Tuduhan Reaksioner
Harus diakui, bahwa selama ini media-media mainstream tidak utuh dalam memberitakan aksi-aksi demonstrasi gerakan demokratik[1]. Karena ketidak utuhan tersebut, berbagai tuduhan satir para pengamat reaksioner pun bermunculan dan mengarah pada kelompok pejuang demokrasi ini- yang akhirnya menjadi pemahaman umum juga di kalangan masyarakat yang awam politik. Tuduhan-tuduhan itu semisal, bahwa aksi demonstrasi di jalanan adalah sumber kemacetan lalu lintas di perkotaan, adalah biang anarkisme, adalah kelompok tidak mampu berbuat apapun selain berteriak dan mengkritik, sampai kepada tuduhan yang paling menyakitkan: adalah kelompok yang sebenarnya bergerak tanpa dukungan rakyat!
Menjadi tugas kita lah, sebagai pejuang demokrasi, untuk membantah setiap tuduhan yang reaksioner tersebut. Tuduhan yang pertama, sebagai sumber macet lalu lintas, jelas kurang tepat, karena tanpa ada demonstrasipun kemacetan akan terus terjadi. Kalau diperhatikan, malah konvoi mobil pejabat negara lah yang lebih rutin menyumbang kemacetan[2]. Kemacetan adalah soal volume jalan, banyak kendaraan, dan tertib lalu lintas. Seharusnya jika ada event-event semacam demonstrasi jalanan yang berizin resmi, para aparat pengatur lalu lintas (Polantas dan Dishub) setempat agar lebih cerdas lagi dalam bekerja mengurai kemacetan sebagai akibat terselenggaranya event demonstrasi tersebut.
Lalu demonstrasi gerakan demokratik sebagai biang anarkisme, ini juga tuduhan yang kurang kuat. Apa yang diperjuangkan oleh gerakan demokratik selalu menyangkut kritik terhadap Negara, yang artinya pada dasarnya gerakan demokratik tidaklah anarki (baca: anti Negara). Mereka adalah kaum yang peduli dan resah terhadap nasib Negara. Kalaupun muncul tindakan-tindakan semacam pengrusakan fasilitas publik oleh demonstran, sebagai akibat tingginya tensi di lapangan, kerap didahului oleh provokasi aparat keamanan dan intelejen yang disusupkan.
Berikutnya tuduhan bahwa gerakan demokratik hanyalah kelompok yang tidak mampu berbuat apapun selain mengkritik dan berteriak, ini juga harus diluruskan. Setiap kritik yang dilancarkan oleh para aktivis gerakan demokratik selalu siap dipertanggungjawabkan, dan “perbuatan” ini pun sebenarnya dilindungi oleh Konstitusi UUD 1945 (Pasal 28). Di saat kritik tidak kunjung didengar dan ditanggapi, menjadi wajar jika akhirnya mereka yang mengkritik menjadi berteriak. Biasanya mereka yang menuduh seperti ini adalah golongan yang tidak paham perjuangan demokrasi.
Selanjutnya adalah yang paling menyakitkan: gerakan demokratik adalah kelompok yang sebenarnya bergerak tanpa dukungan rakyat, namun tetap akan coba kita rasionalisasikan. Sederhananya mereka menuduh gerakan demokratik hanya mengklaim didukung rakyat saja, tidak benar-benar memperjuangkan rakyat. Sepintas memang tuduhan ini cukup wajar karena berbasis pada sangat sedikitnya kuantitas mahasiswa atau rakyat yang mendukung dalam umumnya aksi gerakan demokratik[3]. Namun, kita akan membela diri, bahwa kualitas isu yang tinggi tidaklah menjamin meluasnya pemahaman mahasiswa dan rakyat terhadap isu. Semisal tentang isu neoliberalisme. Meski secara kualitas isu neoliberalisme cukup tinggi, karena telah menjadi isu yang mendunia, tetap saja kebanyakan rakyat pastilah belum paham benar tentang neoliberalisme ini “hewan apa gerangan”. Tetapi, jika akhirnya kebanyakan rakyat akhirnya mendapat pemahaman yang tepat tentang neoliberalisme dan dampaknya bagi kehidupan mereka, kita sangat yakin bahwa ratusan ribu sampai jutaan rakyat di Indonesia akan turun ke jalan menolak setiap kebijakan neoliberalisme. Inilah tantangan setiap gerakan demokratik saat ini: membuktikan bahwa setiap isu mereka mendapat dukungan luas rakyat.
