bentuknya yang paling murni. Hak kapitalis atas properti mencapai perkembangannya yang paling sempurna dalam modal yang dipegang dalam bentuk saham-saham dan kredit industri.
Demikianlah skema historis Konrad Schmidt, yang menelusuri transformasi kapitalis “dari seorang proprietor menjadi administrator semata”, ternyata memberi gambaran keliru tentang perkembangan sejarah yang riil. Sebaliknya, dalam realitas sejarah, kapitalis cenderung berubah dari proprietor dan administrator menjadi proprietor semata. Dalam hal ini, apa yang terjadi pada Konrad Schmidt, telah pula terjadi pada Goethe:
Apa yang nyata, ia lihat sebagaimana yang ada dalam mimpi.
Apa yang tak lagi nyata, baginya menjadi nyata.

Karena skema sejarah Schmidt secara ekonomi berjalan mundur dari suatu masyarakat pemegang saham menuju bengkel pengrajin, maka secara yuridis dia berkehendak untuk memimpin dunia kapitalis mundur kembali kepada rangka feodal lama Abad Pertengahan.
Dari sudut pandang ini pula, “kontrol sosial” dalam realitas ternyata muncul dalam aspek yang berbeda dengan apa yang dilihat oleh Konrad Schmidt. Apa yang sekarang ini berfungsi sebagai “kontrol sosial” -legislasi tentang kerja, kontrol organisasi-organisasi industri melalui kepemilikan saham, dan lain-lain- sama sekali tidak ada hubungannya dengan konsepnya tentang “kepemilikan yang maha tinggi”. Jauh dari -sebagaimana diyakini oleh Schmidt- asumsi terjadinya pengurangan kepemilikan kapitalis, sebaliknya “kontrol sosial” itu tak lain adalah perlindungan atas kepemilikan kapitalis. Atau, kalau diungkapkan dari sudut pandang ekonomi, “kontrol sosial“ itu bukanlah suatu ancaman terhadap eksploitasi kapitalis, melainkan hanyalah pengaturan eksploitasi. Jika Bernstein bertanya apakah ada sedikit-banyak sosialisme dalam suatu Undang-Undang perlindungan tenaga kerja, maka kita bisa meyakinkan dia bahwa sebaik-baiknya Undang-Undang perlindungan tenaga kerja, tak ada lagi “sosialisme” selain sekedar sebuah ordonansi kotapraja yang mengatur soal pembersihan jalan ataupun hidup/matinya lampu jalan.

4 – Kapitalisme dan Negara

Syarat kedua dari realisasi sosialisme secara perlahan, menurut Bernstein, adalah evolusi negara dalam masyarakat. Telah menjadi sesuatu yang lumrah untuk mengatakan bahwa negara yang ada sekarang ini adalah negara kelas. Hal ini juga, seperti segala sesuatu yang mengacu pada masyarakat kapitalis, hendaknya tidak dipahami dengan cara yang absolut dan kaku, melainkan secara dialektis.
Negara menjadi kapitalis karena adanya kemenangan politik borjuasi. Perkembangan kapitalis mengubah secara esensial watak negara, memperluas lingkup tindakan negara, secara konstan memaksakan fungsi-fungsi baru pada negara (khususnya fungsi-fungsi yang mempengaruhi kehidupan ekonomi), membuat intervensi dan kontrol negara dalam masyarakat menjadi makin dan makin diperlukan. Dalam hal ini, perkembangan kapitalis sedikit demi sedikit menyiapkan penggabungan (fusi) negara dengan masyarakat di masa depan. Maksudnya ialah bahwa perkembangan kapitalis menyiapkan kembalinya negara kepada masyarakat. Mengikuti garis pikiran ini, seseorang bisa berbicara tentang evolusi negara kapitalis menjadi masyarakat, dan ini tak ragu lagi adalah apa yang ada dalam pikiran Marx ketika ia mengacu pada legislasi tentang kerja sebagai intervensi secara sadar yang pertama dari “masyarakat” dalam proses sosial yang vital. Sebuah frasa yang kepadanya Bernstein sangat bergantung.
Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan kapitalis yang sama mewujudkan transformasi lain dalam hal watak negara. Negara yang ada sekarang pertama-tama adalah sebuah organisasi dari kelas yang berkuasa/memerintah. Ini mengasumsikan fungsi-fungsi yang mendukung perkembangan sosial, khususnya karena -dan dalam ukuran bahwa- kepentingan-kepentingan ini dan perkembangan-perkembangan sosial sesuai -dalam model yang umum- dengan kepentingan-kepentingan dari kelas yang dominan. Legislasi tentang kerja diundangkan berdasarkan kepentingan mendesak kelas kapitalis, selaras dengan kepentingan masyarakat secara umum. Tetapi harmoni ini hanya bertahan sampai suatu titik tertentu dari perkembangan kapitalis. Ketika perkembangan kapitalis telah mencapai suatu tingkat tertentu, maka kepentingan borjuasi sebagai sebuah kelas, dan kebutuhan akan kemajuan ekonomi, mulai berbenturan, bahkan dalam makna kapitalis. Kita percaya bahwa fase ini telah dimulai. Ia mewujudkan diri dalam dua fenomena yang sangat penting dari kehidupan sosial kontemporer: di satu sisi, kebijakan tentang proteksi tarif dan di sisi lain, militerisme. Kedua fenomena ini telah memainkan peran yang sangat dibutuhkan dan -dalam makna itu- bersifat revolusioner sepanjang sejarah kapitalisme. Tanpa adanya proteksi tarif, perkembangan industri besar akan menjadi mustahil di beberapa negeri. Namun sekarang situasinya berbeda.
Sekarang ini, proteksi tidak begitu berperan dalam mengembangkan industri muda untuk secara artifisial mempertahankan bentuk-bentuk produksi tertentu yang sudah tua.
Dari sudut perkembangan kapitalis, yakni dari titik pandang dunia ekonomi, hanyalah persoalan kecil apakah Jerman mengekspor lebih banyak barang dagangan ke Inggris, ataukah Inggris mengekspor lebih banyak barang dagangan ke Jerman. Dari sudut pandang perkembangan ini, bisa dikatakan bahwa sang blackamoor telah melakukan pekerjaannya, dan kini waktunya bagi dia untuk berjalan dengan caranya sendiri. Dengan adanya kondisi tertentu berupa ketergantungan resiprokal, yang itu didapati oleh berbagai cabang industri, maka suatu tarif proteksionis pada komoditas apapun akan mengakibatkan naiknya biaya produksi komoditas-komoditas lainnya di dalam negeri itu. Karena itu, ia merintangi perkembangan industri. Tetapi tidaklah demikian halnya dari sudut pandang kepentingan kelas kapitalis. Walaupun industri tidak memerlukan proteksi tarif untuk perkembangannya, namun bisnis memerlukan tarif untuk melindungi pasarnya. Ini menandakan bahwa di masa sekarang, tarif tidak lagi berfungsi sebagai sarana untuk melindungi suatu bagian kapitalis yang sedang berkembang terhadap bagian-bagian lain yang sudah lebih maju. Tarif kini adalah senjata yang digunakan oleh satu kelompok kapitalis nasional untuk menghadapi kelompok lainnya. Lebih jauh, tarif kini bukan lagi merupakan instrumen proteksi bagi industri dalam geraknya untuk menciptakan dan menguasai pasar dalam negeri. Tarif sekarang ini adalah sarana yang sangat dibutuhkan untuk kartelisasi industri, yakni sarana yang digunakan dalam perjuangan para produsen kapitalis untuk menghadapi masyarakat konsumen dalam agregat itu. Apa yang dengan cara empatik menjelaskan karakter spesifik dari kebijakan-kebijakan tentang pajak impor kontemporer adalah fakta bahwa sekarang ini bukan industri, melainkan pertanian lah yang memainkan peran utama dalam penentuan tarif. Kebijakan tentang proteksi pajak impor telah menjadi suatu alat untuk mengkonversikan dan mengekspresikan kepentingan-kepentingan feodal dalam bentuk kapitalis.
Perubahan yang sama telah terjadi dalam militerisme. Apabila kita mempertimbangakan sejarah seperti apa adanya dulu, bukan apa yang bisa jadi atau seharusnya bisa jadi, maka kita harus mengakui bahwa perang telah menjadi bagian istimewa yang sangat dibutuhkan dalam perkembangan kapitalis. Amerika Serikat, Jerman, Italia, negara-negara Balkan, Polandia, semuanya berhutang budi kepada perang untuk perkembangan kapitalisnya, baik perang itu berakhir dengan kemenangan ataupun dengan kekalahan. Selama ada negeri-negeri yang ditandai dengan pembagian politik atau isolasi ekonomi internal yang harus dihancurkan, maka militerisme memainkan sebuah peran revolusioner jika dilihat dari sudut pandang kapitalisme. Namun sekarang ini situasinya berbeda. Jika politik dunia telah menjadi tahap yang mengancam munculnya konflik-konflik, maka ia bukan lagi merupakan persoalan terbukanya negeri-negeri baru bagi kapitalisme. Ia adalah persoalan yang telah ada dalam pertikaian-pertikaian Eropa, yang kemudian dikirimkan ke negeri-negeri lain, lalu meledak di sana. Lawan-lawan bersenjata yang kini kita lihat di Eropa dan benua-benua lainnya tidak membariskan diri sebagai negeri-negeri kapitalis di satu sisi, dan sebagai negeri-negeri terbelakang di sisi lain. Mereka adalah negara-negara yang dipaksa berperang, khususnya sebagai akibat perkembangan kapitalisnya yang maju secara serupa. Dalam pandangan ini, sebuah ledakan pasti akan fatal bagi perkembangan itu, dalam hal bahwa ia pasti memprovokasi kekacauan yang sangat mendalam dan transformasi kehidupan ekonomi di semua negeri.
Namun demikian, persoalan ini muncul secara sama sekali berbeda jika dilihat dari pandangan kelas kapitalis. Bagi kelas kapitalis, militerisme telah menjadi sangat dibutuhkan. Pertama, sebagai suatu sarana perjuangan untuk membela kepentingan “nasional” dalam persaingan melawan kelompok-kelompok “nasional” lainnya. Kedua, sebagai suatu metode penempatan untuk modal finansial dan industri. Ketiga, sebagai suatu instrumen dominasi kelas terhadap populasi pekerja di dalam negeri. Di dalam dirinya sendiri, kepentingan-kepentingan ini tidak memiliki kesamaan dengan perkembangan corak produksi kapitalis. Apa yang paling menunjukkan karakter khusus dari militerisme sekarang ini adalah fakta bahwa militerisme berkembang secara umum di semua negeri sebagai suatu akibat -boleh dikatakan- dari kekuatan motif internalnya sendiri yang mekanis. Sebuah fenomena yang sama sekali belum dikenal beberapa dekade yang lalu. Kita mengenali hal ini dalam karakter fatal dari ledakan di ambang pintu yang tak terhindarkan, meskipun terdapat keraguan total mengenai tujuan-tujuan dan motif-motif konflik. Perkembangan militerisme telah berubah dari motor kapitalis, menjadi suatu penyakit kapitalis.
Dalam perbenturan antara perkembangan kapitalis dan kepentingan kelas yang dominan, negara mengambil posisi di pihak kelas yang dominan. Kebijakan negara, seperti juga kebijakan borjuasi, menjadi berkonflik dengan perkembangan sosial. Dengan begitu, negara makin dan makin kehilangan karakternya sebagai representasi dari keseluruhan masyarakat, dan dengan tingkat yang sama pula bertransformasi menjadi murni sebuah negara kelas. Atau lebih tepatnya, dua kualitas ini semakin membedakan diri dari satu sama lain, dan mendapati dirinya pada hubungan yang bertentangan dalam watak hakiki negara. Kontradiksi ini secara progresif menjadi bertambah tajam. Ini karena di satu sisi, kita mengalami pertumbuhan fungsi-fungsi dari suatu kepentingan umum pada bagian negara, intervensinya dalam kehidupan sosial, “kontrol"nya terhadap masyarakat. Namun, di sisi lain, karakter kelasnya mengharuskan negara untuk makin dan makin menggerakkan poros aktivitas dan alat kekerasannya ke dalam ranah-ranah yang berguna hanya bagi karakter kelas borjuasi, sedangkan bagi masyarakat secara keseluruhan hanyalah mendatangkan arti penting yang negatif, sebagaimana dalam hal militerisme serta kebijakan-kebijakan tarif dan kolonial. Terlebih lagi, “kontrol sosial” yang dipraktekkan oleh negara ini sekaligus menerobos dengan -dan didominasi oleh- karakter kelasnya (lihatlah bagaimana legalisasi tentang kerja diterapkan di semua negeri).
Perluasan demokrasi, yang dilihat Bernstein sebagai suatu sarana untuk mewujudkan sosialisme secara bertahap, tidaklah bertentangan, justru sebaliknya secara sempurna berkesesuaian dengan transformasi yang diwujudkan dalam watak negara.
Konrad Schmidt menyatakan bahwa kemenangan suatu mayoritas sosial-demokratik di parlemen akan secara langsung menyebabkan terjadinya "sosialisasi” masyarakat. Kini, bentuk-bentuk demokratis dari kehidupan politik tak ragu lagi merupakan fenomena yang mengekspresikan secara jelas evolusi negara dalam masyarakat. Bentuk-bentuk demokratis ini pada batas itu memang menimbulkan suatu gerak menuju suatu transformasi sosialis. Tetapi konflik di dalam negara kapitalis seperti diuraikan di atas, termanifestasi sendiri bahkan secara lebih empatik dalam parlementarisme moderen. Sesungguhnya, sesuai dengan dengan bentuknya, parlementarisme berfungsi untuk mengekspresikan -di dalam organisasi negara-kepentingan-kepentingan dari seluruh masyarakat. Namun apa yang diekspresikan oleh parlementarisme di sini adalah masyarakat kapitalis, yaitu suatu masyarakat di mana kepentingan-kepentingan kapitalis lebih berkuasa. Dalam masyarakat seperti ini, lembaga-lembaga perwakilan yang demokratis dalam bentuknya, ternyata dalam isinya adalah instrumen dari kepentingan kelas yang berkuasa. Hal ini termanifestasi sendiri dengan model yang nyata dalam fakta bahwa segera setelah demokrasi menunjukkan kecenderungan untuk menegasikan karakter kelasnya dan mulai tertransformasikan menjadi instrumen dari kepentingan riil populasi, maka bentuk-bentuk demokratis itupun dikorbankan oleh borjuasi dan oleh wakil-wakil negaranya. Itulah mengapa ide tentang penaklukan oleh suatu mayoritas reformis parlementer merupakan perhitungan yang -sepenuhnya dalam semangat liberalisme borjuis- berasyik-asyik sendiri hanya memikirkan satu sisi, yakni sisi formal demokrasi, namun tidak mempertimbangkan sisi lainnya, yakni kandungan sesungguhnya dari demokrasi. Seluruhnya, parlementarisme bukanlah suatu elemen sosialis langsung yang membuahi seluruh masyarakat kapitalis secara perlahan. Sebaliknya, parlementarisme adalah bentuk spesifik dari negara kelas borjuis yang membantu mematangkan dan mengembangkan pertentangan-pertentangan yang kini ada dalam kapitalisme.
Dari sudut sejarah perkembangan obyektif negara, keyakinan Bernstein dan Konrad Schmidt bahwa “kontrol sosial” yang meningkat menghasilkan pengantar langsung menuju sosialisme, tertransformasikan menjadi suatu rumusan yang mendapati dirinya sendiri semakin berkontradiksi dengan realitas dari hari ke hari.
Teori introduksi sosialisme secara perlahan mengajukan reformasi progresif terhadap kepemilikan kapitalis dan negara kapitalis dalam arahan sosialisme. Namun, sebagai konsekuensi dari hukum-hukum obyektif masyarakat yang kini ada, satu dan lainnya berkembang dalam arah yang persis berlawanan. Proses produksi semakin tersosialisasi, dan intervensi negara, yakni kontrol negara terhadap proses produksi, menjadi semakin luas. Tetapi pada saat yang sama, properti pribadi makin dan makin menjadi bentuk dari eksploitasi kapitalis secara terbuka terhadap kerja orang lain, dan kontrol negara diterobos dengan adanya kepentingan-kepentingan eksklusif dari kelas yang berkuasa. Negara (organisasi politik dari kapitalisme) dan hubungan-hubungan kepemilikan (organisasi yuridis dari kapitalisme) menjadi semakin bersifat kapitalis, dan bukan sosialis, menghadapkan pada teori introduksi sosialisme secara progresif, dua kesulitan yang tak bisa ditanggulangi.
Skema Fourier tentang mengubah air -melalui sebuah sistem phalansteries- di seluruh laut menjadi limun yang sedap tentunya merupakan ide yang fantastis. Tetapi Bernstein, dengan mengajukan gagasan untuk mengubah lautan kepahitan kapitalis menjadi lautan manisnya sosialis dengan secara progresif menuangkan limun reformis sosial ke dalam lautan itu, sesungguhnya menyajikan sebuah ide yang sekedar menjadi makin hambar, namun tak lagi fantastis.
Relasi-relasi produksi di masyarakat kapitalis makin dan makin mendekati relasi-relasi produksi masyarakat sosialis. Tetapi di sisi lain, hubungan-hubungan politik dan yuridisnya menegakkan tembok kokoh di antara masyarakat kapitalis dan masyarakat sosialis. Tembok ini belum hancur, namun sebaliknya diperkuat dan dikonsolidasikan oleh perkembangan reformasi sosial dan jalannya demokrasi. Hanya pukulan palu revolusi, yakni penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat lah yang bisa menghancur-leburkan tembok itu.

