BLOG RESMI MEDIA PENCERAHAN
BERSATU BERJUANG untuk DEMOKRASI dan KESEJAHTERAAN

KAMUS

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 30 Oktober 2010

Konsultasi Rakyat

0 komentar
Tuduhan Reaksioner
Harus diakui, bahwa selama ini media-media mainstream tidak utuh dalam memberitakan aksi-aksi demonstrasi gerakan demokratik[1]. Karena ketidak utuhan tersebut, berbagai tuduhan satir para pengamat reaksioner pun bermunculan dan mengarah pada kelompok pejuang demokrasi ini- yang akhirnya menjadi pemahaman umum juga di kalangan masyarakat yang awam politik. Tuduhan-tuduhan itu semisal, bahwa aksi demonstrasi di jalanan adalah  sumber kemacetan lalu lintas di perkotaan, adalah biang anarkisme, adalah kelompok tidak mampu berbuat apapun selain berteriak dan mengkritik, sampai kepada tuduhan yang paling menyakitkan: adalah kelompok yang sebenarnya bergerak tanpa dukungan rakyat!

Menjadi tugas kita lah, sebagai pejuang demokrasi, untuk membantah setiap tuduhan yang reaksioner tersebut. Tuduhan yang pertama, sebagai sumber macet lalu lintas, jelas kurang tepat, karena tanpa ada demonstrasipun kemacetan akan terus terjadi. Kalau diperhatikan, malah konvoi mobil pejabat negara lah yang lebih rutin menyumbang kemacetan[2]. Kemacetan adalah soal volume jalan, banyak kendaraan, dan tertib lalu lintas. Seharusnya jika ada event-event semacam demonstrasi jalanan yang berizin resmi, para aparat pengatur lalu lintas (Polantas dan Dishub) setempat agar lebih cerdas lagi dalam bekerja mengurai kemacetan sebagai akibat terselenggaranya event demonstrasi tersebut.

Lalu demonstrasi gerakan demokratik sebagai biang anarkisme, ini juga tuduhan yang kurang kuat. Apa yang diperjuangkan oleh gerakan demokratik selalu menyangkut kritik terhadap Negara, yang artinya pada dasarnya gerakan demokratik tidaklah anarki (baca: anti Negara). Mereka adalah kaum yang peduli dan resah terhadap nasib Negara. Kalaupun muncul tindakan-tindakan semacam pengrusakan fasilitas publik oleh demonstran, sebagai akibat tingginya tensi di lapangan, kerap didahului oleh provokasi aparat keamanan dan intelejen yang disusupkan.

Berikutnya tuduhan bahwa gerakan demokratik hanyalah kelompok yang tidak mampu berbuat apapun selain mengkritik dan berteriak, ini juga harus diluruskan. Setiap kritik yang dilancarkan oleh para aktivis gerakan demokratik selalu  siap dipertanggungjawabkan, dan “perbuatan” ini pun sebenarnya dilindungi oleh Konstitusi UUD 1945 (Pasal 28). Di saat kritik tidak kunjung didengar dan ditanggapi, menjadi  wajar jika akhirnya mereka yang mengkritik menjadi berteriak. Biasanya mereka yang menuduh seperti ini adalah golongan yang tidak paham perjuangan demokrasi.

Selanjutnya adalah yang paling menyakitkan: gerakan demokratik adalah kelompok yang sebenarnya bergerak tanpa dukungan rakyat, namun tetap akan coba kita rasionalisasikan. Sederhananya mereka menuduh gerakan demokratik hanya mengklaim didukung rakyat saja, tidak benar-benar memperjuangkan rakyat.  Sepintas memang tuduhan ini cukup wajar karena berbasis pada sangat sedikitnya kuantitas mahasiswa atau rakyat yang mendukung dalam umumnya aksi gerakan demokratik[3].  Namun, kita akan membela diri, bahwa kualitas isu yang tinggi tidaklah menjamin meluasnya pemahaman mahasiswa dan rakyat terhadap isu. Semisal tentang isu neoliberalisme. Meski secara kualitas isu neoliberalisme cukup tinggi, karena telah menjadi isu yang mendunia, tetap saja kebanyakan rakyat pastilah belum paham benar tentang neoliberalisme ini “hewan apa gerangan”.  Tetapi, jika akhirnya kebanyakan rakyat akhirnya mendapat pemahaman yang tepat tentang neoliberalisme dan dampaknya bagi kehidupan mereka, kita sangat yakin bahwa ratusan ribu sampai jutaan rakyat di Indonesia akan turun ke jalan menolak setiap kebijakan neoliberalisme. Inilah tantangan setiap gerakan demokratik saat ini: membuktikan bahwa setiap isu mereka mendapat dukungan luas rakyat.


Terobosan

Karena itu sudah saatnya gerakan demokratik  membuat terobosan dalam taktik perjuangannya. Mereka harus membuktikan diri bahwa gerakan mereka benar-benar mengatas-namakan rakyat. Salah satu ide segar yang layak dicoba adalah dengan melakukan konsultasi langsung face to face dengan setiap perseorangan rakyat di seluruh pelosok Republik Indonesia. Bentuk konsultasi termaksud adalah gerakan turun ke bawah (turba): mampir bertamu ke rumah-rumah, gubuk-gubuk, lapak-lapak, atau gerobak rakyat, berdiskusi (berkonsultasi) dan meminta persetujuan mereka atas suatu isu nasional. Dari konsultasi ini akan lahir semacam petisi atau mosi rakyat, yang ditandatangani dan dibubuhi cap jempol oleh perseorangan rakyat. Jika gerakan demokratik serius dan konsisten saja, mungkin dalam 3 bulan sudah dapat dikumpulkan sejuta tanda tangan yang menyikapi suatu isu. Berangkat dari sejuta tanda tangan pada mosi atau petisi tersebut, kemudian isu dapatlah digulirkan maju menjadi suatu referendum rakyat- optimalisasi partisipasi politik rakyat.
Perlu diperhatikan agar isu nasional yang dipilih adalah isu yang strategis dalam ekonomi politik nasional. Semisal, gerakan demokratik ingin mengkonsultasikan dengan rakyat tentang isu “76 Undang-Undang Produk DPR 1999-2009 yang dibuat di bawah dikte asing”[4], dan kemudian meminta dukungan politik rakyat untuk diadakannya suatu referendum “Mencabut 76 Undang-Undang hasil Pendiktean Asing”. Tentu terkait isu ini, yang harus dilakukan gerakan demokratik pertama-tama adalah merapatkan kembali barisan mereka yang seplatform nasionalis progresif, semisal mereka yang sering berslogan: “Pembebasan Nasional”, “Kemandirian Bangsa”, “Trisakti”, “Anti Penjajahan Asing”, “Anti Imperialisme”, “Anti Neoliberal”, “Rebut Kedaulatan Nasional”, dan sebagainya.

Ada beberapa keuntungan jika isu di atas diangkat oleh gerakan demokratik: Satu. Rakyat luas dapat lebih memahami tentang postur penindasan kapitalisme neoliberal di Indonesia berikut konspirasi licik agen-agennya di DPR dan Pemerintahan. Tentu harapannya pada Pemilu 2014 rakyat tidak akan lagi tertipu memilih kekuatan politik yang beraliran neoliberal[5]. Dua. Mayoritas fraksi di DPR saat ini (kecuali Gerindra dan Hanura) akan “terkunci” karena dipastikan tidak ada fraksi yang steril dalam pembuatan ke-76 UU hasil dikte asing tersebut- sehingga kuat kemungkinan isu ini dapat melenggang ke referendum rakyat tanpa halangan berarti dari para politisi busuk di DPR. Jika fraksi-fraksi bermasalah tersebut tidak melakukan otokritik, hampir pasti pada Pemilu 2014 mereka akan ditinggalkan rakyat. Tiga. Membuka topeng citra Yudhoyono dan menunjukkan raut wajah neoliberalisme yang sejati dari pemerintahannya. Di bawah tekanan Amerika Serikat dan sekutunya, sangat kecil kemungkinan Yudhoyono berani mengizinkan terlaksananya Referendum ini. Akhirnya, jika Yudhoyono menolak referendum, barulah gerakan demokratik akan menyerukan sejuta penanda tangan petisi atau mosi untuk turun ke jalan di Jakarta, sama-sama menuntut mundur Presiden mokong yang keukeuh membela neoliberalisme ini.

Itulah sekilas rekomendasi kami tentang terobosan yang mungkin dilakukan gerakan demokratik di Indonesia. Sebagai para pejuang yang terpelajar, tentu tidaklah selayaknya jika kita terjebak pada taktik yang monoton dalam menghadapi situasi yang terus berubah. Pemikiran kita dalam memandang taktik perjuangan harus dialektis, tidak boleh formal. Tanpa adanya konsultasi langsung dengan segenap rakyat yang mereka bela, tak mungkin terjadi percepatan perubahan kualitas menuju kuantitas dalam tubuh gerakan demokratik vice versa.

[1] Kecuali mungkin MetroTV yang layak diapresiasi, karena cukup berusaha jujur terhadap realitas dan sejarah [2] Seperti contohnya di Jalan Alternatif Cibubur-Cileungsi yang selalu macet setiap rombongan mobil Presiden Yudhoyono pulang ke Cikeas.
[3] Semisal kita ambil contoh gerakan memperingati Setahun Pemerintahan Yudhoyono-Boediono pada 20 Oktober lalu. Meski sebelum Hari H telah terjadi gembar-gembor wacana penggulingan Yudhoyono, berbagai persatuan telah digalang di berbagai tempat, ternyata secara kuantitas mungkin hanya sekitar 20 ribuan orang saja yang terlibat turun ke jalan hari itu di seluruh Indonesia. Jika diprosentasekan dari total jumlah penduduk 230 juta jiwa, angka 20.000 ini terlampau kecil (masih kurang dari 0,01%).
[4] Pernah dillontarkan oleh Eva Kusuma Sundari berdasar informasi dari Badan Intelejen Negara (BIN).
[5] Dapat juga mengantisipasi naiknya Sri Mulyani sebagai Capres 2014

Pemimpin Retorika

0 komentar
Memasuki hari kelima pasca gempa bumi dan Tsunami di Mentawai, kondisi rakyat yang menjadi korban di kepulauan itu masih seperti anak ayam yang kehilangan induk. Bahkan, akibat terlambatnya distribusi bantuan makanan dan obat-obatan, para pengungsi terancam kelaparan dan penyakit.

Padahal, dua hari yang lalu, Presiden SBY telah menitikkan air mata di kepulauan yang dikenal sebagai “surga di bagian barat Sumatera itu”. Presiden pun berjanji untuk mempercepat datangnya bantuan dan rekonstruksi.
Kondisi para pengungsi di Mentawai memang sangat memprihatinkan. Menurut laporan Wenri Wanhar, jurnalis dari Bisnis Indonesia, para korban tidur beralaskan tikar dan beratapkan daun. Tidak ada terpal. Sementara, hujan deras turun mengguyur. Untuk bertahan hidup, korban mengkonsumsi umbi-umbian, pisang dan meminum air kelapa.

Entah karena terletak jauh di ujung barat Indonesia, sehingga perhatian pemerintah bisa dikatakan kurang terhadap rakyat di sana. Namun, alasan apapun, kelambananan pemerintah tidak dapat ditolerir. Bahkan, alasan ombak dan kondisi geografis sekalipun tak bisa menjadi alasan.

Negara memiliki kekuasaan. Di tangannya terkonsentrasi sumber daya dan anggaran. Kenapa harus menunggu? Kenapa tidak menggunakan kapal perang, mengerahkan helicopter, mengirimkan ribuan tentara untuk menembus hambatan ombak itu. Dan, kalau memang pemerintah tak sanggup, kenapa tidak meminta bantuan internasional secepatnya. Haruskah menunggu sampai air mata rakyat Mentawai kering karena kehilangan harapan.

Inilah negara tanpa empati. Negeri, yang ketika rakyatnya berduka karena bencana, para anggota parlemen justru menghabiskan milyaran rupiah untuk studi banding di negeri lain. Inilah negara tempat para koruptor sibuk menggemukkan diri, sementara ratusan juta rakyatnya kering-kerontang karena kemiskinan.
Lihatlah bagaimana Tiongkok, negeri yang dulu disebut komunis, begitu sigap ketika terjadi bencana terhadap negerinya. Tiongkok memiliki sistim penanganan bencana yang sangat handal. Pemerintah Tiongkok bukan hanya bisa membuat apparatus negara berfungsi efektif, tetapi juga bisa memobilisasi rakyatnya untuk menolong korban bencana.