Terobosan
Karena itu sudah saatnya gerakan demokratik membuat terobosan dalam taktik perjuangannya. Mereka harus membuktikan diri bahwa gerakan mereka benar-benar mengatas-namakan rakyat. Salah satu ide segar yang layak dicoba adalah dengan melakukan konsultasi langsung face to face dengan setiap perseorangan rakyat di seluruh pelosok Republik Indonesia. Bentuk konsultasi termaksud adalah gerakan turun ke bawah (turba): mampir bertamu ke rumah-rumah, gubuk-gubuk, lapak-lapak, atau gerobak rakyat, berdiskusi (berkonsultasi) dan meminta persetujuan mereka atas suatu isu nasional. Dari konsultasi ini akan lahir semacam petisi atau mosi rakyat, yang ditandatangani dan dibubuhi cap jempol oleh perseorangan rakyat. Jika gerakan demokratik serius dan konsisten saja, mungkin dalam 3 bulan sudah dapat dikumpulkan sejuta tanda tangan yang menyikapi suatu isu. Berangkat dari sejuta tanda tangan pada mosi atau petisi tersebut, kemudian isu dapatlah digulirkan maju menjadi suatu referendum rakyat- optimalisasi partisipasi politik rakyat.
Perlu diperhatikan agar isu nasional yang dipilih adalah isu yang strategis dalam ekonomi politik nasional. Semisal, gerakan demokratik ingin mengkonsultasikan dengan rakyat tentang isu “76 Undang-Undang Produk DPR 1999-2009 yang dibuat di bawah dikte asing”[4], dan kemudian meminta dukungan politik rakyat untuk diadakannya suatu referendum “Mencabut 76 Undang-Undang hasil Pendiktean Asing”. Tentu terkait isu ini, yang harus dilakukan gerakan demokratik pertama-tama adalah merapatkan kembali barisan mereka yang seplatform nasionalis progresif, semisal mereka yang sering berslogan: “Pembebasan Nasional”, “Kemandirian Bangsa”, “Trisakti”, “Anti Penjajahan Asing”, “Anti Imperialisme”, “Anti Neoliberal”, “Rebut Kedaulatan Nasional”, dan sebagainya.
Ada beberapa keuntungan jika isu di atas diangkat oleh gerakan demokratik: Satu. Rakyat luas dapat lebih memahami tentang postur penindasan kapitalisme neoliberal di Indonesia berikut konspirasi licik agen-agennya di DPR dan Pemerintahan. Tentu harapannya pada Pemilu 2014 rakyat tidak akan lagi tertipu memilih kekuatan politik yang beraliran neoliberal[5]. Dua. Mayoritas fraksi di DPR saat ini (kecuali Gerindra dan Hanura) akan “terkunci” karena dipastikan tidak ada fraksi yang steril dalam pembuatan ke-76 UU hasil dikte asing tersebut- sehingga kuat kemungkinan isu ini dapat melenggang ke referendum rakyat tanpa halangan berarti dari para politisi busuk di DPR. Jika fraksi-fraksi bermasalah tersebut tidak melakukan otokritik, hampir pasti pada Pemilu 2014 mereka akan ditinggalkan rakyat. Tiga. Membuka topeng citra Yudhoyono dan menunjukkan raut wajah neoliberalisme yang sejati dari pemerintahannya. Di bawah tekanan Amerika Serikat dan sekutunya, sangat kecil kemungkinan Yudhoyono berani mengizinkan terlaksananya Referendum ini. Akhirnya, jika Yudhoyono menolak referendum, barulah gerakan demokratik akan menyerukan sejuta penanda tangan petisi atau mosi untuk turun ke jalan di Jakarta, sama-sama menuntut mundur Presiden mokong yang keukeuh membela neoliberalisme ini.