5 – Konsekuensi Reformisme Sosial dan Watak Umum Revisionisme

Di bab pertama kami bermaksud menunjukkan bahwa teori Bernstein mencabut program gerakan sosialis lepas dari basis materialnya, dan berusaha meletakkan program gerakan sosialis di atas suatu basis yang idealis. Bagaimana teori ini berjalan ketika diterjemahkan ke dalam praktek?
Berdasarkan perbandingan pertama, praktek partai sebagai akibat dari teori Bernstein tidaklah nampak berbeda dengan praktek yang dianut oleh sosial-demokrasi sampai sekarang. Dahulu, aktivitas Partai Sosial-Demokrasi terdiri atas kerja serikat buruh, agitasi untuk memperjuangkan reformasi-reformasi sosial dan demokratisasi lembaga-lembaga politik yang ada. Perbedaannya bukanlah pada apa, melainkan pada bagaimana.
Sekarang ini, perjuangan serikat buruh dan praktek parlementer dianggap sebagai sarana pembinaan dan pendidikan proletariat dalam persiapan untuk tugas merebut kekuasaan. Dari sudut pandang revisionis, penaklukan kekuasaan ini adalah mustahil sekaligus sia-sia. Dan karenanya, aktivitas serikat buruh dan parlementer hendak dilaksanakan oleh partai hanya demi mencapai hasil-hasilnya yang mendesak, yakni untuk tujuan memperbaiki kondisi buruh yang kini ada, mengurangi eksploitasi kapitalis secara perlahan, dan perluasan kontrol sosial.
Dengan demikian, apabila kita tidak mempertimbangkan perbaikan sementara kondisi buruh yang mendesak -sebuah tujuan yang sama baik bagi program partai kita, maupun bagi revisionisme- maka perbedaan antara dua pandangan ini secara singkat adalah sebagai berikut. Menurut konsepsi partai yang kini ada, aktivitas serikat buruh dan parlementer itu penting bagi gerakan sosialis, karena aktivitas seperti itu bisa menyiapkan proletariat, yakni menciptakan faktor subyektif dari transformasi sosialis, demi tugas untuk mewujudkan sosialisme. Tetapi menurut Bernstein, aktivitas serikat buruh dan parlementer secara perlahan akan mengurangi eksploitasi kapitalis itu sendiri. Aktivitas tersebut akan melepaskan karakter kapitalis dari masyarakat kapitalis. Aktivitas tersebut akan secara obyektif mewujudkan perubahan sosial yang diinginkan.
Apabila diteliti secara seksama, kita akan melihat bahwa kedua konsepsi itu secara diametris bertentangan. Memandang situasi itu dari sudut pandang partai kita sekarang ini, kita katakan bahwa sebagai hasil dari perjuangan-perjuangan serikat buruh dan parlementer, proletariat menjadi yakin akan mustahilnya pencapaian suatu perubahan sosial yang fundamental melalui aktivitas seperti itu, sehingga sampai pada pemahaman bahwa penaklukan kekuasaan adalah tak terhindarkan. Bagaimanapun juga, teori Bernstein dimulai dengan menyatakan bahwa penaklukan seperti itu mustahil. Teori Bernstein menarik kesimpulan dengan menegaskan bahwa sosialisme hanya bisa diintrodusir sebagai hasil dari perjuangan serikat buruh dan aktivitas parlementer. Karena, sebagaimana dilihat oleh Bernstein, aksi serikat buruh dan parlementer memiliki suatu karakter sosialis, karena ia menjalankan pengaruh sosialisasi secara progresif terhadap ekonomi kapitalis.
Kita telah coba menunjukkan bahwa pengaruh semacam itu murni bersifat imajiner. Hubungan-hubungan antara properti kapitalis dan negara kapitalis berkembang dalam arah yang sama sekali berlawanan, sehingga aktivitas praktis sehari-hari dari Sosial-Demokrasi sekarang ini kehilangan -dalam analisis terakhir- semua hubungannya dengan kerja untuk mencapai sosialisme. Dari sudut pandang sebuah gerakan untuk mencapai sosialisme, perjuangan serikat buruh dan praktek parlementer kita amatlah penting sejauh keduanya membuat pemahaman serta kesadaran proletariat menjadi sosialistik, dan membantu dalam mengorganisir proletariat sebagai sebuah kelas. Namun ketika perjuangan serikat buruh dan praktek parlementer dianggap sebagai instrumen untuk melakukan sosialisasi secara langsung terhadap ekonomi kapitalis, maka keduanya tidak hanya kehilangan efektivitasnya yang lazim, melainkan juga tak lagi menjadi sarana untuk menyiapkan kelas pekerja bagi penaklukan kekuasaan. Eduard Bernstein dan Konrad Schmidt sama sekali salah mengerti ketika keduanya menghibur diri dengan keyakinan bahwa, meskipun program partai direduksi hanya menjadi kerja untuk mencapai reformasi-reformasi sosial dan kerja serikat buruh seperti biasa, namun tujuan akhir gerakan buruh tidaklah menjadi percuma, karena setiap langkah majunya bergerak melampaui tujuan jangka pendek tertentu, dan tujuan sosialis terimplikasi sebagai suatu kecenderungan dari kemajuan yang dikehendaki.
Tentu saja hal itu benar berkenaan dengan Sosial-Demokrasi Jerman. Hal tersebut benar, bilamana sebuah upaya yang tegas dan sadar untuk penaklukan kekuasaan politik menyuburkan perjuangan serikat buruh dan kerja untuk mencapai reformasi-reformasi sosial. Tetapi apabila upaya ini dipisahkan dari gerakan itu sendiri, dan reformasi-reformasi sosial dengan begitu dijadikan semata-mata sebagai tujuan, maka aktivitas tersebut bukan hanya tidak mengarah pada tujuan akhir sosialisme, melainkan bahkan bergerak dalam arah yang persis bertentangan.
Konrad Schmidt terjerumus pada ide bahwa jika suatu gerakan yang ternyata bersifat mekanis telah dimulai, maka ia tidak bisa berhenti sendiri, karena “selera seseorang justru tumbuh ketika makan,” dan kelas pekerja disangka tidak akan berpuas diri dengan reformasi-reformasi sampai transformasi akhir sosialis terwujud.
Memang kondisi yang disebutkan terakhir tadi cukup riil. Efektivitasnya dijamin oleh amat tidak memadainya reformasi kapitalis. Akan tetapi, kesimpulan yang ditarik dari hal itu hanya bisa menjadi benar jika memang memungkinkan untuk membangun sebuah rantai reformasi yang terus memanjang dan tak terputus, yang beranjak dari kapitalisme masa kini menuju sosialisme. Ini tentu saja hanya fantasi belaka. Sesuai dengan sifat segala sesuatu sebagaimana adanya, rantai akan putus dengan cepat, dan jalur yang bisa diambil oleh gerakan mulai saat itu, yang diharapkan untuk maju, adalah banyak dan bervariasi.
Apa akibat yang segera akan terjadi jika partai kita harus mengubah prosedur umumnya untuk disesuaikan dengan sudut pandang yang ingin menekankan perhatian pada hasil-hasil praktis dari perjuangan kita? Segera setelah “hasil-hasil jangka pendek” menjadi tujuan utama aktivitas kita, maka hal nyata yang tak terdamaikan dengan sudut pandang yang baru akan memiliki makna jikalau ia mengajukan konsep untuk memenangkan kekuasaan, akan didapati makin dan makin sulit. Konsekuensi langsung dari hal ini akan berupa adopsi oleh partai terhadap “kebijakan kompensasi”, yakni suatu kebijakan perdagangan politis, dan sebuah sikap yang kurang percaya diri, perdamaian diplomatis. Tetapi sikap ini tidak bisa berlanjut untuk waktu yang lama, karena reformasi sosial hanya bisa menawarkan janji kosong. Konsekuensi logis dari program seperti itu pastilah berupa kekecewaan.
Tidaklah benar bahwa sosialisme bisa muncul secara otomatis dari perjuangan sehari-hari kelas pekerja. Sosialisme akan menjadi konsekuensi dari (1) kontradiksi-kontradiksi yang tumbuh di dalam ekonomi kapitalis, dan (2) pemahaman oleh kelas pekerja tentang tak terhindarkannya penghapusan kontradiksi-kontradiksi ini melalui transformasi sosial. Apabila -dengan cara revisionisme- syarat pertama disanggah dan syarat kedua ditolak, maka gerakan buruh akan mendapati diri tereduksi menjadi semata-mata gerakan yang kooperatif dan reformis. Ini berarti kita bergerak dalam garis lurus menuju pengabaian total sudut pandang kelas.
Konsekuensi ini juga menjadi nyata apabila kita meneliti karakter umum revisionisme. Jelas bahwa revisionisme tidak ingin mengakui bahwa sudut pandangnya adalah sikap apologis kapitalis. Revisionisme tidak bergabung dengan ekonom-ekonom borjuis dalam menolak eksistensi kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme. Namun, di sisi lain, apa yang memang merupakan titik fundamental revisionisme, dan membedakannya dengan sikap yang diambil oleh sosial-demokrasi sampai sekarang, ialah bahwa revisionisme tidak mendasarkan teorinya pada keyakinan bahwa kontradiksi-kontradiksi kapitalisme akan terhapuskan sebagai akibat perkembangan internal logis dari sistem ekonomi yang ada sekarang.
Kita bisa mengatakan bahwa teori revisionisme menempati sebuah ruang di antara dua hal ekstrem. Revisionisme tak ingin melihat matangnya kontradiksi-kontradiksi kapitalisme. Ia tidak mengajukan konsep untuk menghapuskan kontradiksi-kontradiksi ini melalui suatu transformasi revolusioner. Revisionisme ingin memperkecil, meredakan kontradiksi-kontradiksi kapitalis. Dengan demikian, pertentangan yang ada antara produksi dan pertukaran hendak diredakan dengan dihentikannya krisis dan dibentuknya persekutuan kapitalis. Pertentangan antara modal dan kerja hendak didamaikan dengan memperbaiki kondisi buruh dan dengan pelestarian kelas-kelas menengah. Dan kontradiksi antara negara kelas dan masyarakat hendak dihilangkan dengan cara kontrol negara yang meningkat serta kemajuan demokrasi.
Benar bahwa prosedur sosial-demokrasi yang ada sekarang ini tidak mengandung muatan untuk menunggu agar antagonisme-antagonisme kapitalisme berkembang dan kemudian sekedar berlanjut pada tugas untuk menghapuskan antagonisme-antagonisme tersebut. Sebaliknya, esensi dari prosedur revolusioner ialah akan dipandu oleh perkembangan ini ketika perkembangan itu telah bisa dipastikan, dan menarik kesimpulan dari arahan ini tentang konsekuensi-konsekuensi apa yang diperlukan bagi perjuangan politik. Jadi, sosial-demokrasi telah melawan perang tarif dan militerisme tanpa menunggu karakter reaksioner kedua hal itu menjadi jelas. Prosedur Bernstein tidak dipandu oleh suatu pertimbangan tentang perkembangan kapitalisme, oleh prospek tentang menajamnya kontradiksi-kontradiksi kapitalis. Prosedur Bernstein dipandu oleh prospek tentang meredanya kontradiksi-kontradiksi ini. Dia menunjukkan hal ini ketika berbicara tentang “adaptasi” ekonomi kapitalis.
Lalu, kapan konsepsi itu bisa menjadi benar? Jika benar bahwa kapitalisme akan terus berkembang dalam arah yang ditempuhnya sekarang ini, maka kontradiksi-kontradiksinya pasti akan menajam serta semakin parah, dan bukan melenyap. Kemungkinan berkurangnya kontradiksi-kontradiksi tersebut mengasumsikan bahwa corak produksi kapitalis itu sendiri akan menghentikan gerak majunya. Singkatnya, syarat umum bagi teori Bernstein adalah berhentinya perkembangan kapitalis.
Namun demikian, teori Bernstein menunjukkan kesalahannya sendiri secara duakali lipat.
Pertama, teori itu memanifestasikan karakter utopisnya dalam sikapnya tentang pembangunan sosialisme. Karena sudah jelas, bahwa perkembangan kapitalis yang tak sempurna tidak bisa menuju pada suatu transformasi sosialis.
Kedua, teori Bernstein mengungkap karakter reaksionernya ketika ia mengacu pada perkembangan pesat kapitalis yang terjadi di masa sekarang. Dengan mengasumsikan perkembangan kapitalisme yang sesungguhnya, bagaimana kita bisa menjelaskan -atau lebih tepatnya menyatakan- posisi Bernstein?
Pada bab pertama kita telah menunjukkan tidak konkretnya basis kondisi-kondisi ekonomi, yang berlandaskan itu Bernstein membangun analisisnya mengenai hubungan sosial yang ada. Kita telah melihat bahwa, baik sistem kredit maupun kartel, tidak bisa dikatakan sebagai “sarana adaptasi” ekonomi kapitalis. Kita telah melihat bahwa, bahkan berhenti-sementaranya krisis, ataupun bertahan hidupnya kelas menengah, tidak bisa dianggap sebagai gejala-gejala adaptasi kapitalis. Tetapi, meskipun kita akan gagal menjelaskan sifat keliru dari semua hal rinci dalam teori Bernstein, namun kita tak berdaya kecuali dihentikan sejenak oleh satu gambaran yang sama dari semua hal rinci tersebut. Teori Bernstein tidak menangkap manifestasi-manifestasi dari kehidupan ekonomi kontemporer ini sebagaimana manifestasi tersebut muncul dalam hubungan organiknya dengan keseluruhan perkembangan kapitalis, dengan keseluruhan mekanisme ekonomi kapitalisme. Teori Bernstein menarik hal-hal rinci itu keluar dari konteks ekonominya yang hidup. Teori ini memperlakukan hal-hal rinci tersebut sebagai disjecta membra (bagian-bagian yang terpisah) dari sebuah mesin mati.
Lihatlah, misalnya, konsepsi Bernstein tentang efek adaptif dari kredit. Jika kita mengenali kredit sebagai suatu tahap alami yang lebih tinggi dari proses pertukaran, dan karenanya juga merupakan tahap alami yang lebih tinggi dari kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam pertukaran kapitalis, maka kita tidak bisa sekaligus melihatnya sebagai sarana mekanis adaptasi yang berada di luar proses pertukaran. Demikian pula, adalah mustahil untuk menganggap uang, barang dagangan dan modal sebagai “sarana adaptasi” kapitalisme.
Bagaimanapun juga, kredit, seperti juga uang, komoditas-komoditas dan modal, adalah suatu link organik dari ekonomi kapitalis pada suatu tahap perkembangannya yang tertentu. Seperti uang, komoditas dan modal, kredit merupakan alat yang sangat dibutuhkan dalam mekanisme ekonomi kapitalis, dan sekaligus merupakan instrumen penghancur, karena ia mempertajam kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme.
Hal yang sama juga berlaku pada kartel dan sarana-sarana komunikasi baru yang disempurnakan.
Pandangan mekanis yang sama disajikan oleh Bernstein dalam upaya untuk menjelaskan tentang harapan berhentinya krisis sebagai suatu gejala “adaptasi” ekonomi kapitalis. Bagi Bernstein, krisis hanyalah kekacauan mekanisme ekonomi. Dengan berhentinya kekacauan itu, dia pikir, mekanisme akan bisa berfungsi dengan baik. Namun faktanya ialah bahwa krisis bukanlah “kekacauan” dalam makna kata yang biasanya. Krisis adalah “kekacauan-kekacauan”, yang tanpa itu ekonomi kapitalis tidak bisa berkembang sama sekali. Karena apabila krisis memunculkan satu-satunya metode yang mungkin dalam kapitalisme -dan karena itu, merupakan metode yang normal- untuk menyelesaikan secara periodik konflik yang ada antara perluasan produksi yang tak terbatas dan batas-batas sempit pasar dunia, maka krisis adalah manifestasi organik yang tidak bisa dipisahkan dari ekonomi kapitalis.
Dalam kemajuan produksi kapitalis yang “tak terhalangi” tersembunyi suatu ancaman yang lebih besar daripada krisis. Ia adalah ancaman jatuhnya tingkat keuntungan secara konstan yang diakibatkan bukan hanya oleh kontradiksi antara produksi dan pertukaran, melainkan juga oleh pertumbuhan produktivitas kerja itu sendiri. Jatuhnya tingkat keuntungan memiliki kecenderungan sangat berbahaya, yakni menyebabkan tidak-mungkinnya bisnis apapun bagi modal kecil dan menengah. Dengan begitu, jatuhnya tingkat keuntungan membatasi pembentukan baru dan -karenanya- juga perluasan penempatan modal.
Dan memang krisislah yang memunculkan konsekeuensi lain itu dari proses yang sama. Sebagai akibat dari depresiasi modalnya yang periodik, krisis membawa kejatuhan dalam harga alat produksi, kelumpuhan suatu bagian dari modal aktif, dan pada waktunya juga macetnya peningkatan keuntungan. Dengan demikian, krisis menciptakan kemungkinan-kemungkinan kemajuan produksi yang diperbaharui. Karena itu, krisis muncul sebagai instrumen untuk menyalakan kembali api perkembangan kapitalis. Berhentinya krisis -bukan berhenti yang sementara, melainkan melenyapnya secara total di pasar dunia- tidak akan menyebabkan perkembangan lebih lanjut ekonomi kapitalis. Ia akan menghancurkan kapitalisme.
Selaras dengan pandangan mekanis dari teorinya tentang adaptasi, Bernstein melupakan kebutuhan akan krisis, maupun kebutuhan akan penempatan-penempatan baru modal-modal kecil dan menengah. Dan itulah mengapa kemunculan kembali modal kecil secara konstan, bagi Bernstein nampak menjadi tanda berhentinya perkembangan kapitalis, meskipun pada kenyataannya itu adalah suatu gejala dari perkembangan kapitalis yang normal.
Penting untuk dicatat bahwa terdapat suatu sudut pandang dari mana semua fenomena yang telah disebutkan di atas dipandang secara tepat sebagaimana fenomena-fenomana itu telah disajikan oleh teori “adaptasi”. Ia adalah sudut pandang tentang kapitalis yang terisolasi (tunggal) yang mencerminkan dalam pikirannya fakta-fakta ekonomi di sekelilingnya, hanya karena fakta-fakta itu muncul ketika dibiaskan oleh hukum-hukum persaingan. Kapitalis yang terisolasi melihat masing-masing bagian organik dari keseluruhan ekonomi kita sebagai suatu entitas independen. Dia melihat krisis itu hanya sebagaimana yang berlaku pada dirinya, seorang kapitalis tunggal. Karena itu, dia menganggap fakta-fakta ini merupakan “kekacauan” sederhana dari “sarana adaptasi” sederhana. Bagi kapitalis yang terisolasi, benar bahwa krisis memang merupakan kekacauan sederhana; berhentinya krisis memungkinkan kapitalis itu untuk memiliki eksistensi yang lebih lama. Sejauh berkenaan dengan kapitalis semacam ini, kredit hanyalah suatu sarana untuk “mengadaptasikan” kekuatan-kekuatan produktifnya yang tak memadai terhadap kebutuhan-kebutuhan pasar. Dan nampak bagi dia bahwa kartel yang mana dia menjadi seorang anggotanya, benar-benar menghapuskan anarki industri.
Revisionisme tak lain adalah sebuah generalisasi teoritis yang disusun dari sudut pandang kapitalis yang terisolasi. Secara teoritis, sudut pandang ini masuk ke bagian yang mana, kalau bukan ke dalam ekonomi borjuis?
Segala kesalahan aliran pemikiran ini persis terletak pada konsepsi yang keliru memahami fenomena persaingan sebagai sesuatu yang dilihat dari sudut pandang kapitalis tunggal, lalu diterapkan pada fenomena keseluruhan ekonomi kapitalis. Tepat sebagaimana Bernstein menganggap kredit sebagai suatu sarana “adaptasi” terhadap kebutuhan-kebutuhan pertukaran, maka ekonomi vulgar pun berusaha menemukan penawar racun untuk melawan penyakit-penyakit kapitalisme dalam fenomena-fenomena kapitalisme. Seperti Bernstein, ekonomi vulgar juga yakin bahwa adalah mungkin untuk mengatur ekonomi kapitalis. Dan seperti cara Bernstein pula, ekonomi vulgar pada waktunya sampai pada keinginan untuk meredakan kontradiksi-kontradiksi kapitalisme, yakni pada keyakinan akan kemungkinan untuk menambal luka-luka kapitalisme. Ekonomi vulgar berujung dengan menjanjikan sebuah program reaksi. Ekonomi vulgar berujung pada suatu utopia.
Karena itu, teori revisionisme dapat didefinisikan dengan cara berikut ini. Ia adalah sebuah teori tentang keadaan tak-bergerak dalam gerakan sosialis, yang dibangun -dengan bantuan ekonomi vulgar- di atas landasan sebuah teori tentang berhentinya perkembangan kapitalis.