Di negara kita, yang katanya berpedoman pada pancasila yang luhur, kata-kata pejabat memang begitu indah dan (seolah-olah) luhur, tetapi kenyataannya begitu pahit dan memuakkan. Janji-janji hanya terucapakan di mulut, namun tidak pernah terealisasi. Bantuan lebih banyak menumpuk ketimbang dibagikan kepada yang berhak. Bahkan, cerita mengenai bantuan salah sasaran alias ditilep, bukan rahasia umum lagi.
Beda halnya ketika mau menggusur pemukiman rakyat miskin, merampas tanah petani, atau mengurusi demonstrasi mahasiswa, pemerintah akan mengerahkan pasukan (satpol PP, polisi, dan militer) secara terkoordinasi dan terencana.

Ini bukan saja mengkonfirmasi buruknya tata-kelola pemerintahan, tetapi sekaligus menjelaskan watak sesungguhnya dari pemerintahan ini; tidak pro-rakyat dan kemanusiaan. Kita tidak bermaksud mencari-cari kesalahan, tetapi kenyataannya memang begitu.

“Negeri Seribu Satu Bencana”

0 komentar


Jika Irak, yang dulunya masuk wilayah Persia, dijuluki negeri “seribu satu malam”, maka Indonesia sekarang ini bisa disebut; negeri seribu satu bencana. Rentetan bencana, seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan Tsunami, terus mengambil nyawa banyak rakyat kita dan meninggalkan kerusakan yang tidak sedikit. Belum kering air mata kesedihan rakyat Indonesia di Wasior, Papua, tiba-tiba bencana gempa bumi dan Tsunami terjadi lagi di Mentawai, Sumatera Barat, dan letusan gunung Merapi di Jogjakarta.

Sebagai negeri yang sering menerima dampak langsung dari gejolak iklim el nino, pemerintah mestinya sudah bisa memperkirakan bahaya banjir atau kekeringan. Demikian pula, Indonesia berada di jalur gempa dan gunung api. Berada di antara empat lempeng aktif (Lempeng Pasifik, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Filipina), Indonesia sangat rentan dengan gempa tektonik dan Tsunami. Kemudian, terletak di lingkaran ‘cincin api’ atau ring of fire, menjadikan Indonesia sangat terancam oleh letusan gunung berapi dan gempa vulkanik.

Secara historis, berdasarkan catatan yang ada, Indonesia sudah mengalami ratusan kali Tsunami. Tsunami pertama tercatat di Laut Banda, tahun 1674. Demikian pula dengan gempa bumi, dimana ratusan gempa bumi sudah berkali-kali meluluh-lantakkan negeri ini. Indonesia juga diperkirakan memiliki 500 gunung berapi, dimana sekitar 120-an masih aktif.

Pemerintah seharusnya sudah menyadari hal itu, namun pengalaman selalu menunjukan bahwa pemerintah sering bertindak seperti pemadam kebakaran—bertindak setelah terjadi bencana. Alih-alih bisa mendeteksi dan memprediksi secara akurat, pemerintah selalu memiliki reputasi buruk dalam menyelamatkan rakyatnya; membantu pengungsi dan memberikan bantuan darurat.

Bahkan, dengan tidak tahu malu, pemerintah seringkali menyalahkan alam dan korban bencana. Seperti pernyataan Marzuki Ali, ketua DPR asal partai Demokrat, yang malah menyalahkan warga Mentawai karena tinggal di tepi pantai. Pernyataan semacam itu bukan saja tidak bijak, tetapi sangat bodoh dan memalukan untuk kelas pejabat negara.

Bandingkan dengan Jepang, negeri kecil di Asia Timur yang luasnya kira-kira sebanding dengan Sumatera, punya sistim yang dapat diandalkan untuk “sedikit” menyelamatkan rakyatnya dari gempa dan tsunami. Tidak hanya mengubah gedung-gedungnya supaya tahan gempa, Jepang juga memiliki sistem peringatan mutakhir; enam kantor regional menghubungkan 300 sensor di seluruh kepulauan Jepang, termasuk 80 sensor di dalam air yang secara terus menerus memantau getaran bumi.

Di bandingkan dengan Chile, Indonesia pun kalah jauh. Negeri Salvador Allende itu telah membuat Undang-Undang yang mengharuskan setiap bangunan memiliki konstruksi tahan gempa. Alhasil, ketika Chile berhadapan dengan gempa berkekuatan 8,8 SR pada Februari 2010 lalu, negara ini bisa menekan jumlah korban, jumlah kerusakan, dan sangat cepat dalam memulihkan komunikasi.

Berdasarkan peta gempa 2010 yang dibuat para ahli, disebutkan bahwa hampir semua kota di wilayah patahan aktif, sedang terancam. “Hanya Kalimantan yang cukup aman,” kata ahli itu. Dikatakan, potensi gempa pada peta 2010 akan meningkat dua kali.

Dengan berpegang pada data seperti itu, pemerintah seharusnya meningkatkan kewaspadaan dan mempersiapkan segala macam langkah antisipasi untuk mengurangi jumlah korban dan kerusakan. Bukankah ada yang mengatakan, “lebih baik mencegah daripada mengobati.”

Pemerintah harusnya memperkuat sistim peringatan gempa dan Tsunami yang mutakhir. Selain itu, setiap lembaga terkait untuk urusan ini harus bekerja keras dan saling berkoordinasi, supaya tidak terjadi lagi pengabaian atau kesalahan di lapangan.

Butet Kartaredjasa Akan Pentaskan Monolog “Kucing”

0 komentar

JAKARTA: Seniman monolog, Butet Kartaredjasa akan mementaskan monolog Kucing, karya Putu Wijaya, di Jakarta dan Yogyakarta.

Di Jakarta, pentas monolog Butet akan diselenggarakan di di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, hari ini (30/10), sekitar pukul 20.00 WIB. Sementara pementasan monolog di Yogyakarta akan berlangsung pada tanggal 3-4 November 2010 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta.

Dibanding monolog-monolog sebelumnya, kali ini Butet ingin memberi atmosfir yang lain dalam pentasnya.
“Selama ini pentas-pentas monolog saya cenderung berformat besar. Seperti Mayat Terhormat, Matinya Toekang Kritik atau Sarimin, yang membutuhkan banyak spektakel pemanggungan. Dalam Kucing, saya ingin sesuatu yang serba simple dan sederhana” kata Butet melalui siaran pers yang disebarkan kepada media.

Pada panggung pertunjukan monolog sebelumnya, penampilan Butet memang cenderung pada format artistik yang besar, yang membutuhkan prasyarat kebutuhan artistik yang tidak murah dan juga cenderung wah.
Itu terlihat dari tiga pentas monolognya, sejak Mayat Terhormat (karya: Indra Tranggono dan Agus Noor), Matinya Toekang Kritik dan Sarimin, keduanya karya Agus Noor.

Tetapi pada pementasan monolog Kucing ini, Butet mengingikan pementasan yang simple dan sederhana. “Ini berkait erat dengan keinginan saya untuk keliling ke kota-kota kecil, mementaskan monolog.” Ujarnya.


Pentas Keliling Jawa Dan Luar Jawa

Butet mengakui bahwa monolog Kucing ini sangat fleksibel untuk dipentaskan dimanapun. Ini dikarenakan kebutuan artistik dan konsep kebutuhan panggungnya juga sederhana dan simple.
Rencananya, Butet akan melakukan pentas keliling ke kota-kota kecil di Jawa sampai luar Jawa, yang akan dimulai pada bulan Januari 2011 mendatang.

Saat pentas keliling itulah, Butet mengaku, akan diadakan pula workshop seni – keaktoran, sastra/naskah lakon, dan musik, dengan melibatkan Djaduk Ferianto, Whani Darmawan dan Agus Noor.
“Kami ingin berbagi pengalaman, setelah selama ini kami seperti mengabaikan mereka. Selama ini, saudara-saudara saya di luar Jawa juga di berbagai pelosok, kan hanya bertemu saya lewat pemberitaan pers, tayangan televisi atau vcd dan dvd dokumentasi pertunjukaan saya saja.”


Tentang Monolog Kucing..

Kucing berkisah tentang hubungan suami istri, yang melibatkan seekor kucing milik tetangganya. Dari kucing yang suatu hari memangsa rica-rica yang disiapkan si istri untuk berbuka puasa itulah, alur cerita mengalir.
Kucing bukan tema yang politis, melainkan tentang manusia dengan segala problem kesehariannya yang juga sederhana.

Dengan alurnya yang lincah dan khas, Putu Wijaya berhasil membangun alur yang menarik, sekaligus bisa membicarakan soal hakikat kemanusiaan dan seluruh persoalannya. Sebuah kisah yang kelihatannya remeh dan sederhana, tetapi langsung menghunjam ke hakekat dan maknanya.
Melalui lakon Kucing ini, Butet ingin mengembalikan monolog sebagai permainan seni peran yang otonom. Sebuah ikhtiar pematangan diri seorang aktor dalam menafsir karakter dan memberi “nyawa” sebuah teks sastra.

“Pendeknya, monolog dikembalikan lagi sebagai sebuah proses keaktoran yang menjunjung tinggi kekuatan seni akting. Monolog dikembalikan ke “khitah”-nya,” ujarnya.

Mahasiswa Austria Menentang Pemotongan Anggaran Pendidikan

0 komentar


WINA:
Lebih dua puluh ribu mahasiswa dan dosen berbaris dari Vienna University menuju kantor Kanselir untuk menentang pencabutan anggaran pendidikan.
Demonstrasi lain terjadi di Salzburg dan Graz, demikian dilaporkan media setempat.
Mahasiswa dan dosen berpendirian bahwa berkurangnya anggaran pendidikan akan membuat mase depan lulusan mereka menjadi suram.
Adanya rumor mengenai PHK sejumlah staff universitas dan penutupan sejumlah kampus membuat mahasiswa marah dan merencanakan pemogokan.


Merugikan Mahasiswa

Saat ini, setiap keluarga dengan mahasiswa berusia 19 sampai 26 mendapatkan €150 (£130) per-bulan dari negara.

Namun, dibawah kebijakan penghematan anggaran yang tidak populer ini, pemerintah akan memotong anggaran €1.6 billion (£1.4bn) pada tahun 2011.

Pemerintah Austria berniat memotong tunjangan kepada mahasiswa berusia 19 sampai 26 tahun dan pembayaran pendidikan tingkat tinggi usia 24 tahun.
Universitas Vienna, yang dianggap sebagai salah satu universitas terbaik di dunia, telah merosot peringkat internasionalnya.

Peter Skalicky dari Vienna’s Technical University mengatakan posisi Austria akan terus meluncur ke bawah jika tidak ada anggaran.
Banyak analis memperkirakan bahwa dibawah skema baru ini, universitas di Austria akan kehilangan sebesar 300 juta euro (£ 260M) per tahun.

Ketua Serikat Mahasiswa Nasional Austria Sigrid Maurer mengatakan, kementerian pendidikan dan pengetahuan berpikir untuk membatasi akses terhadap pendidikan tinggi sebagai solusi menaikkan kualitas pendidikan.

Namun faktanya, menurut Maurer, Austria hanya memiliki 17% mahasiswa yang masuk ke Universitas dibandingkan rata-rata negara-negara OECD.

Maurer mengatakan, meskipun banyak orang yang mengetahui lembaga pendidikan tinggi membutuhkan lebih banyak uang, tetapi pemerintah malah hendak memotong anggaran.
“Ini akan berdampak kepada staff dan mahasiswa, juga kepada masyarakat secara keseluruhan,” katanya menyakinkan.

Selasa, 26 Oktober 2010

Kongres FNPBI: Saatnya Kaum Buruh Memperjuangkan Penguatan Industri Nasional

0 komentar

Ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Sistim kontrak, dan outsourcing adalah momok paling menakutkan bagi sebagian besar kaum buruh di Indonesia.

Meskipun soal pekerjaan dan penghidupan layak dijamin konstitusi, namun situasi ketenagakerjaan sekarang menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja ditempatkan dalam kondisi kerja yang buruk dan tidak menentu.
Situasi inilah yang menjadi sorotan utama dalam setiap sesi diskusi di kongres Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), yang berlangsung selama tiga hari, yaitu dari tanggal 24 sampai 26 oktober, di Denpasar, Bali.