Itulah sekilas rekomendasi kami tentang terobosan yang mungkin dilakukan gerakan demokratik di Indonesia. Sebagai para pejuang yang terpelajar, tentu tidaklah selayaknya jika kita terjebak pada taktik yang monoton dalam menghadapi situasi yang terus berubah. Pemikiran kita dalam memandang taktik perjuangan harus dialektis, tidak boleh formal. Tanpa adanya konsultasi langsung dengan segenap rakyat yang mereka bela, tak mungkin terjadi percepatan perubahan kualitas menuju kuantitas dalam tubuh gerakan demokratik vice versa.
[1] Kecuali mungkin MetroTV yang layak diapresiasi, karena cukup berusaha jujur terhadap realitas dan sejarah [2] Seperti contohnya di Jalan Alternatif Cibubur-Cileungsi yang selalu macet setiap rombongan mobil Presiden Yudhoyono pulang ke Cikeas.
[3] Semisal kita ambil contoh gerakan memperingati Setahun Pemerintahan Yudhoyono-Boediono pada 20 Oktober lalu. Meski sebelum Hari H telah terjadi gembar-gembor wacana penggulingan Yudhoyono, berbagai persatuan telah digalang di berbagai tempat, ternyata secara kuantitas mungkin hanya sekitar 20 ribuan orang saja yang terlibat turun ke jalan hari itu di seluruh Indonesia. Jika diprosentasekan dari total jumlah penduduk 230 juta jiwa, angka 20.000 ini terlampau kecil (masih kurang dari 0,01%).
[4] Pernah dillontarkan oleh Eva Kusuma Sundari berdasar informasi dari Badan Intelejen Negara (BIN).
[5] Dapat juga mengantisipasi naiknya Sri Mulyani sebagai Capres 2014
Harus diakui, bahwa selama ini media-media mainstream tidak utuh dalam memberitakan aksi-aksi demonstrasi gerakan demokratik[1]. Karena ketidak utuhan tersebut, berbagai tuduhan satir para pengamat reaksioner pun bermunculan dan mengarah pada kelompok pejuang demokrasi ini- yang akhirnya menjadi pemahaman umum juga di kalangan masyarakat yang awam politik. Tuduhan-tuduhan itu semisal, bahwa aksi demonstrasi di jalanan adalah sumber kemacetan lalu lintas di perkotaan, adalah biang anarkisme, adalah kelompok tidak mampu berbuat apapun selain berteriak dan mengkritik, sampai kepada tuduhan yang paling menyakitkan: adalah kelompok yang sebenarnya bergerak tanpa dukungan rakyat!
Menjadi tugas kita lah, sebagai pejuang demokrasi, untuk membantah setiap tuduhan yang reaksioner tersebut. Tuduhan yang pertama, sebagai sumber macet lalu lintas, jelas kurang tepat, karena tanpa ada demonstrasipun kemacetan akan terus terjadi. Kalau diperhatikan, malah konvoi mobil pejabat negara lah yang lebih rutin menyumbang kemacetan[2]. Kemacetan adalah soal volume jalan, banyak kendaraan, dan tertib lalu lintas. Seharusnya jika ada event-event semacam demonstrasi jalanan yang berizin resmi, para aparat pengatur lalu lintas (Polantas dan Dishub) setempat agar lebih cerdas lagi dalam bekerja mengurai kemacetan sebagai akibat terselenggaranya event demonstrasi tersebut.
Lalu demonstrasi gerakan demokratik sebagai biang anarkisme, ini juga tuduhan yang kurang kuat. Apa yang diperjuangkan oleh gerakan demokratik selalu menyangkut kritik terhadap Negara, yang artinya pada dasarnya gerakan demokratik tidaklah anarki (baca: anti Negara). Mereka adalah kaum yang peduli dan resah terhadap nasib Negara. Kalaupun muncul tindakan-tindakan semacam pengrusakan fasilitas publik oleh demonstran, sebagai akibat tingginya tensi di lapangan, kerap didahului oleh provokasi aparat keamanan dan intelejen yang disusupkan.