6 – Perkembangan Ekonomi dan Sosialisme

Kemenangan terbesar gerakan proletarian yang sedang berkembang adalah ditemukannya landasan yang mendukung bagi perwujudan sosialisme pada kondisi ekonomi masyarakat kapitalis. Berkat penemuan ini, sosialisme berubah dari impian “ideal” oleh umat manusia selama ribuan tahun, menjadi sesuatu yang merupakan kebutuhan sejarah.
Bernstein menolak adanya syarat-syarat ekonomi bagi sosialisme pada masyarakat masa sekarang. Dalam hal ini, penalarannya telah mengalami suatu evolusi yang menarik. Pertama-tama, di Neue Zeit Bernstein membantah pesatnya proses konsentrasi yang terjadi dalam industri. Dia mendasarkan sikapnya atas sebuah perbandingan statistik tentang pekerjaan di Jerman tahun 1882 dan 1895. Untuk menggunakan angka-angka ini bagi tujuannya, Bernstein terpaksa harus bergerak dalam suatu model yang sama sekali bersifat ringkasan dan mekanis. Dalam hal yang paling mendukung sekalipun, Bernstein bahkan tidak bisa -dengan menunjukkan kegigihan perusahaan-perusahaan berskala menengah- sedikitpun melemahkan analisis marxian, karena analisis marxian tidak menganggap suatu tingkat konsentrasi industri yang pasti (yakni penundaan tertentu terhadap realisasi sosialisme) ataupun, sebagaimana telah kita tunjukkan, melenyapnya modal-modal kecil secara mutlak yang biasanya digambarkan sebagai melenyapnya borjuasi kecil, sebagai sebuah syarat untuk mewujudkan sosialisme.
Dalam kurun perkembangan terakhir ide-idenya, Bernstein melengkapi kita -dalam bukunya- dengan sebuah kumpulan bukti-bukti baru: statistik mengenai masyarakat-masyarakat pemegang saham. Statistik ini digunakan untuk membuktikan bahwa jumlah para pemegang saham meningkat secara konstan, dan akibatnya kelas kapitalis tidak bertambah kecil, melainkan tumbuh semakin besar. Mengagetkan bahwa Bernstein hanya memiliki sedikit sekali pengetahuan tentang materinya. Dan menakjubkan, betapa buruknya cara ia menggunakan data yang ada untuk kepentingannya sendiri.
Jika dia ingin menyanggah hukum marxian tentang perkembangan industri dengan mengacu pada masyarakat-masyarakat pemegang saham, maka seharusnya dia mengambil angka-angka yang sama sekali berbeda. Siapapun yang faham tentang sejarah masyarakat pemegang saham di Jerman mengetahui bahwa modal pondasi rata-rata masyarakat tersebut telah menurun nyaris secara konstan. Jadi, walaupun sebelum tahun 1871 kapital pondasi rata-rata mereka mencapai angka 10,8 juta mark, namun pada 1871 jumlahnya hanya sebesar 4,01 juta mark; 3,8 juta mark pada 1873; kurang dari satu juta sejak 1882 sampai 1887; 0,52 juta pada 1891; dan hanya 0,62 juta mark pada 1892. Setelah tahun ini, angka-angka berkisar di antara 1 juta mark, kemudian mencapai 1,78 juta pada 1895 dan 1,19 juta selama kurun paruh pertama tahun 1897. (Van de Borght: Handwoerterbuch der Staatsswissenschaften, 1.)
Itu adalah angka-angka yang mengagetkan. Dengan menggunakan angka-angka tersebut, Bernstein berharap untuk menunjukkan adanya suatu kecenderungan kontra-marxian bagi retransformasi bisnis-bisnis besar menjadi bisnis-bisnis kecil. Jawaban jelas terhadap upayanya itu adalah sebagai berikut. Jika anda hendak membuktikan apapun dengan sarana statistik anda, maka pertama-tama anda harus menunjukkan bahwa statistik itu mengacu pada cabang-cabang industri yang sama. Anda harus menunjukkan bahwa bisnis-bisnis kecil betul-betul menggantikan yang besar; bukan sebaliknya, bahwa bisnis-bisnis besar itu hanya muncul jika yang berlaku sebelumnya adalah bisnis-bisnis kecil atau bahkan industri kerajinan. Maka, bagaimanapun juga, anda tidak bisa merujuknya sebagai fakta yang benar. Proses perjalanan masyarakat-masyarakat pemegang saham yang luas menjadi bisnis-bisnis berskala menengah dan kecil, bisa dijelaskan hanya dengan mengacu pada fakta bahwa sistem masyarakat pemegang saham tersebut terus menerobos cabang-cabang produksi baru. Sebelumnya, hanya sejumlah kecil bisnis besar yang terorganisir sebagai masyarakat-masyarakat pemegang saham. Secara perlahan, organisasi pemegang saham telah memenangkan bisnis berskala menengah, dan bahkan bisnis berskala kecil. Sekarang ini, kita bisa mengamati adanya masyarakat-masyarakat pemegang saham dengan modal di bawah 1.000 mark.
Lantas, apa signifikansi ekonomi dari perluasan sistem masyarakat pemegang saham? Secara ekonomis, penyebaran masyarakat pemegang saham berarti sosialisasi produksi yang kian meningkat dalam bentuk kapitalis – sosialisasi bukan hanya produksi berskala besar, melainkan juga produksi berskala menengah dan kecil. Karena itu, perluasan pemegang saham tidaklah bertentangan dengan teori marxis; sebaliknya, justru menegaskan teori marxis secara empatik.
Apa sebenarnya makna dari fenomena ekonomi tentang masyarakat pemegang saham? Fenomena ini merepresentasikan, di satu sisi, penyatuan sejumlah keuntungan kecil menjadi suatu modal besar produksi. Di sisi lain, fenomena ini menunjukkan pemisahan produksi dari kepemilikan kapitalis. Yakni, ia menunjukkan bahwa sebuah kemenangan ganda dimenangkan terhadap corak produksi kapitalis – namun masih berdasarkan basis kapitalis.
Lantas, apa makna statistik yang disebutkan oleh Bernstein, yang menyatakan bahwa sejumlah pemegang saham, yang lebih besar daripada sebelumnya, kini berpartisipasi dalam bisnis-bisnis kapitalis? Memang statistik ini terus berusaha menunjukkan hal-hal sebagai berikut: di masa sekarang, sebuah bisnis kapitalis tidak bisa diidentikkan -sebagaimana sebelumnya- dengan seorang proprietor tunggal dari modal, melainkan dengan sejumlah kapitalis. Konsekuensinya, gagasan ekonomi tentang “kapitalis” tidak lagi menandakan seorang individu yang terisolasi. Kapitalis industri sekarang ini adalah sesosok pribadi kolektif yang terdiri dari ratusan dan bahkan ribuan individu. Kategori yang dimiliki kapitalis sendiri kini menjadi suatu kategori sosial. Ia telah menjadi “tersosialisasi“ – dalam kerangka masyarakat kapitalis.
Dalam hal itu, bagaimana kita akan menjelaskan keyakinan Bernstein bahwa fenomena masyarakat pemegang saham menunjukkan persebaran, dan bukannya konsentrasi modal? Mengapa dia melihat adanya perluasan kepemilikan kapitalis, padahal Marx justru melihat peniadaannya?
Itu adalah suatu kesalahan ekonomi yang sederhana. Dengan “kapitalis”, Bernsten tidak memaknainya sebagai suatu kategori produksi, melainkan hak atas kepemilikan. Baginya, “kapitalis” bukanlah sebuah satuan ekonomi, melainkan satuan fiskal. Dan “modal” bagi Bernstein bukanlah suatu faktor produksi, melainkan hanya kuantitas tertentu dari uang. Itulah mengapa dalam trust benang jahit Inggris-nya, dia tidak melihat adanya penggabungan 12.300 orang dengan uang menjadi sebuat unit kapitalis tunggal, melainkan 12.300 kapitalis yang berbeda. Itulah mengapa insinyur Schulze, yang mas kawin istrinya memberinya sejumlah besar bagian kepemilikan saham Mueller, adalah juga seorang kapitalis bagi Bernstein. Itulah mengapa bagi Bernstein, seluruh dunia nampak dipenuhi oleh para kapitalis.
Dalam hal ini juga, basis teoritis dari kesalahan ekonomi Bernstein adalah “popularisasi”nya tentang sosialisme. Karena inilah yang dia lakukan. Dengan mentransportasikan konsep kapitalisme dari relasi-relasi produktifnya menjadi relasi-relasi kepemilikan, dan dengan hanya membicarakan individu-individu, bukannya para pengusaha, maka dia memindahkan persoalan sosialisme dari ranah produksi ke ranah relasi-relasi kekayaan – yakni dari hubungan antara modal dan kerja, menjadi hubungan antara yang miskin dan yang kaya.
Dengan cara ini, dengan sukaria kita digiring dari Marx dan Engels, kepada penulis Pengabar Injil Sang Nelayan Miskin. Bagaimanapun juga, tentu ada perbedaannya. Weitling, dengan naluri proletarian yang penuh keyakinan, melihat -pada pertentangan antara yang miskin dan yang kaya- adanya pertentangan kelas dalam bentuknya yang paling primitif, dan ingin menjadikan pertentangan-pertentangan ini sebagai pendongkrak gerakan untuk mewujudkan sosialisme. Di sisi lain, Bernstein menempatkan realisasi sosialisme di dalam kemungkinan untuk membuat yang miskin menjadi kaya. Yaitu, dia menempatkannya pada peredaan pertentangan kelas, dan berarti menempatkannya pada borjuasi kecil.
Benar bahwa Bernstein memang tidak membatasi diri hanya pada statistik tentang pendapatan. Dia juga menyediakan statistik tentang bisnis ekonomi, terutama di negeri-negeri berikut: Jerman, Perancis, Inggris, Swiss, Austria dan Amerika Serikat. Akan tetapi, statistik-statistik ini bukanlah angka-angka komparatif dari periode-periode berbeda di masing-masing negeri, melainkan dari masing-masing periode di negeri-negeri yang berbeda. Karena itu, kita tidak disodori -dengan kekecualian, yakni Jerman di mana dia mengulangi kekontrasan lama antara 1895 dan 1882- sebuah perbandingan statistik dari bisnis-bisnis di suatu negeri tertentu pada masa-masa yang berbeda, melainkan angka-angka absolut untuk negeri-negeri yang berbeda: Inggris pada 1891, Perancis pada 1894, Amerika Serikat pada 1890, dan sebagainya.
Bernstein mencapai kesimpulan berikut ini: “Meskipun benar bahwa eksploitasi besar telah menjadi yang utama dalam industri sekarang ini, namun ia hanya merepresentasikan- termasuk bisnis-bisnis yang bergantung pada eksploitasi besar, bahkan di sebuah negeri yang telah maju seperti Prussia- separuh dari penduduknya yang terlibat dalam produksi.” Ini juga berlaku untuk Jerman, Inggris, Belgia, dan lain-lain.
Apa yang sebetulnya ia buktikan di sini? Dia tidaklah membuktikan eksistensi kecenderungan -atau memang kecenderungan- perkembangan ekonomi seperti itu, melainkan hanya hubungan absolut dari kekuatan-kekuatan bentuk bisnis yang berbeda. Atau dengan kata lain, hubungan-hubungan absolut dari berbagai kelas di masyarakat kita.
Lantas, jika seseorang ingin membuktikan -dengan cara ini- mustahilnya realisasi sosialisme, maka penalaran orang itu haruslah bersandar pada teori yang sesuai dengan hitungan kekuatan-kekuatan material dari elemen-elemen dalam perjuangan, yakni oleh faktor kekerasan. Dengan kata lain, Bernstein yang selalu bergemuruh menentang blanquisme justru terjerumus ke dalam kesalahan blanquis yang paling kasar. Namun demikian, ada perbedaannya. Bagi kaum blanquis, yang mewakili suatu kecenderungan sosialis dan revolusioner, kemungkinan bagi realisasi ekonomi sosialisme nampak cukup alami. Berdasarkan kemungkinan ini, mereka membangun peluang untuk sebuah revolusi dengan kekerasan – meskipun hanya dilakukan oleh suatu minoritas kecil. Sebaliknya, karena tidak memadainya secara jumlah suatu mayoritas sosialis, maka Bernstein pun menarik kesimpulan tentang mustahilnya realisasi ekonomi sosialisme. Bagaimanapun juga, sosial-demokrasi tidak berharap untuk mencapai tujuannya, baik sebagai hasil dari kemenangan kekerasan suatu minoritas, ataupun melalui keunggulan jumlah suatu mayoritas. Sosial-demokrasi memandang bahwa sosialisme muncul sebagai akibat dari kebutuhan ekonomi -dan pemahaman akan kebutuhan itu- yang menuju pada penggulingan kapitalisme oleh massa pekerja. Dan kebutuhan ini manifes sendiri, khususnya dalam anarki kapitalisme.
Bagaimana sikap Bernstein mengenai persoalan yang menentukan, yakni tentang anarki dalam ekonomi kapitalis? Dia hanya menolak krisis-krisis umum yang besar. Dia tidak menyangkal krisis parsial dan krisis nasional. Dengan kata lain, dia menolak untuk melihat sejumlah besar anarki kapitalisme; dia hanya melihat sebagian kecilnya. Dia adalah -menggunakan ilustrasi Marx- seperti perawan dungu yang memiliki seorang anak “yang masih sangat kecil.” Tetapi, malangnya ialah bahwa dalam persoalan-persoalan seperti anarki ekonomi, sedikit dan banyak adalah sama buruknya. Jika Bernstein mengakui eksistensi sebagian kecil dari anarki ini, maka kita bisa menunjukkan kepadanya bahwa, dengan mekanisme ekonomi pasar, yang sebagian kecil dari anarki ini akan diperluas sampai pada proporsi-proporsi yang belum pernah terjadi sebelumnya, sampai berujung pada keruntuhan. Akan tetapi, apabila Bernstein -sembari mempertahankan sistem produksi komoditas- berharap untuk secara perlahan mentransformasikan konsepnya tentang sebagian kecil dari anarki ini menjadi tatanan dan harmoni, maka kembali ia terjerumus ke dalam salah satu dari kesalahan-kesalahan fundamental ekonomi-politik borjuis, yang berdasarkan itu corak pertukaran tidak terikat pada corak produksi.
Bukan pada tempatnya di sini untuk menunjukkan secara panjang-lebar tentang kebingungan Bernstein yang mengagetkan mengenai prinsip-prinsip paling elementer dari ekonomi-politik. Tetapi ada satu poin -hal mana kita diarahkan oleh persoalan-persoalan fundamental mengenai anarki kapitalis- yang harus segera diklarifikasi.
Bernstein menyatakan bahwa hukum Marx tentang nilai-lebih hanyalah suatu abstraksi sederhana. Dalam ekonomi-politik, pernyataan semacam ini jelas adalah suatu penghinaan. Namun, apabila nilai-lebih memang hanya merupakan suatu abstraksi sederhana, apabila ia hanya khayalan pikiran saja, maka setiap warganegara yang normal, yang telah melakukan tugas militer dan membayar pajak tepat waktu, tentunya memiliki hak yang sama dengan Karl Marx untuk membuat model absurditasnya sendiri, untuk membuat hukumnya sendiri tentang nilai-lebih. “Marx memiliki hak yang sama untuk mengabaikan kualitas komoditas hingga tak lebih sekedar penjelmaan dari kuantitas kerja manusia, sebagaimana hak yang dimiliki ekonom-ekonom dari mazhab Boehm-Jevons untuk membuat suatu abstraksi tentang semua kualitas komoditas di luar kegunaannya.”
Yaitu, bahwa bagi Bernstein, konsep Marx tentang kerja sosial dan konsep Menger tentang kegunaan abstrak adalah cukup serupa – murni adalah abstraksi-abstraksi. Bernstein lupa bahwa abstraksi Marx itu bukanlah sebuah karangan. Ia adalah suatu pengungkapan (discovery). Abstraksi itu tidak eksis di kepala Marx, melainkan dalam ekonomi pasar. Ia tidak memiliki eksistensi imajiner, melainkan eksistensi sosial yang nyata; begitu nyata sehingga bisa dipotong, ditempa, ditimbang dan diletakkan dalam bentuk uang. Kerja manusia yang abstrak, yang diungkap oleh Marx, dalam bentuknya yang telah maju tak lain adalah uang. Itulah memang yang merupakan salah satu dari temuan-temuan besar Marx. Sedangkan bagi semua ekonom-politik borjuis, sejak masa pertama kaum mercantilist sampai tahap terakhir Romawi dan Yunani Kuno, esensi uang tetap merupakan sebuah teka-teki mistis.
Konsep mazhab Boehm-Jevons tentang kegunaan abstrak, pada kenyataannya adalah suatu kesombongan pemikiran. Atau bila dinyatakan secara lebih tepat, konsep itu merupakan representasi dari kehampaan intelektual, sebuah absurditas privat, yang mana baik kapitalisme, ataupun masyarakat apapun, tak bisa dipersalahkan atas lahirnya konsep tersebut, selain dari ekonomi borjuis yang vulgar itu sendiri. Dengan mendekap erat gagasannya itu, Bernstein, Boehm dan Jevons serta seluruh kelompoknya yang subyektif itu bisa terus-menerus kebingungan selama duapuluh tahun atau lebih mengenai misteri uang, tanpa sampai pada suatu kesimpulan yang berbeda dengan yang dicapai oleh tukang sepatu, yakni bahwa uang juga adalah sesuatu “yang berguna”.
Bernstein telah kehilangan semua pemahaman tentang hukum nilai-lebih Marx. Siapapun yang memiliki sedikit saja pemahaman tentang ekonomi marxian bisa melihat bahwa tanpa adanya hukum nilai-lebih, doktrin Marx tak bisa dipahami. Atau lebih konkretnya, bagi siapapun yang tidak memahami sifat komoditas dan pertukarannya, keseluruhan ekonomi kapitalisme dengan semua rentetannya, pastilah tetap merupakan sebuah teka-teki.
Apa yang merupakan kunci, yang memungkinkan Marx membuka pintu rahasia dari fenomena kapitalis, dan memecahkan -seolah sambil bermain- permasalahan-permasalahan yang bahkan tidak pernah dicurigai oleh pemikiran-pemikiran terbesar dalam ekonomi borjuis klasik? Sesuatu itu adalah konsepsi Marx tentang ekonomi kapitalis sebagai sebuah fenomena historis, bukan hanya dalam makna hal-hal yang dengan paling baik diakui oleh para ekonom klasik -yakni ketika ia berkenaan dengan masa lalu kapitalisme yang bersifat feodal- melainkan juga sejauh ia berkenaan dengan masa depan sosialis dunia. Rahasia teori Marx tentang nilai, analisisnya tentang permasalahan uang, teorinya tentang modal, teorinya mengenai tingkat keuntungan, dan konsekuensinya juga tentang keseluruhan sistem ekonomi yang kini ada, didapati pada karakter peralihan dari ekonomi kapitalis, tak terhindarkannya keruntuhan ekonomi kapitalis yang menuju -dan ini hanyalah suatu aspek lain dari fenomena yang sama- kepada sosialisme. Itu semata-mata karena Marx melihat kapitalisme dari sudut pandang sosialis, yakni dari sudut pandang historis, maka dia menjadi mampu menguraikan seluk-beluk ekonomi kapitalis. Dan memang karena Marx mengambil sudut pandang sosialis sebagai batu pijakan bagi analisisnya tentang masyarakat borjuis, maka dia berada dalam posisi untuk memberikan basis ilmiah bagi gerakan sosialis.
Inilah ukuran bagi kita untuk mengevaluasi ucapan-ucapan Bernstein. Dia mengeluhkan “dualisme” yang ditemukan di sana-sini dalam karya monumental Marx, Kapital. “Karya tersebut diharapkan menjadi suatu kajian ilmiah, dan sekaligus membuktikan sebuah tesis yang telah secara lengkap dielaborasi lama sebelum penyuntingan buku itu. Buku itu didasarkan atas suatu skema yang telah mengandung hasil yang ingin diarahkan oleh Marx. Kembalinya ke Manifesto Komunis (yakni tujuan sosialis! – R.L.) membuktikan adanya sisa-sisa utopianisme dalam doktrin Marx.”
Akan tetapi, apa itu “dualisme” Marx, kalau bukan dualisme antara masa depan sosialis dan masa kini kapitalis? Ia adalah dualisme antara kapitalisme dan kerja, dualisme antara borjuasi dan proletariat. Ia adalah refleksi ilmiah tentang dualisme yang ada dalam masyarakat borjuis, dualisme pertentangan kelas yang menggeliat di dalam tatanan sosial kapitalisme.
Pemahaman Bernstein tentang dualisme teoritis dalam pemikiran Marx ini sebagai “bertahan hidupnya utopianisme” sungguh-sungguh adalah pengakuan yang naif bahwa dirinya menolak adanya pertentangan kelas dalam kapitalisme. Itu adalah pengakuannya, bahwa sosialisme baginya hanya sekedar “bertahan hidupnya utopianisme”. Apa yang merupakan “monisme” Bernstein -kesatuan Bernstein- selain dari kesatuan abadi rejim kapitalis, kesatuan dari mantan sosialis yang telah menanggalkan tujuannya, dan memutuskan untuk menemukan dalam masyarakat borjuis, satu dan selamanya, tujuan dari perkembangan manusia?
Bernstein tidak melihat dalam struktur kapitalisme adanya perkembangan yang menuju pada sosialisme. Namun, untuk melestarikan program sosialisnya, setidaknya dalam bentuknya, dia terpaksa mencari perlindungan dalam suatu konstruksi idealis yang ditempatkan di luar semua perkembangan ekonomi. Dia terpaksa mentransformasikan sosialisme itu sendiri dari suatu fase sejarah yang pasti dalam perkembangan sosial, menjadi suatu “prinsip” yang abstrak.
Itulah mengapa “prinsip koperasi” -sedikit tuangan sosialisme, yang dengan itu Bernstein berharap bisa mewarnai ekonomi kapitalis- muncul sebagai suatu konsesi yang dilakukan bukan demi masa depan masyarakat sosialis, melainkan demi masa lalu sosialis Bernstein sendiri.