Ketua Umum FNPBI periode 2010-2015 Lukman Hakim mengatakan, serikat buruh harus memperjuangkan syarat-syarat untuk penguatan industri nasional, seperti pasokan energi untuk industri, jaminan pasar untuk produksi dalam negeri, dan pelibatan penuh kaum buruh dalam politik perburuhan.
Menyinggung situasi politik dan ekonomi nasional saat ini, Lukman mengatakan, Indonesia sedang mengalami proses penjajahan kembali seperti jaman kolonialisme dulu, yang sering disebut dengan istilah neoliberalisme.
“Neoliberalisme menyebabkan sebagian besar kita hancur (de-industrialisasi). Industri hanya tumbuh 3,5% tahun ini, terendah dalam sepuluh tahun terakhir,” kata Lukman menjelaskan.
Selain menghancurkan industri dalam negeri, Lukman menegaskan bahwa neoliberalisme juga mengeskploitasi tenaga kerja sama persis dengan cara-cara kolonialisme dulu.
“Sistim kontrak dan outsourcing itu kan mirip dengan jaman kolonial,” katanya.


Politik Perjuangan Buruh

Perjuangan buruh Indonesia haruslah menjadi perjuangan politik. Apalagi, hampir setiap persoalan buruh sangat identik dengan keputusan politik.

Sebagai Ketua Umum FNPBI yang baru, Lukman akan membawa garis politik FNPBI pada penyatuan seluruh sektor-sektor rakyat dan kekuatan-kekuatan politik yang memperjuangkan kemandirian bangsa.
“Tanpa kemandirian ekonomi, kita tidak bisa membayangkan industri nasional yang kuat,” tegasnya.
FNPBI akan diarahkannya untuk menggalang persatuan nasional dengan seluruh sektor-sektor dan kekuatan anti-neoliberal.

Pihaknya juga menegaskan akan mendorong gerakan buruh untuk semakin berani masuk dalam arena politik, sebagai jalan untuk memperjuangkan kepentingan klas buruh di Indonesia.
“Kami akan menganjurkan kaum buruh bumiputera untuk aktif dalam politik, seperti membangun gerakan politik, memanfaatkan pemilu, dan penyusunan legislasi yang memihak kaum buruh,” ujar Lukman.


Dari Front Ke Federasi

Salah satu perubahan terpenting dalam kongres FNPBI kali ini adalah perubahan kata “Front” menjadi “Federasi”. Namun tetap disingkat: FNPBI, yaitu Federasi Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI).
Peserta kongres dengan suara bulat memilih Lukman Hakim sebagai Ketua Umum dan Desi Arisanti sebagai Sekretaris Jenderal.

Lukman Hakim, lahir dari keluarga petani di Magelang pada tahun 1973, mulai aktif dalam gerakan buruh di pabrik Keramik, Banyumanik, Semarang, tahun 1993.

Lukman lalu bergabung dengan Pusat Perjuangan Buruh Semarang (PPBS), tempat ia menempa pengalaman dalam perjuangan revolusioner. Lukman juga sempat menjadi pegurus Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) wilayah Semarang, lalu ditarik menjadi pengurus pusat PPBI di Jakarta.
Pemogokan buruh di Semarang, peringatan hari buruh tahun 1995, pemogokan buruh Sritex di Solo tahun 1995, hingga pengejaran aktivis pro-demokrasi pasca peristiwa 27 Juli 1996, adalah sebagian kecil kisah perjuangan Lukman dalam gerakan buruh.

Sementara Desi Arisanti, adalah bekas buruh PT. Naga Mulya, dimana dia pernah memimpin pemogokan kawan-kawannya untuk menuntut hak-hak normatif.

Dia juga mendirikan serikat pekerja pabrik bernama SPTP Bintang Mulya, yang nantinya berada di bawah naungan Komite Buruh untuk Aksi Reformasi (KOBAR), jaringan serikat buruh di Jakarta yang turut membentuk FNPBI pada tahun 1999.

Lukman dan Desi akan memfokuskan pekerjaan mereka pada penguatan kembali FNPBI dan pengorganisasian massa buruh di Indonesia. Program itu disebut “gerakan 1000 SBTK dan Koperasi”.  (Ulfa)

Minggu, 24 Oktober 2010

Kongres FNPBI Resmi Dimulai

0 komentar


DENPASAR:

Kongres Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) telah resmi dibuka hari ini di Denpasar, bali (24/10).

Prosesi pembukaan kongres dilakukan di aula Hotel Batu Karu Denpasar dengan rangkaian acara yang sangat sederhana. Acara pembukaan kongres dihadiri oleh sedikitnya 300 orang pengurus tingkat pabrik dari 9 provinsi.

Hadir dalam kongres ini sejumlah tamu undangan, diantaranya, Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Agus Jabo Priyono dan dari Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali,  Agung Winarte.
Dalam penyampaian pesan solidaritas, Ketua Umum PRD menyoroti pentingnya kaum buruh mengorganisir diri dan menjadikan barisan terdepan dalam perjuangan pembebasan nasional.
Agus Jabo menyatakan ketidaksetujuannya atas anggapan bahwa gerakan buruh tidak boleh berpolitik. “Menjauhkan kaum buruh dari arena politik adalah sama saja dengan menghilangkan masa depan kaum buruh akan kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum FNPBI Dominggus Oktavianus menandaskan bahwa gerakan buruh Indonesia dapat diibaratkan dengan singa yang sedang tertidur.
“Jika kita bisa membangunkan singa tidur ini, maka Imperialisme dan kolonialisme akan hancur dikoyak-koyaknya,” katanya.

Karenanya, Dominggus mengajak seluruh seluruh serikat buruh untuk bekerjasama dan bahu-membahu untuk membangunkan “singa yang sedang tertidur”.
Acara pembukaan kongres juga diisi dengan tari-tarian yang dipersembahkan oleh pengurus Serikat Buruh tingkat pabrik. Salah satunya, penampilan dua pengurus SBTK FNPBI PT Mitra Garden Indoraya, Kadek Ayu Praningsih dan Ayu Pratiwi, yang membawakan tari “Panye Brahma”.
Mengenai kandidat Ketua Umum, Panitia Kongres menyebut dua nama yang sangat populer, yaitu Lukman Hakim dan Desi Arisanti. Keduanya dikenal sebagai aktivis buruh yang berasal dari bawah.


Selamatkan Industri Nasional

Kongres FNPBI selama tiga hari ini mengusung tema “Membangun Serikat Buruh Yang Bervisi Penguatan Industri Nasional Untuk Mencapai Kesejahteraan”.
Dengan mengusung tema itu, FNPBI mengharapkan perjuangan kaum buruh bisa diletakkan dalam kerangka menyelamatkan industri dalam negeri dari kepungan imperialisme.
Sebab, tanpa adanya pabrik dan industrialisasi, maka kaum buruh tidak bisa berharap adanya perbaikan pada aspek kesejahteraan.

Selain itu, keberpihakan Negara terhadap kaum buruh hampir tidak ada. Justru Negara menjadi legitimator untuk politik upah murah dan berbagai kebijakan menindas hak-hak pekerja sekarang ini.
Ketika kaum buruh dicekik krisis, Negara malah membiarkan upah terus dipangkas, tunjangan dikurangi, dan hak-hak normatif dilanggar.

Sebaliknya, negara menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk menolong pengusaha dan perbankan, seperti yang terjadi dalam kasus bailout Bank Century.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Menggalang Suara Oposisi Rakyat

0 komentar
Bagi kaum oposisi, momentum setahun pemerintahan SBY-Budiono yang baru berlalu meninggalkan pertanyaan besar: Apakah mayoritas rakyat sepakat bahwa SBY-Budiono telah gagal dan oleh karenanya perlu segera diganti? Kaum oposisi, terutama dari kalangan pergerakan, semakin dituntut menjawab pertanyaan ini dengan melakukan upaya penggalangan dukungan rakyat yang hasilnya kasat mata dan dapat dipertanggung-jawabkan di hadapan publik.

Contoh dukungan seperti ini adalah grup facebook 1 juta pendukung Bibit-Chandra yang cukup menghebohkan beberapa waktu lalu, atau pengumpulan koin untuk Prita yang menjadi korban kesewenangan korporasi. Aksi-aksi seperti ini dampaknya akan berlipat ganda bila dilakukan tidak hanya di dunia maya, tapi justru di dunia nyata oleh sekelompok aktivis yang berdedikasi. Pengumpulan tandatangan rakyat untuk mendukung petisi dan mosi tidak percaya adalah contoh klasik yang lebih simpatik dan dapat digunakan untuk menguji dukungan terhadap kaum oposisi.

Dengan menjelaskan isi petisi tersebut kepada warga, maka terjadilah interaksi dan diskusi langsung antara para aktivis dengan rakyat. Kesempatan ini dapat digunakan untuk membongkar hegemoni dan pencitraan yang menjadi tameng penguasa. Memang, upaya seperti ini tidak diatur oleh undang-undang sehingga pemerintah tidak diwajibkan menjalankan tuntutan yang diajukan, namun ini bisa memberikan suatu tekanan moral yang kuat. Dan lebih dari itu, kerja-kerja menggalang dukungan ini memberi kesempatan bagi kaum oposisi untuk berpijak di atas bumi dan lebih mengetahui isi pikiran rakyat yang sesungguhnya. Rakyat pun dapat menjadi sadar akan kekuatan mereka, saat melakukan tindakan bersama secara massal dan berdasarkan kesadaran diri untuk menyatukan kehendak.

Di beberapa negeri lain, upaya penggalangan dukungan seperti ini diatur dalam undang-undang sebagai langkah awal menggelar referendum yang menentukan berbagai persoalan penting; mulai dari amandemen konstitusi/UUD, legislasi, kebijakan pemerintah, pemisahan diri, kesepakatan luar negeri, hingga pencabutan mandat (recall) terhadap pejabat negara yang telah terpilih. Ini dilangsungkan pada tingkat nasional maupun daerah, terutama provinsi atau negara bagian. Dalam sebagian besar kasus di negeri lain, referendum digelar oleh pemerintah atas inisiatif pemerintah atau legislatif maupun atas petisi yang diajukan warga dan dinyatakan telah memenuhi syarat tertentu, seperti jumlah atau persentase dukungan oleh pemilih terdaftar.
Namun di luar itu, terdapat juga referendum yang diorganisir oleh gerakan kerakyatan sebagai tekanan terhadap kebijakan pemerintah. Pada tahun 2000, contohnya, gerakan kerakyatan di Brasil mengorganisir referendum untuk menanyakan kepada warga negeri itu apakah kesepakatan utang dengan IMF perlu dipertahankan. Aksi tersebut membuat pemerintahan saat itu kelimpungan, sementara partai oposisi yang kini berkuasa, Partai Buruh, mendukung secara aktif inisiatif tersebut dan bahkan mengajukan mosi parlemen untuk mengesahkan hasil referendum tersebut.

Di negeri Venezuela yang wilayahnya jauh lebih kecil dengan penduduk sekitar 20 juta jiwa, referendum kerakyatan pernah diorganisir oleh sebuah Partai oposisi, La Causa R, pada tahun 1992 untuk menanyakan apakah rakyat menginginkan Presiden Carlos Andres Perez yang popularitasnya sedang jatuh untuk tetap menjabat atau mundur. Dari sekitar 500.000 suara yang masuk dan kebanyakan berasal dari perkotaan, 90% menyatakan presiden harus berhenti. Meskipun upaya seperti ini tidak diatur oleh undang-undang saat itu, tapi ia berperan memberikan tekanan politik. Bahkan dalam kasus Venezuela penggalangan suara ini berujung pada pengunduran diri Presiden atas desakan parlemen.

Di Indonesia, referendum belum menjadi praktek melainkan masih dalam tataran wacana. Usulan-usulan referendum yang terakhir terdengar terkait dengan kehendak beberapa pihak untuk kembali ke UUD 45 dan gagasan Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk menanyakan kepada rakyat Yogya tentang status DIY Yogyakarta. Pemerintah sejauh ini belum merespon secara positif gagasan yang berkembang ini. Namun demikian tidak ada yang menghalangi kaum oposisi dan pergerakan dalam memulai penggunaan bentuk konsultasi kerakyatan ini, bahkan dalam tingkat kota atau kampus sekalipun, untuk membentuk opini publik dan menggalang kekuatan secara demokratis.

DPR Hamburkan Uang Rakyat Di Negeri Plato, Yunani

0 komentar

JAKARTA:
Kunjungan kerja Badan Kehormatan (BK) DPR ke Yunani, hari ini (23/10), dianggap kegiatan yang hanya menghambur-hamburkan uang negara dan tidak peka terhadap berbagai persoalan bangsa saat ini.