Berikutnya tuduhan bahwa gerakan demokratik hanyalah kelompok yang tidak mampu berbuat apapun selain mengkritik dan berteriak, ini juga harus diluruskan. Setiap kritik yang dilancarkan oleh para aktivis gerakan demokratik selalu siap dipertanggungjawabkan, dan “perbuatan” ini pun sebenarnya dilindungi oleh Konstitusi UUD 1945 (Pasal 28). Di saat kritik tidak kunjung didengar dan ditanggapi, menjadi wajar jika akhirnya mereka yang mengkritik menjadi berteriak. Biasanya mereka yang menuduh seperti ini adalah golongan yang tidak paham perjuangan demokrasi.
Selanjutnya adalah yang paling menyakitkan: gerakan demokratik adalah kelompok yang sebenarnya bergerak tanpa dukungan rakyat, namun tetap akan coba kita rasionalisasikan. Sederhananya mereka menuduh gerakan demokratik hanya mengklaim didukung rakyat saja, tidak benar-benar memperjuangkan rakyat. Sepintas memang tuduhan ini cukup wajar karena berbasis pada sangat sedikitnya kuantitas mahasiswa atau rakyat yang mendukung dalam umumnya aksi gerakan demokratik[3]. Namun, kita akan membela diri, bahwa kualitas isu yang tinggi tidaklah menjamin meluasnya pemahaman mahasiswa dan rakyat terhadap isu. Semisal tentang isu neoliberalisme. Meski secara kualitas isu neoliberalisme cukup tinggi, karena telah menjadi isu yang mendunia, tetap saja kebanyakan rakyat pastilah belum paham benar tentang neoliberalisme ini “hewan apa gerangan”. Tetapi, jika akhirnya kebanyakan rakyat akhirnya mendapat pemahaman yang tepat tentang neoliberalisme dan dampaknya bagi kehidupan mereka, kita sangat yakin bahwa ratusan ribu sampai jutaan rakyat di Indonesia akan turun ke jalan menolak setiap kebijakan neoliberalisme. Inilah tantangan setiap gerakan demokratik saat ini: membuktikan bahwa setiap isu mereka mendapat dukungan luas rakyat.
Terobosan
Karena itu sudah saatnya gerakan demokratik membuat terobosan dalam taktik perjuangannya. Mereka harus membuktikan diri bahwa gerakan mereka benar-benar mengatas-namakan rakyat. Salah satu ide segar yang layak dicoba adalah dengan melakukan konsultasi langsung face to face dengan setiap perseorangan rakyat di seluruh pelosok Republik Indonesia. Bentuk konsultasi termaksud adalah gerakan turun ke bawah (turba): mampir bertamu ke rumah-rumah, gubuk-gubuk, lapak-lapak, atau gerobak rakyat, berdiskusi (berkonsultasi) dan meminta persetujuan mereka atas suatu isu nasional. Dari konsultasi ini akan lahir semacam petisi atau mosi rakyat, yang ditandatangani dan dibubuhi cap jempol oleh perseorangan rakyat. Jika gerakan demokratik serius dan konsisten saja, mungkin dalam 3 bulan sudah dapat dikumpulkan sejuta tanda tangan yang menyikapi suatu isu. Berangkat dari sejuta tanda tangan pada mosi atau petisi tersebut, kemudian isu dapatlah digulirkan maju menjadi suatu referendum rakyat- optimalisasi partisipasi politik rakyat.