7 – Koperasi, Serikat, Demokrasi

Sosialisme Bernstein menawarkan kepada buruh prospek tentang pembagian kekayaan masyarakat. Kaum miskin akan menjadi kaya. Bagaimana sosialisme seperti ini akan diwujudkan? Artikelnya di Neue Zeit, dengan judul ”Permasalahan-permasalahan Sosialisme”, hanya mengandung kiasan yang samar-samar terhadap pertanyaan ini. Namun demikian, informasi yang memadai bisa ditemukan dalam bukunya.
Sosialisme Bernstein hendak diwujudkan dengan bantuan dua instrumen ini: serikat buruh (atau, seperti dicirikan sendiri oleh Bernstein: demokrasi ekonomi) dan koperasi. Instrumen pertama akan menekan keuntungan industri; sedangkan instrumen kedua akan menghapuskan keuntungan komersial.
Koperasi, khususnya koperasi di bidang industri, menimbulkan suatu bentuk perkawinan silang di seputar kapitalisme. Koperasi-koperasi itu bisa digambarkan sebagai unit-unit kecil dari produksi yang tersosialisasi dalam pertukaran kapitalis.
Akan tetapi, dalam ekonomi kapitalis, pertukaran mendominasi produksi (yakni, produksi sangat tergantung pada kemungkinan-kemungkinan pasar). Akibat dari persaingan, dominasi sepenuhnya terhadap proses produksi oleh kepentingan-kepentingan modal -yakni eksploitasi yang tak berbelas kasihan- menjadi suatu syarat bagi keberlangsungan hidup setiap bisnis. Dominasi modal terhadap proses produksi mengekspresikan diri dengan cara-cara berikut. Kerja diintensifkan. Hari kerja diperpanjang atau diperpendek, sesuai dengan situasi pasar. Dan, karena terikat pada persyaratan-persyaratan pasar, maka buruh bisa dipekerjakan, atau dilempar ke jalanan. Dengan kata lain, penggunaan didasarkan atas semua metode yang memungkinkan sebuah bisnis untuk berdiri melawan para pesaingnya di pasar. Dengan demikian, para buruh yang membentuk sebuah koperasi di bidang produksi dihadapkan pada kebutuhan untuk mengatur diri mereka sendiri, yang bertentangan dengan absolutisme yang teramat sangat. Mereka diharuskan mengadopsi untuk diri mereka sendiri peran pengusaha kapitalis. Sebuah kontradiksi yang menjelaskan lazimnya kegagalan koperasi produksi, yang bisa menjadi bisnis kapitalis murni, ataupun -jika kepentingan buruh terus menonjol- akan berakhir dengan bubar sendiri.
Bernstein sendiri telah membuat catatan tentang fakta-fakta ini. Namun jelas, bahwa dia sendiri belum memahaminya, karena -bersama dengan Nyonya Potter-Webb- dia menjelaskan kegagalan koperasi produksi di Inggris yang disebabkan oleh kurangnya “disiplin” mereka. Tetapi, apa yang begitu datar dan dangkal disebut “disiplin” di sini tak lain adalah rejim absolutis alami dari kapitalisme, yang gamblangnya, buruh tidak mungkin berhasil menggunakannya melawan diri mereka sendiri.
Koperasi-koperasi produsen bisa bertahan hidup dalam ekonomi kapitalis hanya jika mereka berusaha menghapuskan -dengan jalan memutar- kontradiksi-kontradiksi kapitalis antara corak produksi dan corak pertukaran. Dan koperasi-koperasi tersebut hanya bisa melakukan ini dengan melepaskan diri secara artifisial dari pengaruh hukum-hukum persaingan bebas. Kemudian, mereka akan berhasil melepaskan diri dari hukum persaingan bebas hanya jika terlebih dahulu menjamin bagi dirinya sendiri suatu lingkaran konstan konsumen-konsumen, yakni ketika koperasi tersebut bisa menjamin adanya pasar yang konstan bagi dirinya sendiri.
Maka koperasi konsumenlah yang bisa menawarkan layanan ini kepada saudaranya di bidang produksi. Di sinilah -dan bukan pada pembedaan Oppenheimer antara koperasi yang memproduksi dan koperasi yang menjual- terletak rahasia yang dicari oleh Bernstein: penjelasan bagi kegagalan yang tak berubah dari koperasi produsen yang berfungsi secara independen, dan keberlangsungan hidupnya ketika koperasi-koperasi tersebut didukung oleh organisasi-organisasi konsumen.
Jika benar bahwa kemungkinan-kemungkinan eksistensi koperasi produsen dalam kapitalisme berkait erat dengan kemungkinan-kemungkinan eksistensi koperasi konsumen, maka lingkup koperasi produksi terbatas -paling banter- pada pasar lokal yang kecil serta pada proses manufaktur barang-barang yang melayani kebutuhan mendesak, khususnya produk-produk makanan. Koperasi konsumen -dan dengan begitu, berarti juga koperasi produsen- dikeluarkan dari cabang-cabang produksi modal yang paling penting (tekstil, pertambangan, industri logam dan minyak, konstruksi mesin, serta pembuatan lokomotif dan kapal). Untuk alasan ini sendiri (yakni dengan sementara melupakan karakter blasterannya), koperasi di bidang produksi tidak bisa secara serius dianggap sebagai instrumen dari suatu transformasi sosial umum. Pendirian koperasi-koperasi berskala luas mengasumsikan, pertama-tama, peniadaan pasar dunia, dipecahkannya ekonomi dunia sekarang ini menjadi lingkup-lingkup lokal yang kecil dari produksi dan pertukaran. Kapitalisme di masa kita sekarang, yang telah sangat maju dan tersebar luas, diharapkan untuk mundur kembali ke ekonomi perdagangan (merchant) Abad Pertengahan.
Dalam kerangka masyarakat masa kini, koperasi produsen terbatas hanya pada peran pelengkap bagi koperasi konsumen. Karena itu, koperasi konsumen nampaknya harus menjadi permulaan dari perubahan sosial yang diusulkan. Namun cara reformasi masyarakat yang diharapkan dengan sarana koperasi ini tak lagi ofensif terhadap produksi kapitalis. Yakni, koperasi tak lagi merupakan serangan terhadap basis-basis utama dari ekonomi kapitalis. Sebagai gantinya, koperasi menjadi suatu bentuk perjuangan melawan modal komersial, khususnya modal komersial yang berskala kecil dan menengah. Ia menjadi sebuah serangan yang ditujukan kepada ranting dari pohon kapitalis.
Menurut Bernstein, serikat buruh pun merupakan sarana untuk menyerang kapitalisme di bidang produksi. Kita telah menunjukkan bahwa serikat buruh tidak bisa memberikan kepada buruh, pengaruh yang menentukan terhadap produksi. Serikat buruh tidak bisa menentukan, baik dimensi-dimensi produksi, maupun kemajuan teknis produksi.
Sejauh itulah yang bisa dikatakan mengenai sisi yang murni ekonomis dari “perjuangan tingkat upah melawan tingkat keuntungan,” sebagaimana yang dilabelkan oleh Bernstein terhadap aktivitas perjuangan serikat buruh. Aktivitas itu tidak terjadi pada birunya langit. Ia terjadi dalam kerangka yang telah didefinisikan secara cermat dari hukum upah. Hukum upah tidaklah hancur, melainkan diterapkan oleh aktivitas serikat buruh.
Menurut Bernstein, serikat buruhlah yang memimpin -dalam perjuangan umum bagi emansipasi kelas pekerja- serangan riil terhadap tingkat keuntungan industri. Menurut Bernstein pula, serikat buruh memiliki tugas untuk mentransformasikan tingkat keuntungan industri menjadi “tingkat upah”. Faktanya ialah bahwa serikat buruh adalah yang paling lemah kemampuannya untuk melakukan serangan ekonomi terhadap keuntungan. Serikat buruh tak lebih sekedar pertahanan yang terorganisir dari tenaga kerja menghadapi serangan keuntungan. Serikat buruh mengekspresikan perlawanan yang ditunjukkan oleh kelas pekerja terhadap penindasan ekonomi kapitalis.
Di satu sisi, serikat buruh memiliki fungsi untuk mempengaruhi situasi di pasar tenaga kerja. Tetapi pengaruh ini sekarang secara konstan diatasi oleh proletarisasi lapisan-lapisan menengah masyarakat, sebuah proses yang secara kontinyu membawa barang dagangan baru dalam pasar tenaga kerja. Fungsi kedua dari serikat buruh adalah untuk memperbaiki kondisi buruh. Yakni, mereka berupaya untuk meningkatkan bagian dari kekayaan sosial yang mengalir ke kelas pekerja. Namun demikian, bagian ini sekarang terkurangi dengan adanya takdir proses alami pertumbuhan produktivitas kerja. Seseorang tak perlu menjadi marxis untuk mengetahui hal ini. Sudah memadai bagi kita bila membaca tulisan Rodbertus, Penjelasan tentang Persoalan Sosial.
Dengan kata lain, kondisi-kondisi obyektif masyarakat kapitalis mentransformasikan kedua fungsi ekonomi serikat buruh itu menjadi semacam kerja sang Sisyphus yang, walaupun begitu, sangat dibutuhkan. Karena, berkat aktivitas serikat buruhnya, buruh berhasil memperoleh tingkat upah yang berkesesuaian dengan situasi pasar tenaga kerja. Sebagai akibat dari aktivitas serikat buruh, hukum kapitalis tentang upah menjadi diterapkan, dan efek kecenderungan-menurun dari perkembangan ekonomi pun dilumpuhkan, atau lebih tepatnya diredakan.
Bagaimanapun juga, transformasi serikat buruh menjadi sebuah instrumen untuk pengurangan keuntungan secara progresif, yang sesuai dengan upah, mengasumsikan syarat-syarat sosial sebagai berikut: pertama, berhentinya proletarisasi strata menengah masyarakat kita; kedua, berhentinya pertumbuhan produktivitas kerja. Dalam kedua hal itu, kita mendapati suatu bayangan proses kembali ke kondisi-kondisi pra-kapitalis.
Koperasi dan serikat buruh sama sekali tidak mampu mentransformasikan corak produksi kapitalis. Hal ini betul-betul dipahami oleh Bernstein, meskipun dengan cara yang tumpang-tindih. Karena dia mengacu pada koperasi dan serikat buruh sebagai sarana untuk mengurangi keuntungan para kapitalis, yang dengan begitu berarti memperkaya buruh. Dalam hal ini, berarti Bernstein menanggalkan perjuangan melawan corak produksi kapitalis, dan berupaya untuk mengarahkan gerakan sosialis kepada perjuangan melawan “distribusi modal”. Kembali dan kembali, Bernstein merujuk sosialisme sebagai sebuah upaya menuju pada suatu corak distribusi “yang adil, lebih adil dan tetap lebih adil”. (Vorwaerts, 26 Maret 1899).
Tidak bisa disangkal bahwa penyebab langsung yang mengarahkan massa rakyat kepada gerakan sosialis memang adalah sifat distribusi kapitalisme yang “tidak adil”. Ketika sosial-demokrasi berjuang demi sosialisasi keseluruhan ekonomi, maka ia berarti juga sekaligus mencita-citakan suatu distribusi kekayaan sosial yang “adil”. Tetapi, karena dibimbing oleh observasi Marx bahwa corak produksi pada suatu zaman tertentu adalah konsekuensi alami dari corak produksi zaman itu, maka sosial-demokrasi tidak berjuang melawan distribusi dalam kerangka produksi kapitalis. Sosial-demokrasi berjuang untuk menghapuskan produksi kapitalis itu sendiri. Singkatnya, sosial-demokrasi ingin membangun corak produksi sosialis dengan menghapuskan corak produksi kapitalis. Sebaliknya, metode Bernstein mengajukan konsep untuk memerangi corak distribusi kapitalis dengan harapan untuk secara perlahan -melalui cara ini- membangun corak produksi sosialis.
Dalam hal tersebut, apa basis bagi program Bernstein tentang reformasi masyarakat? Apakah programnya itu mendapatkan dukungan dalam kecenderungan-kecenderungan yang pasti dari produksi kapitalis? Tidak. Pertama, karena Bernstein menolak kecenderungan-kecenderungan semacam itu. Kedua, karena transformasi sosialis dalam hal produksi, baginya adalah akibat, dan bukan sebab dari distribusi. Dia tidak bisa menyediakan suatu basis material bagi programnya, karena dirinya telah merobohkan tujuan-tujuan dan sarana gerakan untuk sosialisme, dan dengan demikian berarti telah merobohkan pula syarat-syarat ekonominya. Akibatnya, dia terpaksa membangun sendiri sebuah basis idealis.