Meskipun DPR berdalih bahwa kunjungan itu untuk membantu proses penyusunan legislasi, namun sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap kunjungan itu tidak akan memberikan manfaat apapun.
Gayus Lumbuun, yang juga Ketua Badan Kehormatan DPR, meminta agar kunjungan itu segera dibatalkan karena tidak memberi manfaat. BK dianggap dapat belajar etika politik dari berbagai literatur yang tersedia.
“Atau mengundang pihak kedutaan mereka untuk menjelaskan kepada BK,” ujarnya.

Meski dipastikan anggota BK akan berangkat ke Yunani hari ini, namun ada dua anggotanya yang menolak untuk ikut dalam “kunjungan menghamburkan uang rakyat” itu. Keduanya adalah Gayus Lumbuun dan M Nurdin, yang mana keduanya berasal dari Fraksi PDIP.

Sementara delapan nama anggota BK yang berangkat, yaitu Nudirman Munir (FPG) sebagai pimpinan rombongan, Salim Mengga (FPD), Darizal Basir (FPD), Chaeruman Harahap (FPG), Ansory Siregar (FPKS), Abdul Razak Rois (FPAN), Usman Jafar (FPPP), dan Ali Maschan Moesa (FPKB).


Hamburkan 2,2 Milyar

Kunjungan ke Yunani diperkirakan akan menghabiskan sedikitnya Rp2,2 miliar uang negara,  sudah termasuk uang saku 13 anggota DPR plus dua staff ahli yang diajak.
Untuk uang tiket saja, ke-13 anggota DPR itu akan menghabiskan anggaran Rp 1.783.355.600. Sementara dua orang staff ahlinya menghabiskan sekitar Rp 61.290.400, demikian dilaporkan LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).
Nilai tiket ke13 anggota DPR itu akan setara dengan dana Jamkesmas yang dinikmati oleh 25 ribu kaum miskin. Sementara uang tiket dua orang staff ahli dapat dipergunakan untuk menghadirkan sedikitnya 13 laptop bagi anak-anak Indonesia.


Aksi Protes

Puluhan aktivis dari Aliansi Rakyat Tolak Studi Banding menggelar aksi protes di depan pintu masuk terminal keberangkatan D dan E Bandara Internasional Soekarno-Hatta, yang rencananya akan dilalui para anggota BK yang berangkat studi banding.

Mereka membentangkan spanduk berwarna merah dengan tulisan: “’mohon maaf perjalanan anda terganggu!! SWEEPING ANGGOTA DPR.” Aksi ini dilakukan oleh aktivis Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera).
Para demonstran merasa sangat kecewa dengan sikap “keras kepala” anggota DPR yang tidak memperhitungkan situasi bangsa dan kritikan masyarakat. Mereka berniat melakukan sweeping terhadap para anggota DPR “kepala batu” ini.

Jumat, 22 Oktober 2010

Pemogokan Serikat Buruh Perancis Terus Berlanjut

0 komentar


PARIS: Serikat-serikat buruh Perancis kembali melancarkan pemogokan umum nasional untuk melawan kebijakan Presiden Sarkozy mereformasi sistim pensiun.
Para pemuda dilaporkan terlibat bentrokan dengan polisi di jalan-jalan di sejumlah kota di Perancis.
Seorang siswi perempuan dilarikan ke rumah sakit setelah bentrokan antara pelajar dan mahasiswa di luar sebuah sekolah di pusat kota Poitiers.
Bentrokan semakin sering terjadi, terutama setelah para pelajar yang tidak terima masa depannya dirusak oleh kebijakan reformasi pensiun, bergabung dengan pemogokan kaum buruh.
Di Marseille, para pekerja semakin mengintensifkan pemogokan dan blockade, sementara para pelajar menutup ratusan sekolah.
Di Lyon, Polisi anti huru-hara menembakkan gas air mata untuk menghentikan aksi mahasiswa yang membalik sejumlah mobil dan melempar botol-botol.
Buka Blokade
Pemerintah mengerahkan tentara dan polisi untuk membuka blockade pekerja atas kilang minyak di bagian timur Perancis.
Bentrokan segera pecah setelah Polisi tiba di kilang minyak Grandpuits dan memaksa membuka blockade para pekerja. Polisi datang menyerang saat dinihari tatkala jumlah pekerja yang sedang berjaga sudah menurun.
Pemerintahan Sarkozy sudah memberi sinyal untuk menggunakan kekerasan terhadap para unjuk rasa bila tetap tidak membuka blockade.
Di tempat lain, di Marseille, puluhan ribu pelajar berusaha mempertahankan blockade terhadap akses menuju pelabuhan, dimana sekitar 70 kapal tangker tidak bisa menuju dermaga.
Perlawanan Akan Terus Berlanjut
“Kami akan berlanjut dengan aksi yang akan lebih besar,” ujar Bernard Thibault, Sekjend CGT, serikat buruh terbesar di negeri itu yang dekat dengan partai komunis.
Bernard Thibault mengatakan tidak ada alasan untuk menghentikan pemogokan ketika berhadapan dengan pendirian keras pemerintah.
Para pemimpin serikat buruh akan bertemu dan memutuskan rencana pemogokan dan rally yang lebih besar.
Thibault mengatakan bahwa protes besar-besaran kemungkinan akan digelar minggu depan.

Charlie Chaplin dalam pergerakan Indonesia

0 komentar


Karena sangat jarang melihat sejarah perjuangan nasional dari sudut co (coperatie/kerjasama), maka kita kurang mendengar nama seorang tokoh nasional yang sangat piawai berpidato,  yang sering disebut sebagai Charlie Chaplin-nya Jawa. Namanya Singgih, salah satu tokoh penting Boedi Utomo (BO).
Namanya kurang dikenal dalam sejarah pergerakan nasional. Setidaknya, dalam pencarian mesin google, sangat sedikit sekali informasi mengenai orator yang sering mendapat sambutan gemuruh ini.
Singgih adalah tokoh nasionalis sangat terkenal saat itu. Meskipun dia bergabung dengan Budi Utomo yang moderat, namun ia dijuluki sebagai “banteng’ di dalam organisasi para ambtenar dan priayi itu. Singgih belajar ilmu hukum di negeri Belanda, dan menjadi bagian dari Perhimpunan Indonesia di sana.
Sekembalinya di Indonesia, ia langsung menjadi seorang nasionalis yang cenderung memilih jalan non-koperator, dan menyesalkan tindakan Soetomo yang melirik kedudukan di Volksraad.
Bersama Radjiman, di Solo, dia mendirikan majalah “Timboel”, yang berisikan artikel-artikel moderat mengenai politik, ilmu pengetahuan, dan agama. Dengan menggunakan majalah ini pula, Singgih melancarkan tuduhan bahwa Haji Agus Salim, seorang tokoh pergerakan dari kelompok konservatif, telah menjadi penyusup atau mata-mata untuk kepentingan Belanda. Singgih menuding Haji Agus Salim menerima pembayaran sebesar 1.700 gulden.
Lantas, kenapa Singgih disebut sebagai “Charlie Chaplin”-nya Jawa? Ia adalah seorang ahli pidato yang baik, dan setiap pidatonya mendapat sambutan tepuk tangan yang bergemuruh. Gaya pidatonya adalah humor, yaitu dengan mewarani pidato-pidatonya dengan lelucon. Karena itulah dia mendapatkan gelar “Charlie Chaplin dari kalangan politik”. Pernah suatu hari, tepatnya 30 Agustus 1928, saat menaiki podium kongres PPKI, para hadirian lantas berseru, “Ayo, Charlie!” begitulah akhirnya dia semakin akrab di panggil.
Pada saat itu, dengan sebagian besar rakyat Indonesia masih buta huruf, maka kepiawaian berpidato menjadi modal utama berproganda kepada rakyat. Jaman itu melahirkan banyak sekali ahli pidato, salah satunya, adalah Soekarno, anak didik dari ahli pidato paling ulung dan disegani oleh Belanda, HOS Tjokroaminoto.
Soekarno sendiri pernah melukiskan kepiawaiannya gurunya berpidato, yaitu seperti burung kenari yang bernyanyi. Konon, kemampuan berpidato Tjokroaminoto sanggup menghipnotis para pendengarnya.
Singgih sendiri dimasukkan sebagai tokoh lapis dua diantara tokoh-tokoh politik yang sering memimpin rapat-rapat akbar (vergadering).  Selain menjadi anggota Budi Utomo, Singgih terdaftar sebagai anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Yogyakarta.
Sikap kerasnya seringkali membuat gerah para pemimpin Budi Utomo, seperti ketika dia menulis manifesto politik Budi Utomo terkait pidato De Graeff pada pembukaan Volksraad. Manifesto itu dibuatnya dengan sangat berapi-api, layaknya sebagai seorang nasionalis yang sedang marah, sesuatu yang bukan gaya dari pemimpin Budi Utomo pada umumnnya.


Catatan:
*) Sebagian besar informasi dalam ulasan ini diambil dari Hans Van Miert, “Dengan semangat berkobar: Nasionalisme dan gerakan pemuda di Indonesia (1918-1930).

Kamis, 21 Oktober 2010

Demonstrasi Mahasiswa Respon Setahun SBY-Budiono Di Berbagai Daerah

0 komentar

Berbagai elemen gerakan mahasiswa turun ke jalan-jalan untuk merespon setahun pemerintahan SBY-Budiono di berbagai daerah, diantaranya, Jogjakarta, Lampung, dan Medan.
Di Jogjakarta, puluhan mahasiswa dan rakyat bergerak dari jalan Abu bakar Ali menuju kantor Pos Besar. Mereka menggelar aksi tetrikal yang menggambarkan mengenai penderitaan rakyat akibat neoliberalisme.
Massa menamakan diri sebagai Aliansi Masyarakat untuk Keadilan (AMUK), yang melibatkan berbagai organisasi pergerakan di Jogjakarta, seperti  LMND, PRP,KAMMI, HMI MPO, BEM UAD, GMKI, KM UII, KM UAD, PPMII,PII, PMII, dan IMM.
Menurut koodinator AMUK Edi Susilo, pemerintahan SBY-Budiono bukan hanya gagal memerintah dalam setahun, tetapi sudah berlangsung enam tahun. “Jilid I dan Jilid jikalau ditambahkan, maka hasilnya adalah enam tahun. Itulah kurun waktu kegagalan SBY sebagai presiden,” katanya.
Dalam aksi itu, AMUK membawa pernyataan politik yang hendak disampaikan, yaitu cabut mandat SBY-Budiono, tuntaskan skandal bank century, tanah untuk rakyat, pendidikan dan kesehatan gratis buat rakyat, dan pencabutan seluruh UU pro-noeliberalisme.
Sementara itu, ratusan demonstran dari Aliansi Rakyat Lampung (ARAL) menggelar aksi merespon setahun SBY-Budiono di tugu Adipura, Bandar Lampung. Organisasi yang tergabung dalam aliansi ini, antara lain, PRD, LMND, SRMI, IMM, HMI, Komala, GMKI.
Ketua LMND Lampung menegaskan bahwa kepatuhan SBY kepada neoliberalisme menjadi penyebab berbagai persoalan rakyat. “Kita sekarang berhadapan dengan utang luas negeri yang banyak, kemiskinan, pengangguran, dan lain sebagainya,” katanya saat menyampaikan orasi.
Demonstrasi juga dilakukan di Medan dan Ternate.
Sebagian besar aksi dipusatkan di kantor DPRD Sumut, namun sejumlah mahasiswa malah menggelar aksinya di depan kampus. Aksi ini digalang dari Gemaprodem, LMND, dan PRP.