Perlu diperhatikan agar isu nasional yang dipilih adalah isu yang strategis dalam ekonomi politik nasional. Semisal, gerakan demokratik ingin mengkonsultasikan dengan rakyat tentang isu “76 Undang-Undang Produk DPR 1999-2009 yang dibuat di bawah dikte asing”[4], dan kemudian meminta dukungan politik rakyat untuk diadakannya suatu referendum “Mencabut 76 Undang-Undang hasil Pendiktean Asing”. Tentu terkait isu ini, yang harus dilakukan gerakan demokratik pertama-tama adalah merapatkan kembali barisan mereka yang seplatform nasionalis progresif, semisal mereka yang sering berslogan: “Pembebasan Nasional”, “Kemandirian Bangsa”, “Trisakti”, “Anti Penjajahan Asing”, “Anti Imperialisme”, “Anti Neoliberal”, “Rebut Kedaulatan Nasional”, dan sebagainya.
Ada beberapa keuntungan jika isu di atas diangkat oleh gerakan demokratik: Satu. Rakyat luas dapat lebih memahami tentang postur penindasan kapitalisme neoliberal di Indonesia berikut konspirasi licik agen-agennya di DPR dan Pemerintahan. Tentu harapannya pada Pemilu 2014 rakyat tidak akan lagi tertipu memilih kekuatan politik yang beraliran neoliberal[5]. Dua. Mayoritas fraksi di DPR saat ini (kecuali Gerindra dan Hanura) akan “terkunci” karena dipastikan tidak ada fraksi yang steril dalam pembuatan ke-76 UU hasil dikte asing tersebut- sehingga kuat kemungkinan isu ini dapat melenggang ke referendum rakyat tanpa halangan berarti dari para politisi busuk di DPR. Jika fraksi-fraksi bermasalah tersebut tidak melakukan otokritik, hampir pasti pada Pemilu 2014 mereka akan ditinggalkan rakyat. Tiga. Membuka topeng citra Yudhoyono dan menunjukkan raut wajah neoliberalisme yang sejati dari pemerintahannya. Di bawah tekanan Amerika Serikat dan sekutunya, sangat kecil kemungkinan Yudhoyono berani mengizinkan terlaksananya Referendum ini. Akhirnya, jika Yudhoyono menolak referendum, barulah gerakan demokratik akan menyerukan sejuta penanda tangan petisi atau mosi untuk turun ke jalan di Jakarta, sama-sama menuntut mundur Presiden mokong yang keukeuh membela neoliberalisme ini.
Itulah sekilas rekomendasi kami tentang terobosan yang mungkin dilakukan gerakan demokratik di Indonesia. Sebagai para pejuang yang terpelajar, tentu tidaklah selayaknya jika kita terjebak pada taktik yang monoton dalam menghadapi situasi yang terus berubah. Pemikiran kita dalam memandang taktik perjuangan harus dialektis, tidak boleh formal. Tanpa adanya konsultasi langsung dengan segenap rakyat yang mereka bela, tak mungkin terjadi percepatan perubahan kualitas menuju kuantitas dalam tubuh gerakan demokratik vice versa.
[1] Kecuali mungkin MetroTV yang layak diapresiasi, karena cukup berusaha jujur terhadap realitas dan sejarah [2] Seperti contohnya di Jalan Alternatif Cibubur-Cileungsi yang selalu macet setiap rombongan mobil Presiden Yudhoyono pulang ke Cikeas.
[3] Semisal kita ambil contoh gerakan memperingati Setahun Pemerintahan Yudhoyono-Boediono pada 20 Oktober lalu. Meski sebelum Hari H telah terjadi gembar-gembor wacana penggulingan Yudhoyono, berbagai persatuan telah digalang di berbagai tempat, ternyata secara kuantitas mungkin hanya sekitar 20 ribuan orang saja yang terlibat turun ke jalan hari itu di seluruh Indonesia. Jika diprosentasekan dari total jumlah penduduk 230 juta jiwa, angka 20.000 ini terlampau kecil (masih kurang dari 0,01%).
[4] Pernah dillontarkan oleh Eva Kusuma Sundari berdasar informasi dari Badan Intelejen Negara (BIN).
[5] Dapat juga mengantisipasi naiknya Sri Mulyani sebagai Capres 2014