“Mengapa kita harus merepresentasikan sosialisme sebagai konsekuensi dari keharusan ekonomi?” keluh Bernstein. “Mengapa kita merendahkan pemahaman manusia, perasaan manusia akan keadilan, serta kehendak manusia?” (Vorwaerts, 26 Maret 1899). Konsep Bernstein tentang distribusi yang paling adil hendak dicapai dengan kemauan baik dari kehendak bebas manusia; kehendak manusia berlaku bukan disebabkan oleh kebutuhan ekonomi, -karena kehendak ini hanyalah suatu instrumen- melainkan disebabkan oleh pemahaman menyeluruh manusia tentang keadilan, disebabkan oleh ide manusia tentang keadilan.
Kalau begitu, berarti kita cukup berbahagia untuk kembali kepada prinsip keadilan, kepada kuda perang di masa lalu, di mana para reformis di muka bumi ini telah terguncang-guncang selama berabad-abad dikarenakan kurangnya alat transportasi historis yang lebih meyakinkan. Kita kembali kepada Rosinante yang kurang baik, yang mana Don Quixotes dalam sejarahnya telah berpacu menuju kepada reformasi besar di muka bumi, selalu pulang ke rumah dengan mata tertutup.
Dianggap sebagai basis bagi sosialisme, hubungan antara yang kaya dan yang miskin, prinsip kerjasama sebagai kandungan sosialisme, “distribusi yang paling adil” sebagai tujuannya, dan ide tentang keadilan sebagai satu-satunya legitimasi historis – dengan begitu kuatnya, lebih bijak serta lebih berapi-api Weitling membela sosialisme semacam itu limapuluh tahun yang lalu. Namun, si jenius tukang jahit ini tidak mengerti tentang sosialisme ilmiah. Jika di masa sekarang, konsepsi yang telah disobek-sobek hingga hancur berkeping-keping oleh Marx dan Engels setengah abad yang lalu, ditambal-sulam dan disajikan kepada proletariat sebagai dunia terakhir dari pengetahuan sosial, maka konsepsi itu sekedar merupakan seni seorang tukang jahit, namun tak ada yang jenius dari konsepsi tersebut.
Serikat buruh dan koperasi adalah penopang ekonomi bagi teori revisionisme. Syarat politik utamanya adalah tumbuhnya demokrasi. Manifestasi-manifestasi reaksi politik yang ada sekarang ini, bagi Bernstein hanyalah “pemindahan”. Bernstein menganggap hal tersebut hanya bersifat kebetulan, sementara, dan menyarankan agar manifestasi-manifestasi itu tidak dipertimbangkan dalam elaborasi tentang arahan umum gerakan buruh.
Bagi Bernstein, demokrasi merupakan suatu tahap yang tak terelakkan dalam perkembangan masyarakat. Baginya, sebagaimana juga menurut para teoritisi Borjuis tentang liberalisme, demokrasi adalah hukum fundamental yang utama dari perkembangan sejarah yang realisasinya diabdi oleh semua kekuatan dari kehidupan politik. Bagaimanapun juga, tesis Bernstein itu sama sekali keliru. Disajikan dalam kekuatan yang absolut ini, tesis tersebut nampak sebagai sebuah vulgarisasi borjuis-kecil tentang hasil-hasil dari suatu fase perkembangan borjuis yang amat singkat selama duapuluh lima atau tigapuluh tahun yang lalu. Kita akan mencapai kesimpulan-kesimpulan yang sama sekali berbeda apabila kita meneliti dengan sedikit lebih cermat dan sekaligus membahas sejarah politik umum dari kapitalisme.
Demokrasi telah didapati dalam formasi-formasi sosial yang paling berbeda: dalam kelompok-kelompok komunis primitif, dalam negara-negara budak di zaman kuno serta dalam komune-komune Abad Pertengahan. Dan secara serupa, absolutisme dan monarki konstitusional akan didapati dalam tatanan-tatanan ekonomi yang paling bervariasi. Ketika kapitalisme dimulai dengan produksi komoditas-komoditas yang pertamakali, ia mengambil jalan sebuah konstitusi demokratik dalam komune-komune kotapraja di Abad Pertengahan. Kemudian, ketika berkembang menjadi manufacturing, kapitalismepun menemukan bentuk politiknya yang sesuai dalam monarki absolut. Akhirnya, sebagai ekonomi industri yang maju, kapitalisme memunculkan republik demokratik di Perancis tahun 1793, monarki absolut Napoleon I, monarki kaum bangsawan dalam periode Restorasi (1815-1830), monarki konstitusional borjuis di masa Louis-Philippe, kemudian kembali republik demokratik, lalu kembali monardi di masa Napoleon III, dan akhirnya -untuk yang ketiga kalinya- kembali sebuah republik. Di Jerman, satu-satunya institusi demokratik sejati -universal suffrage- bukanlah suatu pencapaian yang dimenangkan oleh liberalisme borjuis. Universal suffrage di Jerman ketika itu merupakan suatu instrumen untuk peleburan negara-negara bagian yang kecil. Hanya dalam makna inilah demokrasi memiliki arti penting bagi perkembangan borjuasi Jerman, yang kalaupun tidak, maka akan cukup puas dengan monarki konstitusional yang semi-feodal. Di Rusia, kapitalisme tumbuh subur dalam waktu lama di bawah rejim absolutisme timur tanpa borjuasi mampu memanifestasikan keinginan yang paling kecil sekalipun di dunia untuk mengintrodusir demokrasi. Di Austria, universal suffrage, terutama adalah garis pengaman yang dilemparkan kepada monarki yang tengah tenggelam dan membusuk. Di Belgia, pencapaian universal suffrage oleh gerakan buruh, tak diragukan lagi adalah akibat lemahnya militerisme lokal, dan konsekuensi dari situasi geografis dan politik khusus di negeri itu. Akan tetapi, kini kita memiliki “sedikit demokrasi” yang telah dimenangkan bukan oleh borjuasi, melainkan dari melawan borjuasi.
Kemenangan demokrasi yang tak terputus, yang bagi revisionisme maupun liberalisme borjuis nampak sebagai suatu hukum fundamental utama dari sejarah manusia, dan terutama sejarah moderen, melalui penelitian yang lebih cermat terlihat hanya seperti sesosok hantu. Tidak ada hubungan absolut dan umum yang bisa dibangun di antara perkembangan kapitalis dan demokrasi. Bentuk politik dari suatu negeri tertentu selalu adalah hasil dari perpaduan semua faktor politik yang ada, baik dalam maupun luar negeri. Ia mengakui dalam batasnya, semua variasi mulai dari monarki absolut sampai republik demokratik.
Karena itu, kita haruslah mengabaikan semua harapan untuk menegakkan demokrasi sebagai sebuah hukum umum perkembangan sejarah, bahkan dalam kerangka masyarakat moderen sekalipun. Menilik pada fase masyarakat borjuis sekarang ini, kita pun bisa mengamati faktor-faktor politik yang bukannya menegaskan realisasi dari skema Bernstein, melainkan justru menuju pada pengabaian oleh masyarakat borjuis terhadap pencapaian-pencapaian demokratik yang telah dimenangkan hingga kini.
Institusi-institusi demokratik -dan ini yang memiliki signifikansi paling besar- telah sama sekali habis fungsinya sebagai bantuan dalam perkembangan masyarakat borjuis. Sejauh diperlukan untuk peleburan negara-negara bagian yang kecil serta pembentukan negara-negara moderen besar (Jerman, Italia), maka institusi-institusi tersebut tak lagi begitu dibutuhkan pada masa sekarang. Sementara itu, perkembangan ekonomi telah mengakibatkan suatu cicatrization organik internal.
Hal yang sama dapat dikatakan mengenai transformasi keseluruhan mesin negara yang politis dan yang administratif dari mekanisme feodal atau semi-feodal menjadi mekanisme-mekanisme kapitalis. Meskipun transformasi ini secara historis tidak bisa dipisahkan dari perkembangan demokrasi, namun sekarang ini ia telah direalisasikan sampai ke suatu lingkup bahwa “ramuan-ramuan” yang murni demokratis dari masyarakat -seperti universal suffrage dan bentuk negara republikan- bisa jadi akan terhapuskan tanpa membuat administrasi, keuangan negara, ataupun organisasi militer, merasa perlu untuk kembali kepada bentuk-bentuk yang pernah mereka miliki sebelum Revolusi Maret.
Jika liberalisme seperti demikian itu kini mutlak tak berguna bagi masyarakat borjuis, maka di sisi lain, ia telah menjadi kesukaran langsung bagi kapitalisme dari sudut pandang lain. Dua faktor kini sepenuhnya mendominasi kehidupan politik negara-negara kontemporer: politik dunia dan gerakan buruh. Masing-masing hanyalah aspek yang berbeda dari fase perkembangan kapitalis sekarang ini.
Sebagai akibat dari perkembangan ekonomi dunia dan penajaman serta generalisasi persaingan di pasar dunia, maka militerisme dan kebijakan armada-armada laut yang besar telah menjadi -sebagai instrumen-instrumen politik dunia- suatu faktor yang menentukan dalam kehidupan interior dan eksterior dari negara-negara besar. Jika benar bahwa politik dunia dan militerisme merepresentasikan suatu kecenderungan yang meningkat dalam fase kapitalisme sekarang ini, maka demokrasi borjuis secara logis pasti bergerak dalam garis yang menurun.
Di Jerman, era peralatan-perang besar yang dimulai tahun 1883, dan kebijakan politik dunia yang ditandai dengan perebuitan Kiao-Cheou, segera ditebus dengan korban-korban sebagai berikut: membusuknya liberalisme, melempem-nya Partai Tengah yang beralih dari oposisi ke pemerintahan. Pemilu baru-baru ini untuk Reichstag pada 1907 yang memamerkan kebijakan kolonial Jerman, sekaligus juga adalah penguburan historis liberalisme Jerman.
Apabila politik luar negeri memaksa borjuasi masuk ke dalam rangkulan tangan-tangan reaksi, maka demikian pula politik dalam negeri – syukurlah ada kebangkitan kelas pekerja. Bernstein menunjukkan bahwa dirinya mengakui hal ini ketika ia membuat “legenda” sosial-demokratik yang “ingin menelan segala sesuatu” -dengan kata lain, upaya-upaya sosialis dari kelas pekerja- yang menyebabkan desersi-nya borjuasi liberal. Dia menasehati proletariat untuk mengingkari tujuan sosialisnya, sehingga kaum liberal yang ketakutan setengah mati bisa muncul keluar dari lubang-tikus reaksi. Dengan menjadikan peniadaan gerakan buruh sosialis sebagai suatu syarat yang esensial bagi pelestarian demokrasi borjuis, Bernstein membuktikan secara mengejutkan bahwa demokrasi ini sepenuhnya bertentangan dengan inner tendency dari perkembangan masyarakat sekarang ini. Sekaligus dia membuktikan bahwa gerakan sosialis itu sendiri adalah hasil langsung dari kecenderungan ini.
Namun demikian, Bernstein sekaligus pula membuktikan satu hal lainnya. Dengan menjadikan celaan terhadap tujuan sosialis suatu syarat esensial bagi bangkitnya kembali demokrasi borjuis, maka ia menunjukkan betapa tidak tepatnya klaim bahwa demokrasi borjuis adalah sebuah syarat yang sangat dibutuhkan bagi gerakan sosialis dan kemenangan sosialisme. Penalaran Bernstein kelelahan sendiri dalam sebuah lingkaran jahat. Kesimpulannya menelan premis-nya sendiri.
Solusinya cukup sederhana. Dalam sudut pandang fakta itu, yakni bahwa liberalisme borjuis telah melepaskan diri dari ketakutannya akan hantu bangkitnya gerakan buruh serta tujuan akhirnya, maka kita simpulkan bahwa gerakan buruh sosialis sekarang ini adalah satu-satunya dukungan bagi sesuatu yang bukan merupakan tujuan gerakan sosialis – demokrasi. Kita haruslah menyimpulkan bahwa demokrasi tidak bisa mendapatkan dukungan dari yang selain itu. Kita haruslah menyimpulkan bahwa gerakan sosialis tidak terkait dengan demokrasi borjuis, melainkan sebaliknya, justru takdir demokrasi berkait erat dengan gerakan sosialis. Dari hal ini, kita harus menyimpulkan bahwa demokrasi tidaklah mendapatkan peluang hidup yang lebih besar apabila kelas pekerja menanggalkan perjuangan untuk emansipasinya, namun sebaliknya, demokrasi justru mendapatkan peluang bertahan hidup yang lebih besar seiring gerakan sosialis menjadi cukup kuat untuk berjuang melawan konsekuensi-konsekuensi reaksioner dari politik dunia serta pengkhianatan borjuis terhadap demokrasi. Barangsiapa yang hendak menguatkan demokrasi, maka seharusnya pula dia ingin menguatkan -dan bukannya melemahkan- gerakan sosialis. Dan barangsiapa yang menanggalkan perjuangan untuk sosialisme, berarti juga melepaskan baik gerakan buruh, maupun demokrasi.