Kronologi Tragedi Berdarah di Gerbang Kampus UBK

 

 

20 Oktober 2010. Siang itu langit Ibu Kota sedang tak menentu. Panas terik tiba-tiba mendung. Rinai mulai membasahi bumi. Puluhan Mahasiswa di kampus UBK tampak kasak-kusuk menyusun suatu rencana. Hari ini tepat setahun SBY-Budiono memerintah negeri ini paska Pemilu 2009.
Jam menunjukkan pukul 12.00. Semua tahu, saat itu matahari berada persis di puncak kepala. Namun sinarnya tak begitulah lantaran hujan semakin deras. Sekitar 80 mahasiswa tampak mulai mengenakan almamater warna merah marum. Beberapa orang nampak asyik mencoba alat pengeras suara.
Tiga puluh menit kemudian, sebuah bis memasuki gerbang kampus UBK. Bis itu membawa sekitar 30 mahasiswa dari Front Mahasiswa USNI. Kedatangan mereka disambut hangat anak-anak UBK. Mereka bersalaman, saling melempar senyum dan bertegur sapa. Hujanpun berangsur reda.
Tak berselang lama, pukul 12.45, delapan orang mahasiswa mengenakan almamater STMIK Jayakarta menunggangi empat sepeda motor yang datang ke UBK. Sama dengan sebelumnya, anak-anak muda ini saling berjabat tangan berpelukan dan saling menanyakan kabar. Kini, hujan sudah betul-betul reda.
Sejurus kemudian, giliran dua bus mengangkut sekitar 60 mahasiswa dari UIN Syarif Hidayatullah datang ke UBK di Jalan Kimia No.20 Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.
Massa berkumpul di sekitar patung Bung Karno yang baru saja diresmikan pada 17 Agustus 2010 lalu. Mereka menggelar mimbar bebas. Elsaf, mahasiswa Fakultas Hukum UBK memulai orasi.
Dia mengajak seluruh mahasiswa UBK untuk bergabung dalam aksi menuntut penggulingan SBY-Budiono yang dinilai mengingkari janji-janji untuk mensejahterakan rakyat semasa kampanye dulu.
Satu persatu mahasiswa UBK yang sedari tadi hanya menonton dari kantin dan muka kelas merapat ke patung. Jumlah massa di panggung mimbar bebas kian bertambah.  Elsaf mengajak massa mengepalkan tinju kiri sebagai simbol keberpihakan kepada rakyat yang berlawan.
Lalu dia memimpin massa mengumandangkan sumpah mahasiswa Indonesia.
“Sumpah mahasiswa Indonesia,” teriak Elsaf diikuti massa aksi.
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu. Tanah air tanpa penindasan!
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu. Bangsa yang gandrung akan keadilan!
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu. Bahasa kebenaran!
“Hidup mahasiswa progresif revolusioner!” tandas Elsaf.
“Hidup!” teriak massa bergemuruh.
“Hidup rakyat!”
“Hiduuuuuuupp….”
Kini, cuaca kembali terik. Lalu Elsaf memimpin massa menyanyikan lagu Darah Juang dengan tangan kiri masih terkepal.
Di sini negeri kami/Tempat padi terhampar/Samuderanya kaya raya/Tanah kami subur tuhan/Di negeri permai ini/Berjuta rakyat bersimbah luka/Anak buruh tak sekolah/Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya/Tergusur dan lapar/Bunda relakan darah juang kami/Untuk membebaskan rakyat.
Pukul 13.15, Kiti, mahasiswi Fisip UBK memimpin ratusan massa bergerak keluar kampus melintasi Jalan Kimia menuju Jalan Diponegoro sambil berorasi. Jarak yang ditempuh lebih kurang 500 meter. Sesampai di bibir pertemuan Jalan Kimia dan Jalan Diponegoro, tepatnya di depan kantor YLBHI, massa kembali menggelar mimbar bebas.
Massa kemudian saling bergandengan tangan menutup seluruh ruas Jalan Diponegoro. Barisan massa menghadap ke arah Megaria. Masing-masing perwakilan mahasiswa dari berbagai kampus berorasi secara bergantian. Kendaraan yang melintasi jalan tersebut terpaksa berbalik arah.
Pukul 14.00 massa membakar ban bekas. Bara api menyala-nyala bak membakar semangat anak-anak muda itu. Massa kemudian membakar foto SBY. Anak-anak muda yang berwajah kemerah-merahan ini menyatakan perang terhadap rezim SBY yang dinilai tunduk kepada neoliberalisme dan kapitalisme, sistem yang hanya akan memperpanjang barisan rakyat miskin di negeri ini.
Sejumlah petugas berseragam polisi tampak berjaga-jaga di sekitar lokasi. Beberapa di antaranya mencoba mencegah mahasiswa yang hendak membakar foto SBY. Namun gagal. Perlawanan mahasiswa tak dapat dibendung.
Sepuluh menit kemudian, pejabat teras dari Polsek Menteng didampingi beberapa anggotanya menghampiri massa. Dia meminta agar mahasiswa membuka jalan satu jalur agar kendaraan dapat melintas. Upaya inipun gagal. Massa bersikeras pada pendiriannya. Jalan tetap diblokir!
Pukul 14.30, giliran pejabat teras dari Polres Jakarta Pusat yang datang untuk bernegosiasi dengan massa mahasiswa. Kedatangannya didampingi beberapa provost dan pejabat teras dari Polsek Menteng yang tadi gagal membujuk massa.
Dia meminta mahasiswa agar membuka separoh bahu jalan. “Nada bicaranya tinggi. Dia membentak kita. Ini jelas membuat kita marah…” kata Rubi, mahasiswa Fisip UBK yang menjadi juru runding dengan polisi tersebut.
Massa aksi lagi-lagi tak menggubris. Mereka malah menerikan yel-yel, “Hati-hati…hati-hati…hati-hati provokasi!”
Entah apa yang memicu, terjadi saling dorong antara para pejabat teras dari kepolisian itu dengan juru runding dari pihak mahasiswa. “Aksi saling dorong ini dipicu sikap polisi yang mendorong kami terlebih dahulu ketika mereka memaksa agar separuh badan jalan dibuka,” tutur Rubi.
Aksi saling dorong itu berbuntut panjang. Bentrokanpun tak terhindarkan. Kedua belah pihak saling serang. Saling pukul-pukulan dan melempar batu. Konsentrasi massa mahasiswa pecah. Mereka pontang-panting. Tercerai berai. Massa mundur ke arah dalam Jalan Kimia.
Massa membuat benteng pertahanan di bibir Jalan Kimia. Aksi saling lempar batu masih berlangsung sengit. Suasana tak terkendali. Beberapa kali letusan senjata polisi terdengar. Ada juga petugas yang mengarahkan tembakannya ke arah kerumunan mahasiswa.
Farel Restu, mahasiswa Fakultas Hukum UBK tersungkur. Peluru menembus kaki kiri Juki, demikian Farel Restu biasa disapa kawan-kawan sepermainannya. Betis Juki bolong.
Peristiwa itu berlangsung begitu cepat. Kemelut ‘di depan gawang’ kampus UBK itu juga menyebabkan tiga orang mahasiswa tertangkap. Mereka, Ryan (mahasiswa USNI), Abil (Mahasiswa FTSP UBK) dan Yongki (Mahasiswa UIN). Ketiganya digelandang ke mobil tahanan dan dipukuli. Lalu dibawa ke Polres Jakarta Pusat.
Bentrokan masih berlangsung. Satu jam kemudian polisi menarik mundur pasukan ke arah Megaria.
Pukul 16.30, massa kembali menguasai dan menutup Jalan Diponegoro sambil berorasi menyoal tindakan represif aparat. Mereka menyanyikan lagu-lagu perjuangan.
Sementara itu, korban yang tertembak langsung dilarikan ke RSCM oleh rekan-rekannya.  Aksi penutupan jalan dan bakar-bakaran ban terus berlangsung. Dalam orasinya massa mendesak agar polisi membebaskan kawan-kawan mereka yang tertangkap.
Sekitar pukul 17.15 tiga mahasiswa yang ditahan dibebaskan. Mereka kembali bergabung dengan kawan-kawannya melanjutkan aksi menuntut penggulingan SBY.
Pukul 17.53, Kabagops Polres Jakarta Pusat, AKBP Wibowo mendatangi massa untuk negosiasi.  Dia mengakui bahwa anggotanya telah menembak mahasiswa dengan senjata. Dan berjanji akan mengusut kasus tersebut serta menanggung seluruh biaya pengobatan
Massa menyambut pernyataan Wibowo dengan yel-yel serta nyanyian berlirik sesal terhadap perilaku aparat yang main tembak sembarangan.
Di kerumunan massa tampak juga hilir mudik Purek 3 UBK, Daniel Panda. Dia mencoba memediasi mahasiswa dan aparat kepolisian.
Polisi kembali ke arah Megeria. Sementara mahasiwa terus menggelar aksi mimbar bebas menutup jalan. Lalu lintas dialihkan ke arah Tugu Proklamasi. Jalan Diponegoro ditutup total oleh truk-truk polisi di depan Megaria.
Langit mulai gelap. Ban bekas tak henti-hentinya dibakar. Upaya polisi membujuk mahasiswa tidak berhasil.
Sekitar pukul 19.00 polisi membuka jalan yang tadinya diblokir pakai mobil  tronton polisi dan pasukan motor di depan Megaria. Mereka meninggalkan lokasi dan meluncur ke arah Barat.
Setelah polisi pergi, Kiti, perempuan tinggi semampai berambut sebahu yang memimpin aksi berorasi dan lalu membubarkan aksi. Massa kemudian balik kanan masuk ke dalam kampus UBK.
Malam tadi massa menginap di dalam kampus. Ada juga yang menginap di RSCM menjaga teman mereka yang tertembak yang sedang menjalani operasi pengangkatan peluru yang bersarang di kakinya.





Bendera Setengah Tiang Warnai Setahun SBY-Budiono

 

PALOPO: Demonstrasi memperingati setahun pemerintahan SBY-Budiono di Palopo, Sulawesi Selatan, diwarnai penurunan bendera merah-putih setengah tiang.
Ini dilakukan para demonstran untuk menunjukkan keprihatinan terhadap berbagai persoalan bangsa, terutama persoalan kemiskinan dan korupsi, selama pemerintahan SBY-Budiono berkuasa.
Ketegangan juga terjadi saat demonstran berusaha membakar ban bekas karena anggota DPRD menolak untuk menemui para demonstran.
Aksi ini dilakukan oleh sedikitnya 800 mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya Front Rakyat Menggugat (Format), yakni gabungan dari LMND, IMM, GMKI, Ikatan Mahasiswa Walenrang Lamasi (IMWAL), Himpunan Kerukunan Mahasiswa Luwu Utara (HIKMAHLUTRA), Himpunan Mahasiswa Basse sangtempe (HAM BASTEM), Ikatan Mahasiswa Pelajar Luwu (IPMAL), Himpunan Mahasiswa Luwu Timur (HAM LUTIM), Perhimpunan Rakyat Pekerja(PRP), FSPBI, BEM Univ. Cokroaminoto Palopo, SEMA FISIP Unanda, HMJ Syariah STAIN.
Sumartono, ketua LMND Palopo menegaskan bahwa enam tahun SBY menjadi presiden di negara ini, bangsa Indonesia malah semakin terpuruk akibat penerapan kebijakan ekonomi neoliberalisme.
Oleh karena itu, Sumartono menuntut agar SBY segera mundur dari jabatannya karena sudah dianggap tidak layak memerintah.




Demonstrasi Setahun SBY-Budiono Di Jakarta

 