8 – Penaklukan Kekuasaan Politik

Kita telah mengetahui bahwa takdir demokrasi terkait erat dengan takdir gerakan buruh. Namun, apakah perkembangan demokrasi mengasumsikan revolusi proletarian (yakni, penaklukan kekuasaan politik oleh buruh) sebagai sesuatu yang berlebihan atau mustahil?
Bernstein menjawab pertanyaan itu dengan mempertimbangkan secara cermat sisi baik dan sisi buruk dari reformasi sosial dan revolusi sosial. Dia melakukan ini nyaris dengan cara yang sama seperti menimbang kayu manis dan lada di sebuah toko koperasi konsumen. Dia memandang kurun legislatif dari perkembangan sejarah sebagai tindakan “intelijensia”, sedangkan kurun revolusioner perkembangan sejarah dianggapnya sebagai tindakan “perasaan”. Aktivitas reformis, dia akui sebagai suatu metode yang lambat untuk kemajuan historis, dan revolusi sebagai metode kemajuan yang cepat. Pada legislasi, Bernstein melihat adanya suatu kekuatan metode; pada revolusi, dia melihat adanya kekuatan yang spontan.
Kita telah lama mengetahui bahwa sang reformis borjuasi-kecil ini mendapati sisi “baik” dan sisi “buruk” dalam segala hal. Dia menggerogoti semua hal sedikit demi sedikit. Akan tetapi, perjalanan sesungguhnya dari berbagai peristiwa sedikit sekali dipengaruhi oleh kombinasi seperti itu. Sedikit tumpukan “sisi baik” dari segala hal yang mungkin, yang telah dikumpulkan dengan hati-hati, segera runtuh pada rangsangan pertama sejarah. Secara historis, reformasi legislatif dan metode revolusioner berfungsi sesuai dengan pengaruh-pengaruh yang jauh lebih mendalam ketimbang sekedar pertimbangan tentang keunggulan-keunggulan atau kelemahan-kelemahan dari satu metode atau metode lainnya.
Dalam sejarah masyarakat borjuis, reformasi legislatif berfungsi untuk menguatkan secara progresif kelas yang sedang bangkit sampai kelas itu cukup kuat untuk merebut kekuasaan, menghapuskan sistem yuridis yang kini ada, dan membangun sendiri sistem yuridis yang baru. Bernstein, yang bergemuruh menentang penaklukan kekuasaan politik dan menganggapnya sebagai sebuah teori kekerasan blanquis, sayang sekali ternyata mencap sebagai kesalahan ala blanquis, sesuatu yang selama ini selalu menjadi poros dan tenaga penggerak sejarah manusia. Sejak pertamakali munculnya masyarakat-masyarakat berkelas yang mengalami perjuangan kelas sebagai kandungan esensial dari sejarahnya, penaklukan kekuasaan politik telah menjadi tujuan dari semua kelas yang sedang bangkit. Inilah titik mula dan akhir dari setiap periode sejarah. Hal ini bisa dilihat dalam perjuangan panjang petani Latin melawan para pemodal (financier) dan kaum bangsawan Romawi kuno; dalam perjuangan bangsawan Abad Pertengahan melawan para uskup; dan dalam perjuangan para pengrajin melawan kaum bangsawan di kota-kota Abad Pertengahan. Di masa moderen, kita melihatnya dalam perjuangan borjuasi melawan feodalisme.
Reformasi legislatif dan revolusi bukanlah metode-metode yang berbeda mengenai perkembangan sejarah yang bisa dipilih sesuka hati dari pentas sejarah, seperti orang memilih sosis panas atau dingin. Reformasi legislatif dan revolusi adalah faktor-faktor yang berbeda dalam perkembangan masyarakat berkelas. Keduanya saling mengkondisikan dan melengkapi satu sama lain, dan sekaligus bersifat eksklusif laksana kutub Utara dan kutub Selatan, borjuasi dan proletariat.
Setiap konstitusi legal adalah produk dari sebuah revolusi. Dalam sejarah kelas-kelas, revolusi adalah tindakan kreasi politik, sedangkan legislasi adalah ekspresi politik dari kehidupan suatu masyarakat yang telah mewujud. Kerja untuk reformasi tidak mengandung kekuatan tersendiri yang terlepas dari revolusi. Dalam kurun tiap periode sejarah, kerja untuk reformasi dilaksanakan hanya berdasarkan arah yang diberikan kepadanya oleh dorongan revolusi terakhir, dan terus berlanjut selama dorongan itu terus membuat dirinya dirasakan. Atau, lebih konkretnya, dalam masing-masing periode sejarah, kerja untuk reformasi dilaksanakan hanya berdasarkan kerangka bentuk sosial yang diciptakan oleh revolusi terakhir. Di sinilah inti dari permasalahan tersebut.
Adalah berkebalikan dengan sejarah, kalau kita merepresentasikan kerja untuk reformasi sebagai sebuah revolusi yang dilakukan dalam jangka panjang, dan revolusi sebagai rangkaian reformasi yang dipadatkan. Transformasi sosial dan reformasi legislatif tidaklah berbeda menurut lamanya, melainkan menurut kandungannya. Rahasia dari perkembangan sejarah melalui penggunaan kekuasaan politik memang terletak pada transformasi dari modifikasi kuantitatif yang sederhana menjadi sebuah kualitas baru; atau lebih konkretnya, dalam perjalanan suatu periode sejarah, dari satu bentuk masyarakat tertentu menjadi suatu bentuk masyarakat lainnya.
Itulah mengapa orang-orang yang menyatakan diri mendukung metode reformasi legislatif, yakni berada dalam posisi yang berbeda dan bertentangan dengan penaklukan kekuasaan politik serta revolusi sosial, tidak betul-betul memilih sebuah jalan yang lebih damai, lebih tenang dan lebih lambat untuk tujuan yang sama, melainkan untuk sebuah tujuan yang berbeda. Bukannya mengambil sikap yang berpihak pada pembangunan sebuah masyarakat baru, mereka malah mengambil sikap yang mendukung modifikasi-modifikasi dangkal terhadap masyarakat lama. Jika kita menganut konsepsi-konsepsi politik revisionisme, maka kita akan sampai pada kesimpulan yang sama yang dicapai apabila kita menganut teori-teori ekonomi revisionisme. Program kita pun menjadi bukan lagi mewujudkan sosialisme, melainkan reformasi kapitalisme; bukan penghapusan sistem kerja upahan, melainkan pengurangan eksploitasi, yakni penghapusan penyalahgunaan kapitalisme, dan bukan penghapusan kapitalisme itu sendiri.
Apakah peran resiprokal dari reformasi legislatif dan revolusi hanya berlaku bagi perjuangan kelas di masa lalu? Mungkinkah sekarang ini -sebagai akibat dari perkembangan sistem yuridis borjuis- fungsi masyarakat yang bergerak dari satu fase sejarah ke fase lainnya merupakan bagian dari reformasi legislatif, dan penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat betul-betul telah menjadi “sebuah frasa kosong”, seperti yang dinyatakan Bernstein?
Justru kebalikannyalah yang benar. Apa yang membedakan masyarakat borjuis dengan masyarakat-masyarakat berkelas lainnya – yakni masyarakat kuno dan tatanan sosial Abad Pertengahan? Tepatnya adalah fakta bahwa dominasi kelas tidak terletak pada “hak-hak yang diperoleh”, melainkan pada relasi-relasi ekonomi yang sesungguhnya – fakta bahwa kerja upahan bukanlah suatu relasi yuridis, melainkan murni relasi ekonomi. Dalam sistem yuridis kita, tidak ada sebuah rumusan perundangan yang tunggal untuk dominasi kelas di masa sekarang. Beberapa jejak yang masih tersisa dari rumusan tentang dominasi kelas seperti itu, adalah (seperti yang berkenaan dengan para hamba) sisa-sisa masyarakat feodal yang masih bertahan.
Bagaimana perbudakan-upah bisa dihapuskan dengan “cara legislatif”, kalau perbudakan itu tidak diekspresikan dalam hukum? Bernstein, yang hendak menghapuskan kapitalisme dengan cara reformasi legislatif, mendapati dirinya berada dalam situasi yang sama seperti polisi Uspensky Rusia yang mengatakan: “Segera saja kutangkap penjahat itu dengan mencengkeramnya! Tapi apa yang kudapati? Si jahanam itu tak punya kerah untuk dicengkeram!“ Dan persis seperti itulah kesulitan Bernstein.
Semua masyarakat terdahulu senantiasa berbasiskan pertentangan antara suatu kelas penindas dan suatu kelas tertindas” (Manifesto Komunis). Akan tetapi, pada fase-fase terdahulu dari masyarakat moderen, pertentangan ini diekspresikan dalam relasi-relasi yuridis tertentu yang khas, dan bisa -terutama karena hal itu- berkesesuaian dengan suatu lingkup tertentu, sebuah tempat bagi relasi-relasi baru dalam kerangka relasi-relasi yang lama. “Di tengah-tengah perbudakan, budak menaikkan dirinya ke jajaran anggota komunitas kota” (Manifesto Komunis). Bagaimana itu mungkin terjadi? Hal tersebut menjadi mungkin dengan adanya penghapusan secara progresif semua privilese feodal di daerah-daerah sekitar kota: kerja paksa, hak atas pakaian khusus, pajak atas harta warisan, klaim tuan tanah atas ternak yang paling bagus, pungutan pribadi, kawin paksa, hak atas suksesi kepemimpinan dan lain-lain, yang kesemua itu menimbulkan perbudakan.
Dengan cara yang sama, borjuasi-kecil Abad Pertengahan berhasil menaikkan dirinya -padahal ia masih berada di bawah kekuasaan absolutisme feodal- ke jajaran borjuasi (Manifesto Komunis). Dengan cara apa? Yakni, melalui penghapusan parsial secara formal -atau pemutusan sepenuhnya- ikatan-ikatan korporatif; melalui transformasi administrasi fiskal dan tentara secara progresif.
Konsekuensinya, apabila kita membahas persoalan ini dari sudut pandang abstrak, bukan dari sudut pandang historis, kita bisa membayangkan (dalam pandangan tentang relasi-relasi kelas terdahulu) berjalannya hukum, menurut metode reformis, dari masyarakat feodal ke masyarakat borjuis. Namun, apa yang kita lihat dalam realitanya? Pada kenyataannya, kita melihat bahwa reformasi perundangan bukan saja tidak menghindari perebutan kekuasaan politik oleh borjuasi, melainkan -sebaliknya- telah menyiapkan dan mengarahkan perebutan kekuasaan itu. Sebuah transformasi sosial-politik formal sangat dibutuhkan bagi penghapusan perbudakan, maupun penghapusan total feodalisme.
Akan tetapi, situasinya sekarang sama sekali berbeda. Sekarang ini hukum mewajibkan proletariat untuk menyerahkan diri kepada kekuasaan kapitalisme. Kemiskinan, tidak adanya alat produksi, kini memaksa proletariat untuk menyerahkan diri kepada kekuasaan kapitalisme. Dan tidak ada hukum di dunia ini yang bisa memberikan alat produksi kepada proletariat selama hukum itu masih berada dalam kerangka masyarakat borjuis. Karena bukan hukum, melainkan perkembangan ekonomilah yang telah mencabut alat produksi dari kepemilikan produsen.
Dan tidak ada eksploitasi dalam sistem kerja upahan yang didasarkan atas hukum. Tingkat upah tidak ditetapkan oleh legislasi, melainkan oleh faktor-faktor ekonomi. Fenomena eksploitasi kapitalis tidak bertumpu pada kecenderungan hukum, melainkan murni pada fakta ekonomi bahwa tenaga kerja, dalam eksploitasi ini, memainkan peran sebuah barang dagangan yang memiliki -di antara sifat-sifat lainnya- kualitas yang bisa disepakati dari nilai produksi, lebih dari nilai yang ia konsumsi dalam bentuk sarana subsisten buruh. Singkatnya, relasi-relasi fundamental dari dominasi kelas kapitalis tidak bisa ditransformasikan dengan cara reformasi legislatif yang berbasiskan masyarakat kapitalis, karena relasi-relasi ini belum diintrodusir oleh hukum-hukum borjuis, dan relasi-relasi tersebut juga belum menerima bentuk hukum seperti itu. Jelas Bernstein tidak menyadari hal ini, karena dia berbicara tentang “reformasi sosialis”. Di sisi lain, nampaknya Bernstein hendak mengungkapkan pengakuan implisit tentang hal ini ketika ia menuliskan di halaman 10 dari bukunya: “motif ekonomi berlaku secara bebas sekarang ini, sedangkan sebelumnya, motif ekonomi tersebut dibungkus dengan segala macam relasi dominasi, dengan segala macam ideologi.”