JAKARTA: Ribuan massa turun ke jalan-jalan di Jakarta untuk merespon setahun umur pemerintahan SBY-Budiono yang dianggap telah gagal menjalankan mandat seluruh rakyat Indonesia.
Sebagian besar massa tertumpah di depan istana negara, di Jalan Medan Merdeka Utara, yang melibatkan berbagai kelompok dan organisasi gerakan rakyat, seperti serikat buruh, mahasiswa, kaum miskin perkotaan, organisasi petani, dan pemuda.
Salah satu kelompok, yaitu Persatuan Oposisi Nasional, memulai aksinya di depan stasiun gambir dan berjalan kaki menuju istana negara dengan membawa seribuan lebih massa.
Aliansi ini menggabungkan sedikitnya 30-an organisasi dari berbagai sektor sosial, diantaranya, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Repdem, Petisi 28, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, dan Partai Rakyat Demokratik.
Demonstran lainnya berasal dari kelompok kecil, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang sudah lebih dahulu berada di depan istana negara. Ada pula seratusan lebih massa dari Aliansi Buruh Menggugat (ABM), yang sudah menggelar aksinya lebih pagi.
Sementara dari arah bundaran HI, seribuan massa Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan Front Oposisi Rakyat Indonesia (FORI) bergerak menuju istana negara. Mereka membawa sebuah properti yang menyerupai kepala babi.
Dua kelompok massa besar, yaitu Persatuan Oposisi Nasional dan KASBI/FORI (Front Oposisi Rakyat Indonesia), meleburkan massa mereka tepat di depan istana presiden. Orator dari mobil komando meneriakkan “hidup persatuan gerakan rakyat!”
Mereka menyampaikan orasi politik secara bergantian dari atas mobil komando. Sementara ratusan aparat keamanan berjaga-jaga dan membuat barikade hanya beberapa meter dari demonstran.
Tuntutan Hampir Seragam
Hampir semua pernyataan politik yang tersampaikan dalam aksi hari ini mengarah pada kesimpulan yang seragam, yaitu pemerintahan SBY-Budiono sudah gagal dan sudah saatnya dipertimbangkan untuk memaksa SBY-Budiono mundur.
Seperti Persatuan Oposisi Nasional yang menyimpulkan bahwa SBY sudah gagal memerintah, terutama karena pro-penjajahan asing, menyingkirkan rakyat dari proses demokrasi, gagal memberantas korupsi, dan gagal menurunkan harga.
Dalam statemen yang disebarkan kepada media, Persatuan Oposisi Nasional menganggap pemerintahan SBY-Budiono sudah sepatutnya segera dihentikan dengan menggunakan gerakan rakyat.
Hanya saja, untuk membangun gerakan rakyat ini, persatuan oposisi nasional menganjurkan penggalangan tanda-tangan untuk mosi tidak percaya terhadap rejim SBY, yaitu dengan mendatangi rakyat dari rumah ke rumah, kampung-kampung, pabrik, sekolah, dan lain sebagainya.
Sementara KASBI menuliskan dalam pernyataan sikapnya bahwa setahun pemerintahan SBY-Budiono lebih sibuk pada pencitraan dan sering membeo kepada kepentingan imperialisme.
Buktinya, kata KASBI, adalah kekayaan alam yang tertumpuk di tangan kapitalis internasional, jumlah rakyat miskin yang terus meningkat, tajamnya pertentangan kelas antara penguasa dengan rakyatnya, dan karakter pemerintahan SBY yang semakin reaksioner, otoriter, dan represif.
“Pemerintah kita masih merupakan boneka imperialis. Rakyat secara ekonomi dan politik semakin terpuruk, dan banyak asset strategis yang dikelola oleh pihak asing,” ujar Nining Elitos, Ketua Umum KASBI.
Nining juga menyoroti soal penindasan yang semakin massif terhadap kaum buruh, seperti politik upah murah, sistim kontrak, pasar tenaga kerja fleksibel, dan PHK yang terus berlanjut, termasuk pengabaian terhadap nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.
“Rakyat harus bersatu dalam satu kekuatan sebagai jalan utama untuk mengakhiri kekuasaan rejim neoliberal di Indonesia,” katanya.
Pernyataan politik hampir serupa juga disampaikan oleh Forum Mahasiswa Lintas Kampus (FMLK), yang merupakan gabungan mahasiswa UI, IISIP, dan kelompok studi eramus Unsada. Kelompok ini membeberkan sejumlah persoalan rakyat akibat praktik neoliberalisme oleh rejim SBY-Budiono, seperti penggangguran yang terus meningkat, penggusuran rumah rakyat, kualitas kesehatan yang makin memburuk, dan buruknya perlindungan terhadap hak-hak kaum buruh.
Terjadi Bentrokan
Demonstrasi berbagai kelompok di depan Istana Negara sempat diwarnai beberapa kali bentrokan antara massa demonstran dengan aparat kepolisian.
Bentrokan pertama terjadi saat puluhan mahasiswa HMI berusaha menerobos pagar berduri yang dipasang membentang di depan pagar istana negara. Beberapa anggota HMI ditangkap petugas kepolisian.
Bentrokan kembali pecah antara HMI dan kepolisian, setelah mahasiswa HMI berusaha untuk merengsek maju ke depan.
Sementara dorong-dorongan juga sempat terjadi antara ribuah massa Persatuan Oposisi Nasional dan KASBI dengan pihak kepolisian. Beruntung seruan dari atas mobil komando berhasil meredam massa yang sudah terlanjur marah dan memukul dengan kayu.
Menjelang sore hari, sekitar pukul 16.00 WIB, bentrokan kembali terjadi antara aktivis HMI dan aliansi beberapa kampus dengan pihak kepolisian. Polisi menembakkan water canon untuk memukul mundur mahasiswa.
Ratusan pasukan polisi dikerahkan untuk mengatasi demonstran yang mulai membalas dengan lemparan batu. Untuk membubarkan dan memukul perlawanan mahasiswa, Polisi akhirnya menembakkan gas air mata dan peluru karet ke arah mahasiswa.
Seorang mahasiswa dilaporkan terkena peluru karet. Sementara beberapa mahasiswa kembali ditangkap pihak kepolisian.
Situasi mulai tenang menjelang magrib, setelah massa Persatuan Oposisi Nasional dan KASBI mulai bergerak untuk meninggalkan istana negara






Demonstran “Cuekin” Gubernur Jawa Timur, Soekarwo

 

SURABAYA: Gubernur Jawa Timur Soekarwo, yang selalu berusaha tampil menemui dan menyerap aspirasi demonsrtan, bertemu dengan kenyataan pahit. Ketika Soekarwo keluar untuk menemui massa, ratusan mahasiswa demonstran justru balik badan.
Hal itu terjadi saat 300 orang massa Gerakan untuk Kemerdekaan Nasional menggelar aksi di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya untuk merespon setahun pemerintahan SBY-Budiono.
Aliansi ini merupakan gabungan dari beberapa organisasi mahasiswa, yaitu Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).
Koordinator Aksi ini, Arif Fachrudin Ahmad menegaskan bahwa evaluasi terhadap pemerintahan sekarang ini harus berjangka enam tahun, yaitu sejak SBY menjabat Presiden, bukan setahun seperti yang umum disebutkan.
Menurutnya, dalam enam tahun masa memerintah itu, SBY terbukti tidak memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin nasional. “SBY terlalu lemah di hadapan asing, sehingga menyerahkan sebagian besar kepentingan nasional kepada mereka,” katanya.
Pemerintahan yang tega mengorbankan kepentingan nasional, menurut Fachrudin, adalah pemerintahan boneka asing, yang sudah pasti anti terhadap rakyat dan anti-demokrasi.
Selain massa Gerakan untuk Kemerdekaan Nasional, ada pula kelompok mahasiswa yang berasal dari BEM Unesa dan beberapa kampus di Surabaya.




Demonstrasi Setahun SBY-Budiono Di Makassar

MAKASSAR: Berbagai organisasi pergerakan rakyat dan gerakan mahasiswa tumpah ruah di jalan-jalan di Makassar menandai demonstrasi besar merespon setahun usia pemerintahan SBY-Budiono, hari ini (20/10).
Sedikitnya 4000-5000 massa turun dalam demonstrasi kali ini. Mereka sebagian besar terkonsentrasi di lima titik aksi, yaitu Fly-over, depan kampus Unhas, depan kampus UMI, Lapangan Karebosi, dan Tugu Adipura.
Di bawah Flyover Makassar, yang terletak di dekat kantor DPRD, sedikitnya 600-an massa Gerakan Untuk Kemerdekaan Nasional (Graknas) sudah berkumpul sejak pagi hari. Massa ini merupakan gabungan dari buruh, mahasiswa, dan kaum miskin perkotaan.
Graknas, yang merupakan gabungan dari IMM, LMND, SRMI, PMKRI, PRD, BEM STIEM Bongaya, FNPBI, dan PMII, menganggap bahwa setahun pemerintahan SBY-Budiono tidak menghasilkan apa-apa.
SBY-Budiono dianggap terlalu patuh menjalankan haluan neoliberal, sehingga menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia. Karenanya, Germas menuntut agar ada gerakan putar haluan atau banting setir kebijakan ekonomi dan politik.
“Resep neoliberal SBY-Budiono terbukti gagal, maka seharusnya diadakan gerakan putar haluan ekonomi-politik, dari pro-neoliberal dan pro-imperialisme menjadi anti-neoliberal dan pro-kemandirian bangsa,” ujar Ketua KPW PRD Sulsel Babra Kamal saat menyampaikan orasi di hadapan massa.
Beberapa Kericuhan
Demonstrasi mahasiswa di Makassar sempat diwarnai beberapa kericuhan, meskipun tidak berujung bentrokan seperti sehari sebelumnya saat mahasiswa merespon kunjungan SBY di Makassar.
Bentrokan terjadi saat beberapa orang mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) berusaha menerobos penjagaan polisi di pintu ruang aspirasi DPRD Sulsel. Polisi mendorong mahasiswa keluar, dan karena mahasiswa tersebut ngotot dan melakukan perlawanan, maka Polisi pun melepaskan tembakan.
Tembakan polisi kontan membuat massa Graknas sempat kocar-kacir, namun berhasil ditenangkan kembali oleh pimpinan massa.
Kericuhan juga terjadi saat Aliansi Reformasi Total yang merupakan gabungan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Unhas, berusaha menutup sebagian jalan Perintis Kemerdekaan, yang terletak di depan kampusnya.
Aksi ini telah memacetkan jalan Perintis Kemerdekaan, yang sebenarnya menjadi penghubung antara bagian utara kota Makassar dan pusat kota.
Di depan kampus UMI, puluhan mahasiswa membakar ban bekas dan menyandera sebuah mobil box.





 


 


 


 


 

Selasa, 19 Oktober 2010

Berkonsultasi dengan Rakyat

0 komentar
Menyongsong satu tahun usia pemerintahannya, Presiden Yudhoyono menyelenggarakan pertemuan tertutup dengan tujuh pimpinan Lembaga Tinggi Negara, kemarin (18/9) di Jakarta. Hadir dalam pertemuan tersebut: Ketua MPR Taufik Kiemas, Ketua KY Busyro Muqoddas, Ketua MK Mahfud MD, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua DPD Irman Gusman, dan Ketua BPK Hadi Poernomo. Mungkin pertemuan ini dapat ditangkap sebagai sinyal politik, tentang posisi kekuatan-kekuatan politik yang memimpin lembaga tersebut untuk terus mengawal pemerintahan Yudhoyono-Boediono sampai di tahun 2014. Sebelumnya, partai-partai koalisi maupun oposisi telah menyatakan turut mengawal pemerintahan ini. Dukungan tersebut umumnya didasarkan pada dalil konstitusi, yang sebagian atau seluruhnya, telah dilanggar oleh penguasa, atau didasarkan pada legitimasi hasil pemilu 2009.
Sementara, di pihak lain, terutama di kalangan unsur pergerakan, menilai pemerintahan Yudhoyono-Boediono mencatatkan banyak persoalan, baik yang dibuatnya sendiri, maupun dibuat pihak lain dengan persetujuannya, atau yang sengaja dibiarkan tanpa ada penyelesaian. Terdapat masalah penggerusan sumber daya alam oleh kepentingan eksploitasi modal asing, masalah kemiskinan dan pengangguran yang terus bertambah, beragam jenis kekerasan vertikal dan konflik horisontal, bencana alam, korupsi, dan lain-lain. Usia satu tahun pemerintahan yang seharusnya dapat memberi titik terang arah perbaikan kondisi bangsa, justru keadaan sebaliknya yang dihadapi mayoritas rakyat. “Titipan suara mayoritas” pada pemilu 2009 lalu telah terkhianati, baik oleh skandal korupsi maupun terbongkarnya ketidakmampuan memimpin dan memenuhi janji-janji kepada rakyat. Perubahan penilaian, terhadap berjalannya proses politik selama satu tahun ini, hadir dan menuntut pewadahan dan jawaban segera.
Dalam keadaan ini, sistem demokrasi liberal memperlihatkan salah satu di antara sejumlah keterbatasannya, yaitu untuk menjawab maupun mewadahi keresahan politik rakyat. Segala sesuatu telah dititipkan untuk dikuasakan secara penuh selama lima tahun. Pertemuan-pertemuan tertutup lebih banyak terjadi di kalangan pejabat pemerintahan, dibandingkan pertemuan terbuka yang menjadikan rakyat sebagai subyek dalam menentukan arah perbaikan bangsa ke depan. Dalam bayangan yang ideal, atau seharusnya, seluruh kekuatan oposisi dapat membaca gejala yang berkembang di tengah masyarakat sebelum membuat keputusan politik. Karenanya cukup disayangkan, atas nama amanat konstitusi, sebagian kekuatan politik oposisi menyatakan “tetap mengawal” pemerintahan Yudhoyono-Boediono bertahan sampai tahun 2014, sambil mengabaikan kemungkinan adanya pelanggaran konstitusi atau pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh pemerintahan tersebut.

Pada dasarnya, Rakyat, sebagai pemberi mandat, dalam setiap tarikan nafasnya, berhak untuk menentukan perubahan ataupun keteguhan sikap politiknya—berdasarkan pengetahuan atau kesadarannya masing-masing. Jadi tak harus menunggu lima tahun untuk menentukan hal yang sudah empiris bahwa suatu pemerintahan ternyata tak mampu berjalan. Beberapa contoh di Amerika Latin menunjukkan mekanisme referendum dapat menjadi salah satu jalan untuk berkonsultasi dengan rakyat mengenai masalah tertentu yang bersifat publik. Dalam keterbatasan dan perbedaan-perbedaan dengan kondisi Indonesia, mekanisme ini dapat menjadi salah satu jalan alternatif untuk menjawab persoalan yang ada. Sementara, tetap yang terpenting adalah seluruh komponen yang menghendaki perubahan arah haluan bangsa untuk sama-sama menempatkan persatuan sebagai agenda prioritas, karena hanya dengan demikian kekuatan oposisi atau kekuatan rakyat dapat face to face (berhadap-hadapan) dengan rezim neoliberal yang berkuasa.

PRD: Setahun SBY-Budiono Tanpa Kemajuan, Saatnya Untuk Ganti Haluan

0 komentar


Partai Rakyat Demokratik (PRD) menyatakan bahwa setahun pemerintahan SBY-Budiono belum menghasilkan kemajuan apapun, dan sebaliknya, justru menciptakan keterpurukan di berbagai bidang, terutama bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Pernyataan ini disampaikan melalui siaran pers KPP-PRD menyambut setahun pemerintahan SBY-budiono, di Jakarta (19/10).

Dijelaskan, bahwa dalam setahun membangun ekonomi, pemerintahan SBY-Budiono justru membuat perekonomian nasional semakin terpuruk, yang mana sebagian besar perekonomian nasional dikuasai pihak asing, seperti tambang dan migas (± 80%), bank (± 50%), industri, jasa, dan 70% saham di pasar modal.
Selain itu, pertumbuhan industri dalam negeri terus merosot, hanya tercatat 3,5%, terendah dalam 10 tahun terakhir ini. “Fenomena de-industrialisasi merupakan fenomena nyata di depan mata kita,” kata Ketua Umum PRD Agus Jabo Priyono kepada wartawan.

Ekonomi rakyat, yang sekarang ini bertumpu pada pertanian dan usaha-usaha kecil (UKM, industry rumah tangga, dan usaha informal), semakin hancur akibat invasi dari retail-retail bermodal besar, seperti Circle K, Alfamart, seven-eleven, dsb, yang sudah bisa masuk ke kampung-kampung.
Dalam hal pasar ini, sebuah data dari PRD menunjukkan, bahwa ekonomi nasional atau ekonomi rakyat hanya menempati 20% pangsa pasar nasional, sementara korporasi besar asing dan domestik menguasai 80%.

Sementara di lapangan politik, PRD menyatakan bahwa SBY-Budiono telah gagal membangun pemerintahan yang kuat, mandiri, bersih, dan demokratis.
Adanya keterlibatan asing dalam penyusunan sejumlah Undang-Undang, gaya kepemimpinan SBY-Budiono yang buruk, dan meluasnya korupsi di kalangan birokrasi, adalah “lubang utama” kegagalan SBY di lapangan politik.
“Alih-alih mau memberantas korupsi, SBY malah doyan sekali memberikan remisi dan perlakuan khusus kepada koruptor,” ungkap Agus Jabo.

Kegagalan sosial dan budaya sangat menonjol, yang menurut penjelasan PRD, sangat terang benderang saat SBY tidak bisa melindungi kebebasan berkeyakinan, kekerasan yang semakin meluas, dan munculnya gesekan antar etnis atau suku.

PRD juga menyoroti kegagalan SBY dalam membangun politik luar negeri yang bermartabat, berdasarkan garis politik luar negeri yang bebas dan aktif. “SBY merendahkan martabat bangsa saat menerapkan politik subordinat di bawah Washington, tidak berani tegas terhadap Malaysia, dan gagal mengangkat pamor Indonesia di mata bangsa-bangsa di dunia,” jelasnya.


Harus Banting Setir

Sebab dari berbagai persoalan di atas, menurut kesimpulan PRD, adalah bersumber pada penerapan kebijakan neoliberal di Indonesia.

“Sistim ini sudah terbukti gagal di berbagai tempat dan mulai ditinggalkan, namun di Indonesia justru sangat diyakini seperti dogma absolut,” kata pimpinan PRD lainnya, Gede Sandra, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal.
Situasi ini, katanya, memaksa kita untuk memilih satu-satunya pilihan untuk keluar dari masalah, yaitu melakukan banting setir haluan ekonomi.

“Ini sudah ditegaskan PRD sejak lama, bahwa kita perlu memutar haluan, yakni meninggalkan segala hal yang berbau neoliberalisme dan imperialisme dan kembali mewujudkan kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya,” ujarnya.

Gede Sandra menegaskan bahwa reshuffle kabinet bukan jalan yang benar, melainkan “pergantian haluan” dan apparatus penopangnya sebagai jalan keluarnya.

Dikhawatirkan bahwa reshuffle kabinet hanya akan menjadi alat tawar-menawar politik bukan saja diantara partai penyokong pemerintah, tetapi juga antara partai oposisi dengan pemerintah.
PRD menganjurkan gerakan rakyat untuk melakukan pembangunan kekuatan, sebagai jalan paling tepat dan paling mungkin untuk mengakhiri neoliberalisme.

“PRD akan menjalankan konsultasi dengan rakyat, yaitu dengan menggalang tanda tangan untuk mosi tidak percaya terhadap rejim neoliberal SBY-Budiono. Ini akan dilakukan dengan terjun langsung ke kampung-kampung, pemukiman, pabrik-pabrik, desa-desa, dengan mengetuk satu per satu pintu rumah rakyat dan menawarkan petisi untuk mosi tidak percaya,” katanya.

Pemogokan Buruh Perancis Semakin Massif

0 komentar
PARIS: Ketegangan meningkat secara dramatis di Perancis pada hari Selasa setelah Presiden Sarkozy mengeluarkan ancaman akan menindak dengan hukuman keras terhadap para “pembuat onar”.
Pemogokan besar minggu terakhir telah memasuki hari ke-enam, yang tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa para demonstran melemah dalam melancarkan perlawanan terhadap reformasi pensiun dan penambahan jam kerja oleh rejim kanan di Perancis.

Pemerintahan Sarkozy berjanji untuk memastikan bahan bakar tersedia untuk semua orang, namun kenyataan menunjukkan bahwa kekurangan telah meningkat akibat pemogokan pekerja kilang minyak yang memaksa ribuan pom bensin tidak bisa beroperasi dengan baik.

Di Paris, sebuah rapat akbar menghadirkan jumlah massa yang besar. Namun, seperti biasanya, Polisi secara dramatis meremehkan jumlah massa itu dengan menyebut perkiraan yang sangat rendah.
Serikat buruh mengklaim jutaan orang terlibat dalam pemogokan di seluruh negeri.

Di sebuah sekolah di pinggiran Nanterre, yang telah ditutup karena kekerasan di hari sebelumnya, ratusan pemuda melempari polisi dengan batu, sementara polisi membalas dengan gas air mata dan barikade.
Di Lyon, aksi protes berubah menjadi kekerasan, dan sejumlah perusuh menghancurkan kaca-kaca jendela.
Menteri pendidikan mengatakan bahwa 261 sekolah hari ini diblokir oleh kaum muda. Menurut persatuan nasional pelajar sekolah menengan, angka itu bisa mencapai 850, dari 4302 sekolah di Perancis.
Media lokal melaporkan bahw 22 orang polisi terluka dan 196 mahasiswa ditangkap di seluruh negeri.
Pemimpin serikat buruh berjanji akan memperkuat pemogokan di sektor-sektor kunci jikalau pemerintah tidak menghentikan rencananya.


Penambahan Dukungan

Sementara itu, laporan berbagai lembaga survey menyatakan bahwa 71% dari penduduk telah memberikan dukungan terhadap perjuangan melawan reformasi pensiun.
Angka itu merupakan ukuran paling massif dalam dukungan terhadap perjuangan sosial melawan kebijakan pemerintahan di Perancis.
Sumber serikat buruh dan ahli mengatakan kepada Prensa Latina bahwa di masa lalu, Seperti pemberontakan mei 1968 dan aksi 1995 yang sangat menggemparkan perancis, dukungan terhadap mobilisasi paling hanya berkisar dari 50%.
Namun, para analisis lokal memprediksi, situasi ini tidak akan mengarah pada solusi atau persetujuan yang dapat diterima semua orang. Presiden Perancis telah menekankan bahwa dia akan melanjutkan rencananya.
Dengan dukungan partainya, persatuan untuk gerakan kerakyatan (UMP) di majelis nasional dan senat, Sarkozy diyakini akan meloloskan reformasi pensiun dalam perdebatan di parlemen pada hari rabu. (Ks)

Pedagang Pasar Menolak Relokasi

0 komentar

BEKASI: Ratusan orang pedagang pasar Family harapan Indah, di Bekasi, melakukan aksi menolak rencana relokasi terhadap ratusan pedagang di pasar yang sudah menempati lokasi tersebut sejak tahun 1994.
Para pedagang membawa beberapan jualan mereka, seperti buah-buahan dan sayur-suran, yang sudah hampir membusuk, sebagai bukti bahwa mereka terus merugi pasca perusahaan pengembang menutup pasar tersebut.
Salah seorang koordinator pedagang, Thomas Pardede menuntut agar pihak DPRD Bekasi bisa memfasilitasi dan mengusahakan penyelesaian terkait kasus para pedagang dengan pengembang ini.
“Para pedagang sudah terlalu lama menunggu kepastian hukum,” ujarnya saat menyampaikan orasi.
Selain itu, para pedagang meminta agar pihak pengembang segera membongkar pagar pembatas yang mengelingi pasar, karena sangat mengganggu aktivitas para pedagang dan pembeli.
Sebagai solusi atas persoalan ini, para pedagang meminta agar pihak Pemerintah Kota mengambil alih pengelolaan pasar, dan lebih memperhatikan kondisi pasar tradisional dan kaum pedagang miskin. Namun ada kendala karena pihak pengembang telah memperpanjang masa penggunaan lahan hingga 2014.
Rugikan Pedagang
Pasar Famili berlokasi di Perumahan Harapan Indah Kota Bekasi, dan mulai beroperasi sejak tahun 1994. Sejak itu, karena keberadaannya yang dekat dengan perumahan, pasar ini telah menjadi tempat pavorit warga untuk berbelanja.
“Sejak tahun 1994 para pedagang Pasar Famili sudah melayani belasan ribu warga Perumahan Harapan Indah dengan baik,” ujar Thomas Pardede.

Disamping itu, pasar family juga menjadi tempat wisata kuliner bagi warga dari luar kawasan Harapan Indah.
Namun, tiba-tiba pada tahun 2010, para pedagang pasar mendapat surat dari pihak pengembang, yaitu PT. Hasana Damai Putra, yang berencana membongkar pasar tersebut. Dan, secara sepihak, akan memindahkan pedagang ke pasar modern yang letaknya 5 kilometer dari lokasi ini.

Para pedagang menolak relokasi tersebut. Pedagang menganggap bahwa keberadaan fasilitas pasar Family sekarang masih bagus dan memadai. Lagi pula, kalau seandainya para pedagang ini bersedia dipindahkan sementara, pihak pengembang tidak menjamin bahwa para pedagang bisa kembali ke tempat semula setelah renovasi selesai.

Ada dugaan pemindahan para pedagang tersebut dimaksudkan untuk meramaikan Pasar Modern yang sudah selesai dibangun oleh PT Hasan Damai Putra dan sekaligus menutup Pasar Famili. (Warni)

Bentrokan Dalam Aksi Mahasiswa Di Makassar

0 komentar

MAKASSAR: Demo ribuan mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) untuk merespon kunjungan Presiden SBY di Makassar (19/10) berakhir dengan bentrokan dengan aparat keamanan.
Awalnya, aliansi BEM dari Universitas Negeri Makassar (UNM) berusaha menyampaikan petisi ketika iringan-iringan presiden SBY lewat di depan kampus mereka, namun rencana ini terhadang oleh ratusan aparat kepolisian dan tentara.

Tiba-tiba situasi berubah menjadi bentrokan. Polisi dan tentara menyerang dan mendorong mahasiswa untuk masuk ke dalam kampus.

Pihak aliansi BEM UNM, yang menyebut diri Aliansi UNM Bersatu, memilih untuk mundur dan melakukan konsolidasi di dalam kampus. Namun, tiba-tiba segelintir mahasiswa memulai serangan dan lemparan ke arah polisi, yang lalu dibalas pula oleh Polisi dengan tembakan gas air mata dan peluru karet.
Karena aparat kepolisian terus merengsek masuk, mahasiswa UNM pun berusaha bertahan dan melakukan serangan balasan untuk mempertahankan diri.
Presiden Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNM Andi Ahmad Jamir mengatakan, demo mahasiswa dirancang untuk melakukan aksi damai, bukan untuk melakukan bentrokan dengan aparat keamanan.
“Ada pihak tertentu, dari organisasi luar kampus, yang memulai pelemparan terhadap pihak kepolisian,” katanya kepada Media Pencerahan.