Inilah salah satu dari keistimewaan-keistimewaan tatanan kapitalis, yang mana di dalamnya semua elemen masyarakat masa depan, dalam perkembangannya, pertama-tama mengasumsikan suatu bentuk yang bukan mendekati sosialisme, melainkan sebaliknya, suatu bentuk yang bergerak makin dan makin menjauh dari sosialisme. Produksi menjalankan suatu karakter sosial yang secara progresif kian meningkat. Tetapi, dalam bentuk apa karakter sosial dari produksi kapitalis itu diekspresikan? Ia diekspresikan dalam bentuk perusahaan besar, dalam bentuk pembagian kepemilikan saham, kartel, hal mana antagonisme-antagonisme kapitalis, penindasan tenaga kerja, dipertajam sampai ke titik ekstrem.
Dalam soal tentara, perkembangan kapitalis menyebabkan perluasan wajib militer, sampai pada pengurangan masa pengabdian, sehingga tentunya sampai pada suatu pendekatan material, yakni sebuah milisi rakyat. Akan tetapi, kesemua ini terjadi dalam bentuk militerisme moderen, di mana dominasi terhadap rakyat oleh negara militeris, dan karakter kelas dari negara, termanifestasi sendiri secara paling jelas.
Di bidang hubungan politik, perkembangan demokrasi menimbulkan -dalam ukuran bahwa ia menemukan tanah subur untuk tumbuh- partisipasi dari semua strata popular dalam kehidupan politik dan, konsekuensinya, menimbulkan semacam “negara rakyat”. Namun, partisipasi ini mengambil bentuk berupa parlementarisme borjuis, di mana pertentangan kelas dan dominasi kelas tidak dihilangkan, melainkan sebaliknya, justru ditampilkan secara terbuka. Justru karena perkembangan kapitalis bergerak melalui kontradiksi-kontradiksi ini, maka perlu bagi kita untuk mengekstrasi inti masyarakat sosialis dari rangka kapitalisnya. Justru karena alasan inilah, maka proletariat harus merebut kekuasaan politik dan menghapuskan sistem kapitalis secara tuntas.
Tentu saja, Bernstein menarik kesimpulan-kesimpulan yang lain. Jika perkembangan demokrasi mengarah pada penajaman, dan bukan memperkecil antagonisme kapitalis, maka, "Sosial-demokrasi", jawab Bernstein kepada kita, "agar tidak membuat tugasnya menjadi lebih sulit, haruslah berusaha dengan segala cara untuk menghentikan reformasi sosial dan perluasan institusi-institusi demokratik," (hal. 71). Sesungguhnya, itu akan menjadi hal yang benar untuk dilakukan jika sosial-demokrasi mendapati -sesuai seleranya, ala borjuis-kecil-tugas untuk mengambil bagi dirinya sendiri, semua sisi baik dari sejarah dan menolak sisi buruknya, meski itu sia-sia. Bagaimanapun juga, dalam hal itu, sosial-demokrasi hendaknya sekaligus juga “berusaha menghentikan” kapitalisme secara umum, karena tak ragu lagi bahwa kapitalisme adalah penjahat yang meletakkan semua rintangan ini di tengah jalan menuju sosialisme. Akan tetapi, kapitalisme, selain melengkapi rintangan-rintangan itu, juga menyediakan satu-satunya kemungkinan untuk mewujudkan program sosialis. Hal yang sama bisa pula dikatakan tentang demokrasi.
Kalau demokrasi telah menjadi berlebihan atau menjengkelkan bagi borjuasi, maka -sebaliknya- ia diperlukan dan mutlak harus ada bagi kelas pekerja. Demokrasi perlu bagi kelas pekerja, karena ia menciptakan bentuk-bentuk politik (administrasi yang otonom, hak-hak elektoral, dan lain-lain) yang -bagi proletariat- akan berfungsi sebagai tumpuan dalam tugasnya untuk mentransformasikan masyarakat borjuis. Demokrasi sangat dibutuhkan kelas pekerja, karena hanya melalui pelaksanaan hak-hak demokratiknya dalam perjuangan untuk demokrasilah, proletariat bisa menjadi sadar akan kepentingan-kepentingan kelas serta tugas sejarahnya.
Singkatnya, demokrasi sangat dibutuhkan bukan karena ia menyebabkan penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat menjadi sesuatu yang berlebihan, melainkan karena demokrasi justru membuat penaklukan kekuasaan itu menjadi perlu dan mungkin untuk dilakukan. Ketika Engels, dalam kata pengantar pada tulisannya Perjuangan Kelas di Perancis, merevisi gerakan buruh moderen dan mendesak dilakukannya perjuangan hukum untuk menghadapi rintangan-rintangan, dia tidak sedang berpikir tentang -ini muncul di setiap baris dalam kata pengantar itu- persoalan penaklukan kekuasaan politik tertentu, melainkan perjuangan sehari-hari yang kontemporer. Engels tidak berpikir tentang sikap yang harus diambil oleh proletariat terhadap negara kapitalis di saat perebutan kekuasaan, melainkan sikap proletariat ketika berada dalam belenggu negara kapitalis. Engels ketika itu memberikan arahan kepada proletariat yang tengah tertindas, bukan kepada proletariat yang sedang mengalami kemenangan.
Di sisi lain, kalimat Marx yang terkenal tentang persoalan agraria di Inggris (Bernstein sangat bertumpu pada pernyataan ini) yang menyatakan: “Barangkali kita akan berhasil dengan mudah, dengan cara membeli tanah milik tuan-tuan tanah,” tidaklah mengacu pada sikap proletariat sebelum, melainkan setelah kemenangannya. Karena, jelas persoalan tentang membeli properti dari kelas lama yang dominan baru mungkin untuk dipertimbangkan apabila buruh berada di tampuk kekuasaan. Kemungkinan yang dipertimbangkan oleh Marx adalah dalam hal pelaksanaan kediktatoran proletariat secara damai, dan bukan mengganti kediktatoran itu dengan reformasi sosial. Tak ada keraguan pada Marx dan Engels tentang perlunya proletariat menaklukkan kekuasaan politik. Maka, biarlah Bernstein menganggap kandang parlementarisme borjuis sebagai organ, yang dengan itu kita hendak mewujudkan transformasi sosial sejarah yang paling menakjubkan, yakni perjalanan dari masyarakat kapitalis menuju sosialisme.
Bernstein mengintrodusir teorinya dengan memperingatkan proletariat tentang bahayanya pencapaian kekuasaan yang terlalu dini. Yakni, menurut Bernstein, proletariat harus membiarkan masyarakat borjuis dalam kondisinya yang sekarang, dan borjuasi dengan sendirinya akan menderita kekalahan yang menakutkan. Andaikan nanti proletariat mencapai kekuasaan, maka berdasarkan teori Bernstein itu, proletariat bisa menarik kesimpulan “praktis”, yakni: tidur saja. Teori Bernstein itu melemahkan proletariat pada saat-saat perjuangan yang paling menentukan, hingga menjadi tidak aktif, menjadi pengkhianatan pasif dari sebabnya sendiri.
Program kita hanya akan menjadi secarik kertas tak berharga, jika tak mampu membekali kita dengan segala kemungkinan pada setiap saat perjuangan, dan jika tidak membekali kita dengan aplikasinya, bukan dengan non-aplikasinya. Kalau program kita mengandung rumusan perkembangan sejarah masyarakat dari kapitalisme menuju sosialisme, maka ia harus juga merumuskan -dalam semua hal fundamentalnya yang khas- semua fase peralihan dari perkembangan ini. Dan konsekuensinya, program tersebut hendaknya juga bisa menunjukkan kepada proletariat, apa yang seharusnya merupakan tindakan yang cocok pada setiap momentum dalam perjalanan menuju sosialisme. Tak akan ada lagi waktu bagi proletariat ketika ia terpaksa memilih: mengabaikan programnya, atau diabaikan oleh program itu.
Secara praktis, hal ini termanifestasi dalam kenyataan bahwa tidak mungkin terjadi keadaan di mana proletariat -yang ditempatkan pada tampuk kekuasaan berkat adanya kekuatan dari beberapa peristiwa- tidak berada dalam kondisi, atau secara moral tidak merasa wajib untuk mengambil langkah-langkah tertentu, yakni langkah-langkah peralihan dalam arah menuju sosialisme. Dibalik keyakinan bahwa program sosialis bisa gagal sepenuhnya pada satu titik dari kediktatoran proletariat, tersembunyi keyakinan lain bahwa program sosialis secara umum, dan pada saat kapanpun, tidak bisa diwujudkan.
Dan bagaimana jika langkah-langkah peralihan itu prematur? Pertanyaan ini menyembunyikan sejumlah besar ide keliru tentang perjalanan sesungguhnya dari transformasi sosial.
Pertama, perebutan kekuasaan politik oleh proletariat, yakni oleh sebuah kelas popular yang besar, tidaklah dihasilkan secara artifisial. Ia mengasumsikan (dengan kekecualian, misalnya dalam kasus Komune Paris, yakni ketika proletariat tidak mencapai kekuasaan setelah melakukan suatu perjuangan sadar untuk mencapai tujuannya, namun jatuh ke tangannya sendiri seperti sesuatu yang baik, yang diabaikan oleh orang lain) adanya suatu tingkat tertentu kematangan relasi-relasi ekonomi dan politik. Di sini kita memiliki perbedaan yang esensial antara kudeta menurut konsepsi Blanqui -yang dijalankan oleh suatu “minoritas aktif” dan meledak seperti letusan pistol yang selalu tak tepat pada waktunya- dengan penaklukan kekuasaan politik oleh massa rakyat yang besar dan sadar, yang hanya bisa terjadi sebagai akibat dari membusuknya masyarakat borjuis, dan karenanya melahirkan sendiri legitimasi ekonomi dan politik bagi kemunculannya yang tepat waktu.
Karena itu, kendati kalau dilihat dari sudut efek politik, penaklukan kekuasaan politik oleh kelas pekerja tidak mungkin “terlalu dini” mewujud sendiri, namun dari sudut pelestarian kekuasaan (lama / status quopenerj.), adalah revolusi yang prematur, yakni pemikiran yang membuat Bernstein selalu terjaga, mengancam kita laksana pedang Damocles. Dalam menghadapi ancaman ini, baik doa maupun permohonan, ketakutan ataupun kesengsaraan, tidaklah banyak membantu. Dan berikut ini ada dua alasan yang sangat sederhana.
Pertama, adalah mustahil untuk membayangkan bahwa suatu transformasi sehebat apapun seiring perjalanan dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat sosialis, bisa diwujudkan dalam satu Undang-Undang yang membahagiakan. Menganggap itu sebagai hal yang mungkin, kembali ini berarti meniru corak dari konsepsi-konsepsi yang jelas bersifat blanquis. Transformasi sosialis mengasumsikan sebuah perjuangan yang panjang dan keras, yang dalam kurun itu cukup mungkin bahwa proletariat akan terpukul mundur lebih dari satu kali, sehingga untuk pertamakalinya -dari sudut pandang hasil akhir perjuangan- proletariat bisa disebut mencapai tampuk kekuasaan “terlalu dini”.
Kedua, akan mustahil untuk menghindari penaklukan kekuasaan negara “yang prematur” oleh proletariat, karena memang serangan-serangan “prematur” dari proletariat ini menimbulkan suatu faktor -dan sesungguhnya adalah faktor yang sangat penting- yang menciptakan syarat-syarat politik bagi kemenangan akhir. Dalam kurun krisis politik yang menyertai perebutan kekuasaan, dalam kurun perjuangan yang panjang dan keras, proletariat akan memperoleh tingkat kematangan politik yang memungkinkannya untuk pada waktunya mendapatkan sebuah kemenangan revolusi yang pasti. Jadi, serangan-serangan proletariat yang “prematur” terhadap kekuasaan negara ini, dalam dirinya sendiri merupakan faktor historis penting yang membantu memprovokasi dan menentukan titik kemenangan yang pasti. Dilihat dari sudut pandang ini, ide tentang suatu penaklukan kekuasaan politik yang “prematur” oleh kelas pekerja, nampak menjadi sebuah absurditas polemis yang berasal dari konsepsi mekanis tentang perkembangan masyarakat, dan memposisikan kemenangan perjuangan kelas sebagai sebuah poin yang ditetapkan di luar -dan lepas dari- perjuangan kelas.
Karena proletariat tidak berada dalam posisi untuk merebut kekuasaan dengan cara selain “cara yang prematur”; karena proletariat mutlak harus merebut kekuasaan satu kali atau beberapa kali “lebih dini” sebelum ia bisa mempertahankan diri dalam kekuasaan selamanya, maka keberatan terhadap penaklukan kekuasaan yang “prematur”, pada dasarnya tak lain adalah sebuah oposisi umum terhadap aspirasi proletariat untuk memiliki kekuasaan negara. Karena banyak jalan menuju Roma, maka begitu pula kita secara logis sampai pada kesimpulan bahwa usulan revisionis untuk mengabaikan tujuan akhir gerakan sosialis, sesungguhnya adalah suatu rekomendasi untuk meninggalkan gerakan sosialis itu sendiri.

Glosarium nama dan istilah

Auer, Ignaz (1846-1907): Seorang sosial-demokrat Bavaria; sekretaris sosial-demokrasi Jerman sejak tahun 1875; reformis.
Bebel, August (1840-1913): Salah satu pendiri dan pemimpin Partai Sosial-Demokratik Jerman dan Internasionale Kedua; bersama Wilhelm Liebknecht ia dihukum penjara selama dua tahun dengan tuduhan pengkhianatan pada 1872; penulis buku Perempuan dan Sosialisme; tokoh dari kecenderungan-kecenderungan revisionis.
ernstein, Eduard (1850-1932): Seorang sosial-demokrat Jerman; sahabat dan pelanjut tradisi tulisan Engels; mengembangkan teori revisionis sosialisme evolusioner; menjadi pemimpin sayap oportunis ekstrem sosial-demokrasi.
Blanqui, Louis Auguste (1805-1932): Seorang sosialis revolusioner Perancis, yang namanya diasosiasikan dengan teori insureksi (pemberontakan) bersenjata oleh sekelompok kecil orang-orang yang terpilih dan terlatih, bertentangan dengan konsep marxis tentang insureksi massa; berpartisipasi dalam Revolusi Perancis tahun 1830; mengorganisir sebuah insureksi yang gagal pada 1839; dibebaskan berkat adanya Revolusi tahun 1848; dipenjarakan kembali selama masa kekalahan Revolusi 1848; dipenjarakan menjelang terbentuknya Komune Paris. Terganggu kesehatannya akibat kehidupan penjara selama tigapuluh lima tahun, dia kemudian diampuni pada 1879, dan pada tahun itu juga ia dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat oleh para buruh di Bordeaux, namun dinyatakan tak memenuhi syarat oleh pemerintah.
Brentano, Lujo (1844-1931): Ekonom Jerman, salah satu dari “para profesor sosialis” yang membela “perdamaian kelas”; berpendapat bahwa kontradiksi-kontradiksi kapitalisme bisa diatasi tanpa perjuangan kelas, yakni melalui serikat-serikat buruh yang reformis, yang akan memungkinkan kapitalis dan buruh untuk merekonsiliasikan perbedaan-perbedaan mereka.
Fourier, Francois Marie Charles (1772-1837): Seorang sosialis utopis Perancis dan kritikus kapitalisme.
Goethe, Johann Wolfgang von (1749-1832): Penyair dan dramawan; sastrawan terbesar Jerman; menulis Faust.
Heine, Wolfgang (1861 – ?): Seorang sosial-demokrat Jerman; salah satu pendukung Bernstein yang paling giat dalam perjuangan revisionis; patriot sosial selama masa perang.
Kant, Immanuel (1724-1804): Filsuf idealis Jerman.
Kartel: Kesepakatan sukarela di antara perusahaan-perusahaan manufaktur yang memproduksi jenis produk yang sama untuk membatasi persaingan sesama mereka dengan membagi pasar, menetapkan harga, dan lain-lain.
Kautsky, Karl (1854-1938): Seorang sosial-demokrat Jerman; teoritisi terkemuka dari Internasionale Kedua; selama masa perang adalah seorang penganut paham perdamaian; penentang yang gigih terhadap bolsyewisme dan pemerintahan Soviet.
Lange, Friedrich Albert (1828-1875): Filsuf neo-kantian Jerman dan reformis sosial.
Lassalle, Ferdinand (1825-1864): Seorang sosialis Jerman; pendiri Serikat Umum Pekerja Jerman pada 1863, yang kemudian berfusi dengan para pengikut Marx untuk membentuk Partai Sosial-Demokratik.
Liebknecht, Wilhelm (1826-1900): Berpartisipasi dalam Revolusi Jerman tahun 1848; pergi ke pengasingan di Inggris, di mana ia menjadi murid dari Marx dan Engels; kembali ke Jerman setelah amnesti tahun 1860 dan membangun partai marxis yang bersatu dengan partai lassallean untuk membentuk SPD; dipenjarakan dengan tuduhan pengkhianatan berat pada 1872; memperjuangkan ortodoksi marxis untuk menentang upaya-upaya revisionis di dalam SPD.
Menger, Carl (1840-1921): Seorang ekonom-politik Australia.
Neupauer, Dr. Joseph Ritter von: Seorang ekonom borjuis Jerman yang pandangan-pandangannya direkomendasikan oleh Bernstein.
Pereira, Isaac (1806-1880): Seorang ekonom Perancis; apolog borjuis.
Potter-Webb, Beatrice (1858-1943): Seorang sosialis fabian; istri dari Sydney Webb; bersama suaminya menulis banyak buku.
Proudhon, Pierre Joseph (1809-1865): Seorang sosialis utopis Perancis yang meramalkan munculnya suatu masyarakat yang berdasarkan pertukaran fair di antara para produsen independen, dan menganggap negara kurang penting dibandingkan bengkel-bengkel kerja yang ia yakin akan menggantikan negara; penulis buku Filsafat Kemiskinan, yang kemudian dijawab oleh Marx dengan karyanya Kemiskinan Filsafat.
Rodbertus, Karl Johann (1805-1875): Seorang ekonom Jerman yang memegang pandangan-pandangan sosialis, tetapi bukan yang revolusioner; Engels membahas pandangan-pandangan Rodbertus tersebut dalam pengantar pada karya Marx Kemiskinan Filsafat.
Say, Jean-Baptiste (1767-1832): Seorang ekonom borjuis; tokoh yang mempopulerkan Adam Smith; hukum Say adalah tesis bahwa setiap tindakan produksi pasti menciptakan kemampuan beli yang diperlukan untuk membeli produk itu.
Schippel, Max (1859-1928): Seorang revisionis sayap kanan dalam sosial-demokrasi Jerman; membela kebijakan-kebijakan Jerman yang imperialis, ekspansionis dan agresif.
Schmidt, Konrad (1863-1932): Seorang ekonom dan sosial-demokrat Jerman yang melakukan yang berhubungan surat-menyurat dengan Engels; kemudian menjadi revisionis.
Sisyphus: Raja Corinth (dalam mitologi) yang -di negeri antah-berantah- dijatuhi hukuman untuk menggelindingkan sebuah batu besar ke puncak bukit, dan batu itupun terus menggelinding mundur setiap kali ia berusaha menggerakkannya, hingga tugasnya pun tak pernah berakhir.
Tengah: Partai Katolik Roma Jerman yang duduk di tengah-tengah dalam Dewan Reichstag; bermanuver di antara pemerintah dan sayap kiri.
Undang-Undang anti-sosialis: Disebut juga Undang-Undang perkecualian sosialis; Undang-Undang yang diprakarsai oleh Bismarck; berlaku di Jerman sejak 1878 sampai 1890; melarang organisasi-organisasi dan publikasi-publikasi untuk terlibat dalam propaganda sosialis. Kaum sosial-demokrat hanya diijinkan untuk beraktivitas parlementer.
Uspensky, Gleb Ivanovich (1840-1902): Seorang novelis Rusia yang banyak menulis tentang kehidupan petani.
Vollmar, Georg Heinrich von (1850-1922): Pemimpin sosial-demokrasi Bavaria; pada tahun 1891, beberapa tahun sebelum Bernstein, ia mendesakkan pandangan-pandangan reformis, yang dengan begitu ia menjadi pelopor reformisme Jerman.
Webb, Sydney (1859-1947): Teoritisi utama Inggris tentang sosialisme gradualis; seorang pendiri Masyarakat Fabian; bersama istrinya (Beatrice) ia menulis banyak buku tentang koperasi dan trade-unionisme; menjadi menteri dalam pemerintahan Partai Buruh; diangkat menjadi Lord Passfield; dia dan istrinya menjadi apolog atas stalinisme dalam tahun 1930-an.
Weitling, Wilhelm (1808-1871): Penulis proletarian Jerman yang pertama; seorang kolaborator Blanqui; seorang sosialis utopis egalitarian.
Wolff, Julius (1862-?): Seorang ekonom borjuis.

0 komentar:

Posting Komentar

CHAT

Aksi Persatuan Oposisi Nasional setahun SBY-Budiono I

Aksi Persatuan Oposisi Nasional setahun SBY-Budiono II

Persatuan Oposisi Nasional seratus tahun SBY-Budiono 3

histate

BUKU TAMU


ShoutMix chat widget

PENGUNJUNG

PRD(Partai Rakyat Demokratik)

PRD(Partai Rakyat Demokratik)
Logo

Pengunjung

free counters

Natalie Cardone - Hasta siempre

Aksi Bangjaya Memprotes Banjir dan Kamacetan Di Jakarta

TIDUR JANGAN