Akibat dari bentrokan tersebut, 1 orang mahasiswa terkena lemparan batu, 10 orang terkena tembakan peluru karet, dan beberapa orang mengalami memar dan terkena gas air mata.
Sementara dari pihak kepolisian dilaporkan, 3 anggota kepolisian dan 1 anggota Brimob terkena lemparan batu. Sementara seorang wartawan media juga terkena lemparan batu di bagian kepala.
Hingga sore hari tadi, situasi di kampus UNM mulai tenang kembali. Polisi mulai menarik sebagian pasukannya, sementara mahasiswa mulai meninggalkan kampus dan pulang ke rumah.
Andi Ahmad Jamir menyesalkan kenapa demonstrasi damai bisa berubah menjadi bentrokan berdarah.


Pengerahan Tentara

Demo tidak hanya terjadi di depan kampus UNM. Di depan kampus Universitas 45 makassar, puluhan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menggelar demonstrasi.

Mahasiswa hanya menyampaikan orasi dan membakar ban di pinggir jalan.
Sementara itu, di bawah fly over hingga ke depan Universitas Muslim Indonesia (UMI), ratusan pasukan Tentara berjaga-jaga dengan persenjataan lengkap. Bukan hanya di situ, pasukan tentara ini juga sempat dikerahkan ke depan Kampus UNM saat terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan polisi di sana.
Pengerahan tentara ini disoroti oleh banyak pihak, sebab menempatkan Makassar seolah-olah dalam situasi perang. Padahal, demonstrasi mahasiswa merupakan hal yang biasa dalam setiap kunjungan presiden ke daerah.


Tuntut SBY-Budiono Diturunkan

Aliansi UNM Bersatu mendesak agar pemerintahan SBY-Budiono segera turun dari jabatannya. Mahasiswa menilai, kepemimpinan SBY-Budiono sudah menjauh dari semangat konstitusi UUD 1945 dan Pancasila.
“Ekonomi nasional dikelolah tidak lagi sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, melainkan mengarah pada liberalisme,” ujar Andi Ahmad Jamir.
Ahmad juga menyesalkan penegakan hukum di bawah pemerintahan SBY-Budiono yang terkesan sangat lamban. “Kami menyesalkan bahwa kasus bank century masih mengambang sampai sekarang. Kenapa tidak dibuka dengan sejelas-jelasnya,” katanya.
Mahasiswa juga memprotes dikeluarkannya Prosedur tetap (protap) baru Polri mengenai tembak di tempat, sebab dapat mengembalikan situasi seperti jaman Soeharto dulu.

Marhaen dan Proletar

0 komentar

oleh : Ir.Soekarno

Di dalam konferensi di kota Mataram baru-baru ini, Partindo telah mengambil putusan tentang Marhaen dan Marhaenisme, yang poin-poinnya antara lain sebagai berikut:

  1. Marhaenisme, yaitu Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.
  2. Marhaen yaitu kaum Proletar Indonesia, kaum Tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
  3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub di dalamnya.
  4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa di dalam perjuangan, kaum melarat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu.
  5. Di dalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan bahwa kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.
  6. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
  7. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.
  8. Jadi Marhaenisme adalah : cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
  9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme.
* * *
Sembilan kalimat dari putusan ini sebenarnya sudah cukup terang menerangkan apa artinya Marhaen dan Marhaenisme. Memang perkataan-perkataannya di sengaja perkataan-perkataan yang populer, sehingga siapa saja yang membacanya, dengan segera mengerti apa maksud-maksudnya. Namun, -ada satu kalimat yang sangat sekali perlu diterangkan lebih luas, karena memang ssangat sekali pentingnya. Kalimat itu ialah kalimat yang kelima. Ia berbunyi: “Di dalam perjuangan Marhaen itu, maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.”
Satu kalimat ini saja sudahlah membuktikan, bahwa cara perjuanngan yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang tidak ngelamun, cara perjuangan yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang “menurut kenyataan”, -cara perjuangan yang modern. Sebab, apa yang dikatakan di situ? Yang dikatakan disitu ialah, bahwa didalam perjuangan Marhaen, kaum Proletar mengambil  bagian yang besar sekali.
Ya, disini dibikin perbedaan paham yang tajam sekali antara Marhaen dan Proletar. Memang di dalam kalimat nomor 2, nomor 3 dan nomor 4 daripada putusan itu adalah diterangkan perbedaan paham itu: bahwa Marhaen bukanlah kaum Proletar (kaum buruh) saja, tetapi ialah kaum Proletar dan kaum Tani melarat Indonesia yang lain-lain, -misalnya kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum nelayan, dan kaum lain-lain. Dan kemodernannya dan kerasionilannya kalimat nomor 5 itu ialah, bahwa di dalam perjuanngan bersama daripada kaum Proletar dan kaum Tani dan kaum melarat lain-lain itu, kaum Proletarlah mengambil bagian yang besar sekali: Marhaen seumumnya sama berjuang, Marhaen seumumnya sama merebut hidup, Marhaen seumumnya sama berikhtiar mendatangkan masyarakat yang menyelamatkan Marhaen seumumnya pula –namun kaum Proletar yang mengambil bagian yang besar sekali.
Ini, paham ”Proletar mengambil bagian yang besar sekali”-, inilah yang saya sebutkan modern, inilah yang bernama rasional. Sebab kaum Proletarlah yang kini lebih hidup di dalam ideologi modern, kaum Proletarlah yang sebagai klasse lebih langsung terkenal oleh kapitalisme, kaum Proletarlah yang lebih “mengerti” akan segala-galanya kemodernan Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Mereka lebih “selaras dengan jaman”, mereka lebih “nyata pemikirannya,” mereka lebih “konkret”, dan…Mereka lebih besar harga perlawanannya, lebih besar gevechtswaarde-nya dari kaum yang lain-lain. Kaum tani adalah umumnya masih hidup dengan satu kaki di dalam ideologi feodalisme, hidup di dalam angan-angan mistik yang melayang-layang diatas awang-awang, tidak begitu “selaras jaman” dan “nyata pikiran” sebagai kaum Proletar yang hidup di dalam kegemparan percampur gaulan abad keduapuluh. Mereka masih banyak mengagung-agungkan ningratisme, percaya pada seorang “Ratu Adil” atau “Heru Cokro” yang nanti akan terjelma dari kalangan membawa kenikmatan surga dunia yang penuh dengan rezeki dan keadailan, ngandel akan “kekuatan-kekuatan rahasia” yang bisa “memujakan” datangnya pergaulan hidup baru dengan termenung di dalam gua.
Mereka di dalam segala-galanya masih terbelakang, masih “kolot”, masih “kuno”. Mereka memang sepantasnya begitu: mereka punya pergaulan hidup adalah pergaulan hidup “kuno”. Mereka punya cara produksi adalah cara produksi dari jaman Medang Kamulan dan Majapahit, mereka punya beluku adalah belukunya Kawulo seribu lima ratus tahun yang lalu, mereka punya garu adalah sama tuanya dengan nama garu sendiri, mereka punya cara menanam padi, cara hidup, pertukar-tukaran hasil, pembahagian tanah, pendek seluruh kehidupan sosial ekonominya adalah masih berwarna kuno, -mereka punya ideologi pasti berwarna kuno pula!
Sebaliknya kaum Proletar sebagai klas adalah hasil langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal akan pabrik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme, kenal akan kemodernannya abad keduapuluh. Mereka ada pula lebih langsung menggenggam mati hidupnya kapitalisme di dalam mereka punya tangan, lebih direct (langsung, ed.) mempunyai gevechtswaarde anti kapitalisme. Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang di dalam perjuangan anti kapitalisme dan imperialisme itu berjalan di muka, jika mereka yang menjadi pandu, jika mereka yang menjadi “voorlooper”, -jika mereka yang menjadi “pelopor”. Memang! Sejak adanya soal “Agrarfrage” alias “soal kaum tani”, sejak adanya soal ikutnya si tani di dalam perjuangan melawan stelsel (sistem, ed.) kapitalisme yang juga tak sedikit menyengsarakan si tani itu, maka Marx sudah berkata bahwa di dalam perjuangan tani dan buruh ini, kaum buruh lah yang harus menjadi “revolutionaire voorhode” alias “barisan muka yang revolusioner”: kaum tani harus dijadikan kawannya kaum buruh, dipersatukan dan dirukunkan dengan kaum buruh, dibela dalam perjuangan anti kapitalisme agar jangan nanti menjadi begundalnya kaum kapitalisme itu, -tetapi di dalam perjuangan bersama ini kaum buruhlah yang “menjadi pemanggul panji-panji Revolusi Sosial”. Sebab, memang merekalah yang, menurut Marx, sebagai klasse ada suatu “social noodwendigheid” (suatu keharusan dalam sejarah, ed.), dan memang kemeangan ideologi merkalah yang nanti ada suatu “historische noodwendigheid”, -suatu keharusan riwayat, suatu kemustian di dalam riwayat.
Welnu, jikalau benar ajaran Marx ini, maka benar pula kalimat nomor 5 daripada sembilan kalimat diatas tadi, yang mengatakan bahwa di dalam perjuangan Marhaen, kaum Buruh mempunyai bagian yang besar sekali.
Tetapi orang bisa membantah bahwa keadaan di Eropa tak sama dengan keadaan di Indonesia? Bahwa disana kapitalisme terutama sekali kapitalisme kepabrikan, sedang disini ia adalah terutama sekali kapitalisme pertanian? Bahwa disana kapitalisme bersifat zulvere industrie, sedang disini ia buat 75% bersifat onderneming (perkebunan, ed.) karet, “onderneming” teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya? Bahwa disana hasil kapitalisme itu ialah terutama sekali kaum Proletar 100%, sedang disini ia terutama sekali ia menghasilkan kaum tani melarat yang papa dan sengsara? Bahwa disana memang benar mati hidup kapitalisme itu ada di dalam genggaman kaum Proletar, tetapi di sini ia buat sebagian besaar ada di dalam genggaman kaum tani? Bahwa dus sepantasnya disana kaum Proletar yang menjadi “pembawa panji-panji,” tetapi disini belum tentu harus begitu juga?
Ya,… benar kapitalisme disini adalah 75% industril kapitalisme pertanian, benar mati hidupnya kapitalisme disini itu buat sebagian besar ada di dalam genggamannya kaum tani, tetapi hal ini tidak merubah kebenaran pendirian, bahwa kaum buruhlah yang harus menjadi “pembawa panji-panji”. Lihatlah sebagai tamzil sepak teryangnya suatu tentara militer: yang menghancurkan tentaranya musuh adalah tenaga daripada seluruh tentara itu, tetapi toh ada satu barisan daripadanya yang ditaruh dimuka, berjalan dimuka, berkelahi mati-matian dimuka, -mempengaruhi dan menjalankan kenekatan dan keberaniannya seluruh tentara itu: barisan ini adalah barisannya barisan pelopor. Nah, tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya klas Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum Proletar.
Oleh karena itu, pergerakan kaum Marhaen tidak akan menang, jika tidak sebagai bagian daripada pergerakan Marhaen itu diadakan barisan “buruh dan sekerja” yang kokoh dan berani. Camkanlah ajaran ini, kerjakanlah ajaran ini! Bangunkanlah barisan “buruh dan sekerja” itu, bangkitkanlah semangat dan keinsyafan, susunkanlah semua tenaganya! Pergerakan politik Marhaen umum adalah perlu, -tetapi sarekat buruh dan sekerja adalah juga perlu, amat perlu, teramat perlu, maha perlu dengan tiada hingganya!
Fikiran Ra’jat 1933
Catatan: Sociale Noodwendigheid: Suatu keharusan di dalam masyarakat.

CHAT

Aksi Persatuan Oposisi Nasional setahun SBY-Budiono I

Aksi Persatuan Oposisi Nasional setahun SBY-Budiono II

Persatuan Oposisi Nasional seratus tahun SBY-Budiono 3

histate

BUKU TAMU


ShoutMix chat widget

PENGUNJUNG

PRD(Partai Rakyat Demokratik)

PRD(Partai Rakyat Demokratik)
Logo

Pengunjung

free counters

Natalie Cardone - Hasta siempre

Aksi Bangjaya Memprotes Banjir dan Kamacetan Di Jakarta

TIDUR JANGAN